#PernikRamadhan: Ramadan sebagai “Waktu Publik”

Oleh: Zen RS (@zenrs)

…. when holy days and holidays were one and indivisible

/1

Seorang Amrikiya berdarah Yahudi, saya berdiskusi santai dengannya saat Ramadan bertahun-tahun lalu, berkali-kali mengucapkan ketidakpercayaannya bahwa muslim di Indonesia sungguh-sungguh menikmati dan bahkan menunggu-nunggu Ramadan. Ia sukar mengerti mengapa “penindasan dan pengekangan” terhadap perut, mata, telinga, kelamin dan hasrat-hasrat duniawi lainnya, yang berlangsung rutin setiap tahun, bisa disambut dengan gegap gempita oleh muslim di Indonesia.

Ia tidak mungkin paham karena ia tidak mengerti betapa Ramadan sesungguhnya bukan sekadar “penindasan dan pengekangan” terhadap makan, minum dan seks sepanjang pagi hingga sore, melainkan juga pembebasan yang menyenangkan dari rutinitas yang membosankan dalam 11 bulan lainnya.

Amrikiya itu bisa diberi sedikit pemahaman sewaktu saya mencoba menjelaskan semaraknya Ramadan melalui konsep yang agak dikenalnya: semangat karnaval ala Mikhail Bakhtin.

Karnaval, menurut Bakhtin dalam buku Rebelais and His World yang berisi telaahnya tentang zaman renaissance yang termaktub dalam lima jilid novel Gargantua and Pentagruel karya Francois Rebelais, merupakan sebuah pusat perayaan yang para pesertanya begitu menghidupi dan menghayatinya, tapi penghayatan itu bukan perpanjangan (atau bagian dari) dunia sehari-hati atau kehidupan yang riil.

Dunia dan hidup dalam karnaval, kata Bakhtin, seperti diputarbalikkan. Ketika dunia sehari-hari dan kehidupan yang rutin diputarbalikkan, maka berbagai (pem)batas(an) dan (per)aturan — yang biasanya begitu menentukan perilaku masyarakat – seakan dipinggirkan, atau ditangguhkan, untuk sementara waktu. Hirarki sosial mencair. Batas antara “penampil” dan “penonton”, jika menggunakan analogi seni pertunjukkan, lumer dan mencair.[1]

Terdapat setidaknya empat ciri dari sensasi carnivalesque menurut Bakhtin:[2]

Satu, interaksi yang akrab dan bebas di antara orang-orang yang terlibat. Orang-orang bisa bebas berinteraksi dan leluasa mengekspresikan dirinya kepada yang lain.

Dua, kemunculan perilaku eksentrik yang dalam kehidupan sehari-hari mungkin akan dianggap janggal dan ganjil. Dalam karnaval, perilaku, tindak kata dan tampilan-tampilan tak biasa, tak lazim dan aneh menjadi dimungkinkan.

Tiga, interaksi dan sikap bebas serta intim dalam suasana karnaval, pada gilirannya, memungkinkan berbagai kontradiksi atau paradoks bisa diterima bahkan bisa saling berhubungan — antara dunia dan yang-gaib, antara sakral dan profan, antara personal dan sosial, antara baru dan lama, antara tinggi dan rendah.

Empat, karnaval juga mengizinkan, bahkan dicirikan, oleh berbagai parodi yang kadang vulgar terhadap segala yang sakral dan suci. Berbagai ritus bisa ditampilkan dengan tidak senonoh, dengan diplesetkan, ditertawakan, tapi semuanya dilakukan seakan-akan sebagai hal yang serius, sungguh-sungguh, dan sebenar-benarnya.

Jelas terlalu berlebihan menyebut Ramadan sebagai sebuah karnaval ala Bakhtinian. Beberapa hal dalam ciri-ciri karnaval versi Bakhtin mustahil disaksikan dalam Ramadan. Karnaval sesungguhnya adalah sebuah chaos, di mana – kecuali kekerasan– berbagai hal diizinkan dan dimungkinkan dipraktikkan, termasuk relasi seksual a la Woodstock. Jika karnaval sepenuhnya membebaskan, Ramadan tentu saja berisi banyak “pengekangan dan penindasan”.

