Oleh: Mohamad Salman (@vonkrueger)
Kalau kita naik kereta api jarak menengah/jauh dari atau menuju Bandung, ada beberapa alternatif untuk naik-turun selain Stasiun Hall Bandung. Yaitu Stasiun Padalarang, Cimahi dan Kiaracondong. Cimahi dan Padalarang terletak di sebelah barat Stasiun Hall Bandung, sementara Kiaracondong ada di timur. Secara kelas dan luas stasiun, ketiga stasiun ini tidak banyak berbeda. Hanya saja Stasiun Padalarang dan Cimahi telah berdiri sejak awal era 1900an, sedangkan Kiaracondong sendiri saat itu masih berupa stopplaats, atau halte, dan baru setelah tahun 1920an berkembang menjadi sebuah stasiun.
Berkembangnya Stasiun Kiaracondong tidak terlepas dari perkembangan sistem perkeretaapian di Bandung. Jangan lupa, Bandung adalah kota pegunungan. Disaat truk belum mampu untuk mengangkut barang hingga puluhan ton bahkan di jalanan datar, dan pesawat terbang pun kesusahan untuk melewati barisan pegunungan yang mengelilingi Bandung, maka pilihan transportasi yang paling reliable adalah kereta api. Agar tidak terjadi kesemrawutan dalam mengatur perjalanan orang dan barang dan tidak terjadi penumpukan di Stasiun Hall Bandung, disusunlah suatu sistem emplasemen* besar.
Sistem ini tentu saja berpusat di Stasiun Hall Bandung, dimana stasiun ini menjadi tujuan utama perjalanan KA penumpang dan perawatan lokomotif. Tak jauh kearah barat, berdiri dipo perawatan kereta dan gerbong, dan juga Stasiun Bandung Gudang dan Stasiun Ciroyom. Kedua stasiun ini melayani kegiatan bongkar muat barang (saat itu belum ada peti kemas).
Untuk mendukung semua itu, Stasiun Kiaracondong pun dikembangkan sedemikian rupa sehingga selain mampu melayani perjalanan KA penumpang, ia juga memiliki Marshalling Yard. Fungsinya adalah untuk menyortir gerbong-gerbong barang sesuai dengan tujuan, baik berdasarkan stasiun (contoh : Surabaya, Tanjung Priok) maupun arah (barat, timur, selatan). Gerbong – gerbong ini disortir dengan cara dilangsir hingga gerbong-gerbong yang memiliki tujuan yang sama tergabung dalam satu rangkaian. Selain itu, Stasiun Kiaracondong juga menjadi titik awal dari beberapa jalur cabang. Ke arah barat menuju Stasiun Karees dan pergudangan di sekitarnya, lalu sepur menuju pergudangan Cikudapateuh yang berjalan paralel dengan jalur utama, dan jalur menuju pabrik senjata ACW (sekarang Pindad). Stasiun Kiaracondong juga terhubung dengan Balai Yasa Jembatan dan Perusahaan Gas.
Sekarang, Stasiun Kiaracondong tidak lagi memiliki jalur cabang maupun marshalling yard. Tetapi, Stasiun ini tetap menjadi stasiun penting di Bandung, karena kebijakan PT KA yang menjadikan stasiun ini menjadi stasiun perhentian untuk KA ekonomi dari dan menuju Bandung, atau yang melewati Bandung. Sama seperti Jakarta yang memisahkan KA eksekutif/bisnis (berhenti Gambir) dan ekonomi (berhenti Pasarsenen). Menurut kabar burung, Stasiun Kiaracondong dan Balai Yasa Jembatan akan dikembangkan lagi untuk mendukung pengoperasian KRL Komuter Bandung Raya. Yah, kita tunggu saja bagaimana kelanjutannya…
*emplasemen : sekelompok sepur/jalan rel dengan wesel-wesel dan peralatan-peralatan/perlengkapannya yang mempunyai fungsi tertentu
Sumber gambar : Ir. THM. Pangestu, Jalan Rel Kereta Api untuk Fakultas Teknik Sipil
Tautan asli: https://msvonkrueger.wordpress.com/2015/04/02/kiaracondong/
Ping balik: Jalur Kereta Api Mati di Bandung (2): Kiaracondong-Karees yang Terlupakan