Tuhan, Izinkan Kami Berkumpul di Sudut Meja KFC!

Dulu, ketika saya punya pacar, tak jarang saya mengajaknya pergi jalan-jalan di akhir pekan. Berkeliling kota, makan bareng, sampai menyaksikan event-event musik yang diselenggarakan di hari Sabtu atau Minggu. Ya, Bandung di akhir pekan memang selalu menawarkan hal-hal mengasyikka, khusunya bagi mereka muda-mudi yang sedang jatuh cinta.

Namun ada yang berbeda ketika saya bicara tentang jalan-jalan bersama keluarga. Durasinya tidak sesering dengan pacar, dulu. Bahkan, jalan-jalan bersama keluarga satu tahun sekali pun sudah beruntung. Yang saya ingat, selama ini saya tidak pernah jalan-jalan bersama keluarga dengan formasi utuh. Paling banter saya jalan-jalan hanya dengan Ibu, Kakak, dan Adik, tanpa seorang leader, seorang Bapak.

Entah kenapa, Bapak tidak pernah urung ikut bila saya, Ibu, Kakak dan Adik bepergian. Dari kecil sampai sekarang, belum pernah saya jalan-jalan bareng dengan Bapak. Justru dengan almarhum Kakeklah saya sering bepergian. Naik Damri dari Cibeureum menuju Cicaheum, atau jalan-jalan santai menyusuri pasar-pasar tradisional. Seperti saat itu, Kakek mengajak saya jalan-jalan ke Pasar Andir. Makan bakso berdua dengan lahapnya, dan yang saya ingat, saya sampai nambah. Hahaha… Sampai sekarang saya masih merasakan kalau bakso di sekitar pasar Andir itu adalah bakso terenak, lebaynya sih gitu. Bisa jadi saat itu karena saya kelelahan setelah diajak jalan-jalan oleh Kakek. Entahlah.

Karena sejak kecil saya sering diajak jalan-jalan keliling Bandung oleh Kakek, sampai sekarang saya masih ingat beberapa tempat kenangan bersama beliau. Jalan Pungkur dan Jalan Dewi Sartika salah duanya. Saya sudah Ngaleut sejak kecil, lho! Hahaha…

Berbeda dengan sang Bapak, sampai saya berumur kepala dua seperti saat ini, saya belum pernah sekalipun jalan-jalan bersama Bapak. Kadang suka iri apabila melihat orang lain sedang bersenang-senang dengan Bapaknya, sesuatu yang sampai saat ini belum pernah saya alami. Memang, kami satu atap, satu rumah, tapi di rumah pun saya sangat jarang ngobrol atau curhat dengan beliau. Jangankan menanyakan tentang pacar, hal-hal yang sederhana saja saya jarang ditanyai.

Beruntunglah beberapa tahun ke belakang ada sesuatu yang beda. Kita, khususnya saya agak sedikit cair dengan Bapak. Kami sudah mulai banyak ngobrol, walaupun masih hal-hal yang sederhana. Tapi setidaknya saya mulai berani ngobrol dengan beliau. Bercerita hal-hal ringan, sekedar menanyakan ini itu sampai saling meminta rokok. Bagi saya itu suatu perubahan yang cukup menyenangkan.

Kurangnya perhatian seorang pemimpin keluarga sedikit banyak mempengaruhi keperibadian saya. Saya menjadi seseorang yang susah mengambil keputusan, perasa, tidak bisa tegas, dan lain sebagainya. Beruntung saya mempunyai teman-teman serta lingkungan yang bisa sedikit demi sedikit memperbaiki kepribadian saya. Di antaranya teman STM yang sampai sekarang pun masih sering bertemu dan berkumpul, lalu teman-teman dari Komunitas Aleut, juga teman-teman lainnya. Thanks, guys!

Lain Bapak lain juga Ibu. Dengan Ibu saya bisa bercanda haha-hihi. Kasih sayang dan perhatian Ibu memang tidak ada duanya. Satu kejadian yang bikin saya terharu bila mengingatnya, malam itu, malam di mana saya berulang tahun, entah ke-22 atau ke-23. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya yakin keluarga tidak akan ada yang ingat dengan ulang tahun saya. Saya juga tidak berharap ada yang mengucapkan selamat. Selain karena di keluarga kami ulang tahun bukan sesuatu yang harus dirayakan, saya juga akan malu bila di umur saya yang sudah segitu tiba-tiba Ibu bilang “Selamat Ulang Tahun, Ndi”. Duh, wajah.

Saya tertidur di ruang tengah, saya sedikit lilir ketika ada gerakan tangan mengelus-elus rambut dan kepala. Saya bangun dengan setengah sadar, ternyata di samping saya ada sosok ibu. Saya pura-pura tidur walaupun sebenarnya saya mulai agak tersadar. Di keheningan itu dengan jelas saya menangkap suara ibu, suara doanya. “Hampura mamah can bisa nyugemakeun, sakieu ayana. Sing gede milik, bagja, meunangkeun nu nyaah ka Hendi” tuturnya.

Saya pura-pura berganti posisi tidur, nyangigir. Lalu tak terasa air mata jatuh, saya menangis haru. “Nuhun, Mah. Hampura oge Hendi can bisa ngabagjakeun kanu jadi kolot”, kata saya dalam hati.

***

Beberapa minggu ke belakang, tepatnya ketika sedang bulan Ramadan, dengan suasana keluarga yang terasa lebih hangat dibandingkan biasanya, saya terpikir untuk mengajak Bapak, Ibu, Kakak, dan Adik berjalan-jalan. Entah kenapa, saat itu saya ingin sekali berjalan-jalan bersama keluarga dengan formasi utuh. Saya membayangkan kami akan bergembira, saling melemparkan canda-tawa diselingi jail-jail kecil khas kakak beradik.

Keinginan saya untuk mengajak mereka jalan-jalan kembali diingatkan perkataan bercanda sang ibu kepada saya di suatu sore menjelang maghrib, tapi entah kapan, saya lupa. Ketika itu iklan dengan jargon “Jagonya Ayam” menghiasai layar tv kami, “Ndi, ajak mamah ka KFC atuh”. Asa geus lila teu ka tempat nu kitu”. Saya hanya mengangguk dan mengiyakan dengan tidak serius sambil berujar “Nya ngke mah, mun aya acis”.

Maka, ketika ingatan akan hal-hal kecil itu mengusik pikiran saya beberapa minggu ke belakang, saya sangat ingin sekali mengajak mereka. Namun sampai detik ini, saya belum mampu mewujudkan hal yang – padahal saya anggap – sederhana itu. Semoga dalam waktu dekat saya bisa mengajak mereka pergi ke KFC bersama. Dengan keluarga saya, dalam formasi yang utuh. Semoga Tuhan mengizinkan kami berkumpul di sudut meja KFC!

___

Tulisan ini merupakan bagian dari Kelas Literasi Komunitas Aleut dengan tema “Cerita Tentang Ayah” yang dikerjakan beberapa kawan di Komunitas Aleut.

 

Tautan asli: https://blogakay.wordpress.com/2016/07/20/tuhan-izinkan-kami-berkumpul-di-sudut-meja-kfc/

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s