Kala itu saya sengaja menyebut teori karnaval a la Bakhtin untuk memperlihatkan pada Amrikiya itu betapa Ramadan adalah sebuah dunia yang berbeda, bulan yang tak sama dengan sebelas bulan lainnya, yang di dalamnya umat Islam bisa dan biasanya menghayatinya sebagai sebuah periode istimewa yang melampui dunia dan hidup sehari-hari. Kecuali ciri keempat yang sudah saya uraikan di atas, beberapa praktik dan kebiasaan orang Indonesia selama Ramadan – setidaknya dalam cerita-cerita yang diuraikan Haryoto Kunto—bisa diletakkan dalam tiga ciri pertama semangat/sensasi karnaval a la Bakhtin. Beberapa di antaranya akan saya uraikan di halaman-halaman berikutnya dalam esai ini.

Saya tentu mengingatkan kepada Amrikiya satu itu bahwa Ramadan tidak se-chaos seperti yang dibayangkan dalam semangat karnaval. Tapi dengan itulah akhirnya Amrikiya itu bisa lumayan memahami betapa Ramadan — yang awalnya ia anggap sebagai praktik “penindasan dan pengekangan” dan karenanya mustahil diterima dengan ikhlas—memang ditunggu dan dinanti oleh umat Islam di Indonesia.

/2

Dari puluhan cerita yang disodorkan Haryoto Kunto dalam buku Ramadhan di Priangan, saya paling terkesan dengan bagian “Lebaran di Dayeuh Bandung”.[3]

Pada bagian itu, Haryoto Kunto mengisahkan peristiwa salah satu malam lebaran di dekade 1930an (sayang tidak disebutkan persisnya tahun berapa). Karena persoalan cuaca, hilal dilaporkan tidak tampak di langit Bandung. Sementara pengamatan hilal di wilayah Hindia Belanda lainnya (saat itu Indonesia belum lahir) tidak diketahui karena terkendala komunikasi. Padahal kala itu warga Bandung sudah menunggu-nunggu kepastian apakah esok sudah 1 Syawal atau belum.

Sekitar jam 22.00, seorang prajurit kabupaten dan pengurus Mesjid Agung Bandung berkeliling kampung sambil memukul gong mengumumkan bahwa Ramadan telah berakhir dan besok umat Islam sudah bisa menunaikan shalat Ied. Artinya: besok lebaran. Selidik punya selidik, hilal sudah tampak di beberapa wilayah lain seperti Batavia atau Banten. Informasi datang terlambat.

Haryoto Kunto menceritakan respons warga Bandung dengan gambaran yang — bagi cita rasa sekarang boleh jadi — terasa fantastis:

“…dayeuh Bandung yang sunyi sepi, dingin menggigit daging, tiba-tiba suasana menjadi meriah. Kaum ibu berlarian ke pasar yang mendadak dibuka malam itu. Begitu pula toko dan warung ramai diserbu pengunjung yang butuh bahan makanan buat hidangan ‘hajat walilat’ atau ‘hajat lebaran’. … Selain ibu yang sibuk masak buat hidangan lebaran esok hari, ayah dan Mang Ahri, pembantu di rumah, lari ke sana kemari mencari lebe atau amil buat bayar zakat fitrah.”

Saya tidak tahu kapan lagi atau dengan cara apa kita bisa merasakan suasana fantastis demikian. Di zaman ketika informasi begitu mudah didapatkan seperti sekarang, rasanya sangat mustahil kita dapat mengalami suasana macam itu.

Namun jika dipikir-pikir lagi, Bandung sebenarnya sempat mengalami suasana yang agak mirip. Dan itu belum terlalu lama terjadi.

Bandung pada malam 7 November 2014 juga sempat terasa hening, bahkan sepi di beberapa titik. Sejak pukul 18.30, jalanan yang biasanya sesak oleh pengendara yang berebut dan bersicepat ingin tiba di rumah malam itu terlihat lebih lengang dari biasanya. Suasana berubah menjadi ramai, hiruk pikuk dan meledak oleh keriuhan sekitar (kurang lebih) pukul 21.30. Saat itu semua orang di Bandung tahu: Persib Bandung baru saja menjadi juara Liga Indonesia.

