Oleh: Anggi Aldila Besta (@anggicau)
Bulan ini bioskop lagi ramai film “Sabtu Bersama Bapak”, plus-minus tentang film itu bermunculan di sejumlah forum. Tapi bukan karena film itu saya ingin bercerita tentang orang tua saya, terutama Bapak. Sebenarnya sedikit malas juga kalau saya harus bercerita tentang keluarga saya, tapi berhubung besok adalah ulang tahun Bapak, saya coba menulis apa yang saya ingat tentang beliau.
Tulisan ini tidak akan memuat soal hal – hal yang menyangkut pribadi Bapak, karena sampai sekarangpun saya tidak mengetahui apa hobi beliau, ulang tahunnya pun saya baru tahu kemarin itu pun harus nanya sama bibi saya dulu.
Hubungan saya dengan Bapak saya sebetulnya tidak terlalu dekat sejak lama, mungkin ini jadi salah satu sebabnya saya acuh dengan ulang tahun beliau. Selama seumur hidup saya, belum pernah sekalipun saya mengucapkan selamat ulang tahun untuk Bapak. Selama ini, terserah orang mau mengatakan apa tentang hubungan saya dengan Bapak seperti apa.
Baru setelah saya bekerja di Jakarta, hubungan antara saya dan Bapak sedikit mencair. Bapak paling senang apabila diajak soal ngobrol sosial-politik, meski sesekali bapak selalu mengingatkan ”cik pang mamatahankeun itu adi – adi teh, sugan ku Aa mah nurut” .
Sejak kecil saya melihat sosok Bapak adalah sosok yang galak, tegas, dan semacamnya, mungkin sifat itulah yang membuat saya takut terhadap Bapak. Ketika saya kecil, saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah nenek, terkadang lebih suka bercengrama dengan Kakek (Alm.) daripada sama Bapak. Mungkin kalau saat itu saya sudah bisa kritis saya akan bilang “Kenapa sih saya tidak pernah diajak main atau bahkan diantar ke sekolah sama Bapak?”
Lupa saya berapa kali Bapak mengantar saya pergi ke TK, tapi mungkin tidak sesering teman saya yang suka diantar oleh ayah ibunya. Mungkin Kakek yang sering mengantar saya pergi ke TK. Waktu SD malah rasanya belum pernah Bapak mengantar saya ke sekolah. Dari SD kelas 1 sampai tamat, saya selalu pergi dan pulang sendiri.
Ketegasan Bapak benar – benar saya rasakan saat saya mulai sekolah, saya pernah disiram air hanya karena saya malas bangun pagi, jika saya malas belajar, rotan kecil sudah disiapkan untuk menakut – nakuti saya . Sempat terucap dari mulut Bapak, “kalau Papah punya uang, Papah pengen Aa disekolahkan di sekolah Katolik, biar disiplin”
Saat kami tinggal di Cilengkrang, suatu hari ketika sedang makan, Bapak pernah memecahkan piring hanya karena adik saya terus – terusan menangis. Saat sebelum krisis moneter, meski rumah masih ngontrak tapi kehidupan kami cukup lumayan. Setiap pulang koran Kompas selalu ditenteng bersamaan dengan air mineral, dan apabila ada uang lebih, beliau selalu menawarkan untuk membeli es krim.
Bagi kami, dibeliin es krim itu sudah berkah banget, soalnya memang kami jarang dikasih uang lebih untuk jajan disekolah maupun di lingkungan rumah. Hanya uang bekal secukupnya yang selalu diberikan ke kami, dan kami rasa itupun masih kurang. Pernah suatu ketika saat masih SD saya ngodok – ngodok saku celana Bapak dan mendapatkan uang Rp. 1000,-, betapa girangnya saya waktu itu (Maaf Pah, baru ngomong sekarang).
Kehidupan kami mulai berubah seiring datangnya krisis moneter tahun 1998, Bapak di-PHK oleh kantornya yang bergerak di pendistribusian pupuk. Aktifitas politiknya pun mulai meningkat, turut andil dalam demo penggulingan Soeharto di wilayah Bandung adalah kegiatan sehari – harinya saat itu.
Kami tidak pernah tahu soal beliau ikut demo, yang kami tahu Bapak hanyalah kader dari Partai Demokrasi Indonesia. Meski ikut demo, dengan sisa tabungannya di Bank Bumi Daya masih bisa dipakai untuk keperluan sehari – hari kami. Soeharto sudah turun dan Bapak masih belum mendapatkan pekerjaan yang tetap hingga sekarang.
Tanggung jawab sebagai kepala keluarga masih Bapak jalani meskipun sudah tidak mempunyai pekerjaan. Bekerja serabutan, jualan kerupuk, sampai menghemat beras untuk menyambung hidup. Pernah kami sekeluarga memakan bubur yang hanya dibumbui oleh penyedap rasa dan garam, padahal rumah kami bersebelahan sama rumah nenek.
Bapak marah kalau nenek sampai tahu saya atau adik laporan kalau kami makan bubur. Bapak tidak mau mengemis pasrah dengan hal – hal seperti itu selama masih bisa berusaha. Saat adik saya sakit, saya pernah akan ditamparnya hanya karena Nenek menanyakan apakah kami sudah makan, dan saya jawab belum, dan Bapak tahu itu. Beliau berprinsip “keluarga saya adalah tanggung jawab saya”.
Saya tidak pernah dibelikan mainan apalagi video game, piknikpun saya rasa tidak pernah. Entah kenapa saya tidak berani protes pada waktu itu, mungkin karena image Bapak yang galak sudah tertanam di otak saya. Pernah saya dibawa beberapa menemani Bapak bekerja ke luar kota, itupun saya hanya dititipkan di rumah temannya.
Manja? Bapak tidak mengajarkan sifat itu pada kami. Semasa awal SMP setiap minggu pagi, ada semacam kewajiban untuk mencuci baju. Boro – boro pakai mesin cuci, airnya saja masih nimba dari sumur. Semua saya kerjakan dengan sedikit terpaksa, karena saya juga ingin merasakan kebebasan bermain bersama teman sebaya.
Pernah saat bulan puasa, saya berkegiatan bersama para remaja masjid di PUSDAI. Tidur di PUSDAI adalah hal biasa, 4 hari pernah saya tidak pulang. Bukan apa – apa tapi takut dimarahi kalau pulang ke rumah. Bapak akhirnya nyusul, sepanjang jalan kami diam tidak saling bicara. Rasa takut masih ada dalam diri saya: Gimana nanti di rumah? Saya bisa habis dimarahin.
Sampai di rumah, Bapak cuma bilang “Papah tahu gak bisa ngasih uang jajan lebih ke Aa, tapi ngomong kalo Aa mau pergi (main) ke mana”. Saya hanya tertunduk.
Setiap orang punya catatan tersendiri soal orang tuanya. Saya tidak berharap juga orang – orang yang membaca tulisan saya akan memberikan pujian dan empati pada Bapak saya. Bapak yang mengajarkan saya bagaimana bertoleransi, membantu sesama, dan banyak hal lagi cerita tentang Bapak. Tetapi tidak bisa saya ceritakan semua, biar saya saja yang menyimpan didalam hati, yang mungkin juga tidak akan pernah saya ceritakan kepada anak saya.
Selamat ulang tahun, Pah.
___
Tulisan ini merupakan bagian dari Kelas Literasi Komunitas Aleut dengan tema “Cerita Tentang Ayah” yang dikerjakan beberapa kawan di Komunitas Aleut.
Tautan asli: https://tulisansikasep.wordpress.com/2016/07/18/sedikit-cerita-tentang-bapak/