Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)
Kadut artina beuteung kuat saparti munding (terjemahan kadut di Kamus Basa Sunda R. A. Danadibrata)
Pagi itu, Komunitas Aleut melakukan tema ngaleut yang jarang dijelajahi. Tema ngaleut tersebut adalah ngaleut pemakaman Cikadut. Jadi, rute dan kawasan yang dijelajahi berada di Pemakaman Cikadut.
Cikadut, pemakaman tua di Bandung
Sebelum ada peraturan yang mengatur pemakaman, warga Bandung kadang – kadang memakamkan keluarganya di pekarangan rumah. Hal tersebut dilakukan karena ada yang tidak punya uang atau tidak adanya lahan pemakaman.
Setelah ada peraturan yang mengatur pemakaman, semua kuburan yang berada di Banceuy dipindahkan ke pinggiran kota Bandung. Pemakaman bagi orang Belanda dan Eropa berada di Kebon Jahe yang sekarang menjadi GOR Padjadjaran. Pemakaman bagi orang Tionghoa berada di Babakan Ciamis. Sedangkan orang pribumi berada di Astanaanyar, Sirnaraga, Gumuruh, dan Maleer.
Lalu setelah perluasan wilayah kota Bandung, beberapa makam dipindahkan. Perluasan wilayah kota Bandung juga menjadi penyebab dibangunnya Pemakaman Pandu. Salah satunya, beberapa makam Tionghoa yang dipindahkan ke Pemakaman Cikadut.
Jika bertanya mengenai tahun berdiri Pemakaman Cikadut, saya tidak bisa memberikan tahunnya secara pasti. Tapi berdasarkan ngaleut tadi, saya dan Komunitas Aleut menemukan salah satu makam yang telah ada sejak tahun 1909. Sehingga saya bisa menyimpulkan bahwa Pemakaman Cikadut sudah menjadi pemakaman orang Tionghoa sejak 1909.
Makam – makam yang menarik di Cikadut
Sebelumnya, saya menyebutkan keberadaan makam yang ada sejak tahun 1909. Makam tersebut berlokasi di sebelah kanan dari jalan utama Pemakaman Cikadut. Makam tersebut adalah makam Ong Kwi Nio yang bersebelahan dengan makam Tan Joen Liong, salah satu luitenant Tionghoa di Bandung.
Rumah yang menaungi makam Ong Kwi Nio dan Tan Joen Liong mengingatkan saya akan rumah kolonial di Bandung tahun 1900-an. Hal tersebut terlihat dari dua pilar di beranda dan atap yang khas. Bentuk atap rumah tersebut masih bisa ditemukan di sekitaran Cimahi dan Bandung tengah.
Selain makam Ong Kwi Nio dan Tan Joen Liong, terdapat makam yang memiliki nisan khas pemakaman muslim. Makam tersebut adalah milik Ibu Djuriah yang merupakan orang Tionghoa beragama Islam. Sebelah makam Ibu Djuriah, kami menemukan makam yang menurut kuncen adalah makam suami Ibu Djuriah.
Setelah berjalan ke arah barat dari makam Ibu Djuriah, kami melihat satu makam yang berbentuk tugu dengan bola di atapnya. Makam tersebut adalah makam bersama satu keluarga. Menurut kang Asep, keluarga yang dimakamkan di sini adalah korban kecelakaan. Terdapat tulisan Makam Bersama Kiauwpau Madja 1 – 12 – 1952 oleh Huachiaolienhui.
Jika melihat ke atas dari Cikadut bagian bawah, terdapat satu makam besar yang berkubah putih. Makam tersebut tertulis Atlantic Park. Pada bagian belakang makam, kami bertemu dengan kuncen yang menetap dan merawat makam tersebut.
Sedikit menerobos makam – makam yang kurang beraturan di Cikadut, kami menemukan satu makam yang memiliki nisan beraksara arab. Makam tersebut milik Ipoh yang meninggal tahun 1991. Walaupun beraksara arab, bentuk makam tersebut sama dengan makam Tionghoa lainnya.
Setelah berjalan cukup jauh dari gerbang Cikadut, kami melihat satu makam yang berukuran lebih besar dibanding makam – makam lainnya. Makam tersebut diberi pagar dan dua atap kembar. Makam tersebut adalah makam milik Na Kiem Liam dan Yo Giok Sie.
Yo Giok Sie adalah pemilik dari pabrik tekstil BTN atau Batena di Bandung Timur. Menurut kang Asep, pabrik tekstil BTN telah ada sejak era kolonial Belanda. Pada tahun 1941, Yo Giok Sie membeli pabrik tersebut dari pemerintah kolonial Belanda. Sekitaran pabrik tersebut, terdapat bangunan panjang yang menjadi rumah bagi pekerja pabrik.
Bentuk makam yang khas di Pemakaman Cikadut
Seperti makam yang berada di Pemakaman Pandu, terdapat bentuk khas makam yang berada di Pemakaman Cikadut. Bentuk khas tersebut terlihat dari bentuk makam yang menyerupai rahim ibu.
Terdapat bagian – bagian pada makam di Pemakaman Cikadut. Jika kita lihat dari depan, bagian muka nisan adalah pintu masuk rahim ibu. Sedangkan bagian kiri dan kanan makam terlihat memanjang seperti lengan atau kaki. Selain itu, terdapat dua monumen untuk dewa keberuntungan dan dewa tanah pada makam.
Kremasi bukan keramas!
Jika membaca beberapa buku tentang agama Hindu dan Budha, saya teringat salah satu upacara yang selalu membuat merinding. Upacara tersebut adalah kremasi. Proses kremasi adalah proses pembakaran jenazah atau tulang jenazah hingga menjadi abu. Walaupun sering dilakukan, jenazah masih memiliki pilihan dikremasi atau dikuburkan.
Pada Pemakaman Cikadut, terdapat dua tempat kremasi atau krematorium yang masih aktif. Salah satu krematorium berhasil kami kunjungi. Krematorium tersebut telah berdiri sejak tahun 1967. Terdapat tiga oven pada krematorium tersebut. Selain oven, dua pohon yang mengapit krematorium adalah pohon Bodhi.
Pada saat ngaleut, sedang ada proses kremasi di krematorium. Saya yang termasuk orang penasaran melihat proses kremasi. Saat melihat ke oven, saya masih melihat tulang yang dibakar dengan semprotan api. Perasaan ngeri, mual, dan kaget campur aduk saat melihat proses tersebut.
Pemakaman Cikadut kini dan nanti
Pemakaman Cikadut termasuk pemakaman terbesar di Indonesia atau bahkan Asia Tenggara. Menurut kang Asep, Pemakaman Cikadut memiliki luas hingga 125 Ha. Jika tanah warga terus dibeli untuk makam, masih ada kemungkinan Pemakaman Cikadut makin luas.
Selain makin luas, makam – makam yang berada di Pemakaman Cikadut tergolong berantakan. Makam yang berantakan tersebut mengingatkan saya akan pemakaman Pandu. Oleh karena itu, sepertinya harus ada peraturan yang mengatur letak dan posisi makam agar tidak berantakan.
Sumber Bacaan :
Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto
Wadjah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto
Kamus Basa Sunda karya R. A. Danadibrata
Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2015/03/16/catatan-perjalanan-pemakaman-cikadut/