Mungkin saya berlebihan, tapi saya merasa ada beberapa kemiripan antara malam 7 November 2014 dengan malam lebaran pada dekade 1930an yang diceritakan oleh Haryoto Kunto.

Pertama, publik sama-sama tahu bahwa malam itu akan atau sedang terjadi sebuah peristiwa yang sudah ditunggu-tunggu namun belum diketahui persis akan menjadi seperti apa. Dalam hal cerita Haryoto Kunto, semua orang sedang menunggu pengumuman 1 syawal. Dalam hal 7 November 2014, publik sedang menunggu hasil pertandingan di Jakabaring, Palembang. Dan publik menunggu di tempatnya masing-masing, sama-sama tidak berkeliaran.

Kedua, dalam cerita Haryoto Kunto publik menunggu di rumahnya masing-masing, dan pada malam 7 November 2014 publik juga menunggu di tempatnya masing-masing (di rumahnya sendiri atau tempat-tempat nonton bareng). Keduanya sama-sama tidak berkeliaran.

Ketiga, semua orang kemudian menghambur ke jalanan ketika kepastian itu datang: Ramadan telah berakhir dan 1 Syawal telah tiba dalam cerita Haryoto Kunto, pertandingan dan kompetisi telah usai dan Persib dipastikan menjadi juara Liga Indonesia dalam peristiwa 7 November 2014.

Keempat, keduanya adalah cerita tentang perjuangan yang sama-sama berakhir dengan kemenangan. Dalam cerita Haryoto Kunto adalah ujung perjuangan 30 hari melawan hawa nafsu yang berakhir dengan kemenangan menyambut lebaran, pada malam 7 November 2014 menjadi ujung perjuangan 20 tahun menghadapi kekecewaan, kekalahan dan kepedihan selama 20 tahun yang berakhir dengan kemenangan di final Liga Indonesia 2014.

Bagi saya, dua peristiwa itu memperlihatkan apa yang disebut sebagai “waktu publik”.[4]

“Waktu publik” ialah sekuen di mana setiap orang, dalam ruang-lingkup atau geografi tertentu, merayakan sebuah peristiwa secara bersama-sama, serentak dan serempak. Tapi “waktu publik” tak sekadar merayakan sesuatu secara berbarengan. “Waktu publik” juga mensyaratkan keberadaan “makna”, sesuatu yang imaterial, hal ihwal yang melampaui rutinitas. “Waktu publik” tidak bisa dibuat atau dihadirkan dengan arbitret alias semena-mena dan sesuka hati. Ia mesti di luar jangkauan seorang kreator super – misalnya mudik karena Pilkada atau karena kerabat menikah.

Sekumpulan, mungkin ratusan atau ribuan orang, bisa saja bersama-sama liburan ke Bali atau Paris, dan ribuan orang lainnya boleh saja pulang ke kampung halaman karena cuti bersama atau hari libur panjang karena tanggal merah yang terjepit di antara haru kerja. Semua itu tidak bisa disebut sebagai “waktu publik”, setidaknya menurut hemat saya, tanpa keberadaan makna yang sifatnya imaterial atau bahkan transendental. Paling banter itu hanya menjadi “waktu pribadi” yang (kebetulan) digelar berbarengan dengan ribuan orang lain.

“Waktu publik”, menurut hemat saya lagi, biasanya dicirikan oleh melumernya batas-batas yang dalam kehidupan sehari-hari begitu kuat mencengkeram karena sudah menjadi kebiasaan atau telah menjadi demikian rutin. Bukan hanya batas-batas kadang mencair, tapi bahkan pelanggaran-pelanggaran tertentu menjadi ditoleransi. “Waktu publik” membuat orang menjadi lebih permisif dengan berbagai hal, termasuk pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum, norma atau pranata sosial.

Inilah momen ketika “…when holy days and holidays were one and indivisible.”[5]

/3

Menurut saya, Ramadan di Indonesia merupakan sebuah “waktu publik” – dan ini khas Indonesia, setidaknya Indonesia punya kekhasan yang tidak bisa dengan gampangan disepadankan dengan wilayah-wilayah lain di dunia. Buku Ramadhan di Priangan karya Haryoto Kunto memberikan banyak sekali cerita yang bisa dijadikan contoh betapa “waktu publik” memang sungguh-sungguh hadir selama Ramadan.

Ambil contoh perihal melumernya batas-batas atau permisifitas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dalam hari-hari non-Ramadan mungkin tidak bisa ditoleransi.

Saya tidak perlu mengulang kembali apa yang sudah saya tulis dalam esai “Ibadah sebagai Piknik”. Tapi setidaknya kali ini saya bisa mengingatkan kembali bahwa hanya selama Ramadan-lah anak-anak bisa dengan leluasa keluyuran hingga larut malam. Hanya selama Ramadan anak-anak diizinkan untuk kelayaban mulai pukul 2 dini hari untuk ikut rombongan keliling kampung/kompleks yang sibuk dan riang membangunkan orang lain. Hanya selama Ramadan pula mesjid menjadi begitu menyenangkan bagi anak-anak, seakan tak ubahnya suatu playground ala timezone, bahkan bisa menjadi festival bermain yang membuat ibadah terasa rileks dan bisa (sedikit) dipermainkan.

Anda cukup membaca halaman 68-73 buku Ramadhan di Priangan untuk bisa menyaksikan betapa anak-anak begitu menikmati (bahkan sampai batas tertentu seakan diizinkan) bermain-main di mesjid, mempermainkan orang tua bahkan sedikit bermain-main dengan ritus ibadah. Halaman-halaman ini juga merupakan salah satu bagian favorit saya dari buku Ramadhan di Priangan.

Sangat mengharukan, ya saya justru merasa itu mengharukan, ketika anak-anak itu, yang oleh Haryoto Kunto disebut sebagai “(godaan) setan-setan kecil”, saat tarawih berlangsung malah menyusup ke kolong mesjid dan dari kolong itulah ia menggilik-ngilik kaki imam tarawih dengan lidi hingga lafalan sang imam pun berantakan tak karuan.

Saya lagi-lagi menemukan kutipan Bakhtin yang pas untuk menggambarkan situasi ini: “(When) laughter penetrated the mystery plays.”[6]

Belum lagi kaum perempuan. Hanya selama Ramadan kaum perempuan juga bisa “berkeliaran” lebih malam, bisa tinggal di mesjid hingga larut untuk tadarusan. Perempuan menjadi jauh lebih aktif dan bisa terlibat lebih jauh dalam berbagai urusan (lihat bab terakhir Ramadan di Jawa karya Andre Moller untuk dijadikan perbandingan terkait sub-tema perempuan dan Ramadan ini).[7]

Saya masih ingat masa kecil saya di pelosok Cirebon. Sebuah sendang, atau kolam yang menampung air yang tercurah dari mata air, selalu ramai oleh warga kampung sehari jelang Ramadan. Biasanya perempuan dan laki-laki dipisahkan dalam bak-bak mandi terpisah. Hanya di saat itu, pada tradisi yang di banyak tempat disebut padusan, bak-bak mandi itu nyaris tak berfungsi karena semua nyemplung ke kolam, tak peduli usia atau jenis kelamin.

Hanya selama Ramadan pula kita semua bisa menoleransi, setidaknya dalam pengalaman masa kecil saya di kampung, prilaku abnormal dan kelewat batas seperti menyalakan petasan atau meriam bambu pada tengah malam. Di zaman kiwari, bahkan orang bisa toleran dengan rombongan yang memutar lagu dangdut keras-keras sembari keliling kompleks/kampung pada jam 2 dini hari!

Bahkan orang mati pun “dilibatkan”. Sehari menjelang Ramadan, kadang di hari pertama Ramadan, hingga di hari terakhir Ramadan, dan sampai beberapa hari setelah memasuki bulan Syawal, orang yang masih hidup merasa perlu untuk mendatangi kuburan, membersihkan makam leuluhur dan sanak serta kerabat. Laku nyekar seakan menjadi sebuah penegasan betapa Ramadan adalah peristiwa yang melintasi perbatasan dunia yang empiris dan alam gaib yang tak kasat mata. Serasa ada yang kurang, setidaknya bagi beberapa kalangan, jika tidak “menyapa” orang-orang terkasih yang sudah meninggal sebelum, selama dan setelah Ramadan.

Saking melampaui batas-batas[8] rutinitas dan keseharian, bukan hanya orang mati yang semasa hidupnya menganut Islam, bahkan orang non-muslim yang masih hidup pun terlibat atau dilibatkan dalam “waktu publik” bernama Ramadan ini. Toko-toko milik orang Cina pasti merasakan benar kebahagiaan Ramadan karena pendapatan mereka bisa lebih melimpah ketimbang hari biasanya, apalagi menjelang lebaran.

Tak hanya itu, di luar soal kalkulasi ekonomi, kita juga akan dengan mudah mendapatkan cerita bagaimana orang non-muslim pun memang terlibat atau dilibatkan dalam Ramadan. Cerita Haryoto Kunto perihal bagaimana seorang Cina pemilik toko di Stasiun Cibatu yang ikut bahu-membahu menyiapkan bahan masakan untuk makanan lebaran pastilah bukan cerita satu-satunya.

Lebaran sebagai puncak perjalanan dan perjuangan Ramadan menjadi momentun tak terbantahkan betapa Ramadan bukan lagi semata peristiwa keagamaan yang khas/monopoli Islam, melainkan sudah menjadi sebuah peristiwa sosial yang melampui batas-batas dan sekat-sekat agama. Saudara-saudara kita yang non-muslim juga merasakan dan menikmati libur panjang dan serba-serbi keriuhan dan kehebohan khas lebaran di Indonesia.

Tidak heran jika Nurcholis Majid pernah menyebut, dan saya setuju sepenuhnya, bahwa lebaran menjadi “puncak pengalaman hidup sosial keagamaan rakyat Indonesia”.[9] Sekali lagi: rakyat Indonesia. Bukan sekadar rakyat Indonesia yang muslim.

Krisis moneter 1998, misalnya, tak membuat lebaran kehilangan gegap gempitanya. Ekonomi boleh sulit, hidup boleh lebih berat, tapi Ramadan harus disambut dan lebaran harus dirayakan sebagaimana biasanya – ada atau tidak ada krisis moneter.

/4

Momen lebaran inilah, dan sebenarnya sudah dimulai menjelang hari pertama Ramadan, orang-orang mencoba memulihkan kembali ikatan sosial yang mungkin sempat retak-patah selama sebelas bulan sebelumnya. Orang saling bermaaf-maafan, antar kerabat, tetangga, bahkan dengan leluhur yang sudah meninggal melalui tradisi nyekar. Ikatan komunitas yang sempat usang karena konflik dan pertengkaran pun dipulihkan dan diperbaharui kembali. [10]

Indonesia boleh-boleh saja dilarang menyelenggarakan sepakbola, tapi jangan harap Indonesia akan baik-baik saja jika Ramadan harus direpresi dan tidak boleh dikhidmati dengan semarak dan riuh serta/atau mudik lebaran tiba-tiba tidak diperbolehkan oleh negara. Saya kira, kita bisa menyaksikan sebuah chaos yang serius jika ada rezim yang cukup tidak waras untuk melakukan hal itu.

Mustofa W. Hasyim, sastrawan kelahiran Jogjakarta, pernah menulis cerpen berjudul “Mudik”.[11] Cerpen itu bercerita tentang kehidupan menjelang Lebaran di sebuah kompleks perumahan kumuh di pinggir sebuah rel kereta di Jakarta.

Dengan baik sekali, pengarang berhasil menggambarkan bagaimana penghuni rumah-rumah di sepanjang rel merasa gelisah tiap sebuah kereta melintas ke arah timur.

Seakan ada yang bergerak-gerak dalam dada, dan seperti terdengar teriakan yang memberi peringatan bahwa mereka memiliki tanah asal, punya masa lampau, kerabat yang sedang menunggu. Setiap kereta api melintas, mereka seperti didorong-dorong demikian kuatnya untuk meninggalkan Jakarta menuju ke tempat asal yang lebih damai dan tenteram.

Ramadan dalam buku Ramadhan di Priangan[12] adalah peristiwa kebudayaan yang luar biasa. Ramadan menjadi peristiwa yang ditunggu-tunggu, amat menyenangkan, membahagiakan, dan orang-orang rela melakukan banyak hal, termasuk mengerahkan berbagai sumber daya, untuk menyemarakkan Ramadan.

Setidaknya di masa lalu. Setidaknya seperti yang bisa kita baca dalam buku Ramadhan di Priangan.

***

Esai ini ditulis Zen RS sebagai bahan diskusi buku Ramadhan di Priangan yang diselenggarakan Komunitas Aleut di Kedai Preanger, Bandung, 21 Juni 2015.

 

Referensi:

[1] Dalam kalimat Bakhtin: “Carnival is not a spectacle seen by the people, they live in it, and everyone participates because its very idea embrace all the people. …carnival celebrated temporary liberation from the prevailin gtruth and from the established order; it marked the suspension of all hierarchical rank, privileges, norms and prohibitions. Carnival was the true feast of time, the feast of becoming, change, and renewal. It was hostile to all that was immortalized and completed.” Mikhail Bakhtin, 1984, Rebelais and His World, Bloomington: Indiana University Pers, hal. 7-11.

[2] Mikhail Bakhtin: “Carnival and Carnivalesque” | http://culturalstudiesnow.blogspot.com/2011/07/mikhail-bakhtin-carnival-and.html

[3] Haryoto Kunto, 2008, Ramadhan di Priangan, Bandung: Granesia, hal. 104-105.

[4] Uraian tentang “waktu publik” ini saya kopi-paste begitu saja dari esai lama yang saya tulis untuk Yahoo! Indonesia menjelang lebaran 2013, Mudik ke Haribaan Mata Air.

[5] Kristina Simeonova, 1993, “The Aesthetic Function of the Carnivalesque in Medieval English Drama”, dalam Critical Studies edisi Bakhtin, Carnival and Other Subject, vol. 3 No. 2 – Vol. 4 No. 1/2; Amsterdam: Rodopi, hal 71.

[6] Mikhail Bakhtin, 1984, Rebelais and His World, Bloomington: Indiana University Pers, hal. 15.

[7] Andre Moller, 2005. Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar, Jakarta:Penerbit Nalar, hal. 265-267.

[8] Antropolog kenamaan, Arnold von Gennep, melansir teorinya tentang rite de passages yang menjelaskan bahwa manusia sangat sering beada dalam situasi liminal, “di ambang”, ketika berlangsung sebuah peralihan dari satu fase ke fase hidup lainnya. Di Indonesia, konsep von Gennep ini pernah digunakan oleh Koentjaraningrat untuk mengumpulkan berbagai ritus yang mengantarkan fase-fase peralihan ini. Lihat: Konetjaraningrat, 1985, Ritus Peralihan di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

[9] Ahmad Gaus (editor), 2000, Dialog Ramadan Bersama Cak Nur: Merenungi Makna dan Hikmah Ibadah Puasa, Lailatul Qadar, Nuzulul Qur’an, Zakat dan Hari Raya Idul Fitri, Jakarta: Paramadina, hal. 127.

[10] Dengan merujuk kembali kalimat Bakhtin yang sudah disebut di catatan kaki sebelumnya: “…the feast of becoming, change, and renewal.”

[11] Bentang Pustaka pada 1996 sempat menerbitkan kumpulan cerita pendek yang dibukukan menjadi sebuah buku berjudul Mudik. Cerpen Mustofa W. Hasyim merupakan salah satu cerpen dalam himpunan itu.

[12] Ramadan dalam buku Ramadhan di Priangan bukan hanya peristiwa sebulan yang terseliup di antara bulan Sya’ban dan Syawal. Ramadan di situ juga merujuk peristiwa-peristiwa, tindak-tutur dan kebiasaan yang terkait dengan ritual berpuasa selama Ramadan, termasuk nisfu sya’ban, nyekar dan bersih desa di bulan Sya’ban hingga nyekar dan silaturahmi di awal bulan Syawal. Mudik, atau pulang kampung, dalam konteks 1 Syawal, juga bagian dari Ramadan sebagai sebuah peristiwa kebudayaan.

Iklan

2 pemikiran pada “#PernikRamadhan: Ramadan sebagai “Waktu Publik”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s