Oleh: M. Taufik Nugraha (@abuacho)
Memasuki Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cikadut, kita akan disuguhi berupa pemandangan kuburan-kuburan yang mewah. Bangunan dengan desain yang menarik dan mewah dibangun di atas lahan kuburan yang boleh dibilang cukup luas, seperti salah satunya foto kuburan yang ada di bawah ini:

Salah Satu Kuburan Yang Ada di TPU Cikadut
TPU Cikadut sendiri sejatinya merupakan tempat pemakaman bagi orang-orang dari etnis Tionghoa yang beragama Hindu, Budha, ataupun Kong Hu Cu (seperti yang tertera pada plang sebelum masuk TPU Cikadut), namun pas kegiatan ngaleut kemarin, banyak juga saya temui kuburan orang – orang dari suku – suku yang ada di Indonesia, terutamanya suku Batak yang beragama Kristen, dan yang lebih menariknya lagi, saya temui juga kuburan orang Islam di TPU tersebut.

Salah Satu Kuburan Orang Batak Yang Beragama Kristen
Untuk kuburan orang Islam yang ada di TPU Cikadut, saya dan kawan-kawan dari Komunitas Aleut menemukan dua kuburan, dimana yang pertama yaitu kuburannya Ibu Djuhriah.

Kuburan Ibu Djuhriah
Ibu Djuhriah sendiri semasa hidupnya merupakan kepala sekolah di SD Priangan, yang dapat kita ketahui dari tulisan yang terdapat pada nisan kuburan tersebut. Awalnya saya menyangka bahwa Ibu Djuhriah ini bukan dari etnis Tionghoa, karena tidak ada keterangan nama China-nya pada nisan kuburan, dan beranggapan beliau merupakan orang yang bertempat tinggal dekat dengan TPU tersebut, sehingga dimakamkan disana. Namun berdasarkan keterangan dari Kang Asep Suryana yang bertindak sebagai guide pada kegiatan ngaleut waktu itu, diketahui Ibu Djuhriah memang seorang muslim dari etnis Tionghoa, akan tetapi tidak diketahui pasti, apakah Ibu Djuhriah ini seorang mualaf atau memang dari lahir sudah memeluk Islam
Secara sekilas, kita dapat dengan mudah memperkirakan bahwa kuburan Ibu Djuhriah ini kuburannya orang Islam, yang bisa dilihat dari bentuk kuburan yang sudah umum kita lihat pada TPU khusus orang beragama Islam, namun untuk kuburan muslim yang satu ini, kita tidak dapat memperkirakannya secara cepat.

Kuburan Muslim dengan Ornamen Khas Tionghoa
Jika kita melihat dari kejauhan, kita tidak akan menyangka bahwa kuburan tersebut merupakan kuburan yang “dihuni” oleh orang yang beragama Islam, karena bentuknya yang menyerupai kuburan-kuburan khas-nya orang Tionghoa yang beragama non-Islam, namun setelah didekati barulah dapat diketahui bahwa kuburan tersebut “diisi” oleh seseorang yang beragama Islam dengan nama Ipoh.

Kuburan Ibu Ipoh
Dari nisan kuburan ibu Ipoh, terdapat tulisan “Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un”, yang menandakan betul bahwa beliau adalah seorang muslim. Selain itu posisi batu nisan terletak di bagian atas (kepala) dan bukannya berada di bagian bawah (kaki) – seperti umumnya bentuk kuburan orang-orang etnis Tionghoa yang beragama non-Islam.
Hal lain yang cukup menarik di kuburan ini adalah masih terdapatnya sebuah tempat untuk persembahan kepada Dewa Bumi dan juga Dewa Langit yang terletak pada bagian kanan dan kiri kuburan serta ditulis menggunakan Bahasa Arab, padahal agama Islam sendiri tidak mengenal konsep dewa.
Berdekatan dengan kuburan ibu Ipoh, terdapat kuburan sang suami yaitu Souw Seng Kin, yang nampaknya mempunyai keyakinan yang berbeda dengan ibu Ipoh.
Di TPU Cikadut sendiri, terdapat kuburan orang-orang penting yang ada di Bandung , seperti kuburannya Tan Joen Liong, yang meninggal pada tanggal 23 Agustus 1917, atau sudah hampir 100 tahun lamanya kuburan tersebut berada disana.
Pada nisan (bongpai) Tan Joen Liong, terdapat tulisan Kapitein Titulair Der Chineeze, dimana berdasarkan hasil penelusuran di internet, Kapitein Titulair sendiri merupakan sebuah gelar kehormatan yang diberikan kepada Tan Joen Liong atas jasa dan pengabdiannya selama bekerja menjadi opsir dengan pangkat letnan yang bertugas di wilayah Bandung dengan masa bakti selama 25 tahun (1888 – 1917).
Dari informasi yang saya dapatkan juga di internet, TPU Cikadut sendiri resminya mulai beroperasi sejak tahun 1918, namun dari satu tahun sebelumnya yaitu tahun 1917 sudah banyak digunakan untuk lahan kuburan, salah satunya kuburan Tan Joen Liong tersebut. Tapi yang menariknya, disamping kuburan Tan Joeng Liong terdapat kuburan sang istri yaitu Ong Kwi Nio, yang pada nisan-nya tertulis bahwa beliau meninggal pada tanggal 13 Desember 1909 atau 8 tahun sebelum lahan tersebut digunakan sebagai lahan pemakaman.
Kemungkinan besarnya kuburan dari istri Tan Joen Liong tersebut merupakan kuburan pindahan, karena berdasarkan penuturan salah seorang warga yang bekerja disana, kuburan yang paling awal memang kuburan-nya Tan Joen Liong tersebut.
Sayangnya kuburan Tan Joen Liong dan istri sudah tidak terawat, dimana banyak coretan-coretan yang menghiasi kuburan tersebut, selain itu atap, pilar, serta bagian-bagian lain dari kuburan tersebut sudah mengalami kerusakan.
Selain Tan Joen Liong, orang penting lainnya yang dikuburkan di TPU ini yaitu Yo Giok Sie pendiri dari PT. Badan Tekstil Nasional yang merupakan pabrik tekstil terbesar di Kota Bandung. Kuburan dari Yo Giok Sie dan istri ini, merupakan salah satu kuburan termewah yang saya lihat di TPU Cikadut.
Masuk ke kuburan ini bagai masuk ke dalam sebuah rumah. Kuburan ini dipagar serta dikunci, dan kita baru bisa masuk setelah mendapat izin dari penjaga kuburan tersebut.
Gaya bangunan di kuburan ini juga cukup unik, dimana atap-nya seperti sebuah payung bertingkat 2.

Pegiat Aleut di Depan Kuburan Yo Giok Sie Dimana Bentuk Atap Yang Terdapat di Kuburan Tersebut Berbentuk Seperti Payung Bertingkat 2
Antara nisan Yo Giok Sie dengan istri-nya yang bernama M.M. Na Kim Lian, terdapat sebuah ukiran dari batu yang memperlihatkan kondisi bangunan pabrik tekstil yang dimilikinya tersebut.

Gambar dari Ukiran Batu Yang Memperlihatkan Kondisi Bangunan Pabrik Tekstil (PT. BTN) Yang Dimiliki Oleh Yo Giok Sie
Yo Giok Sie sendiri meninggal pada tanggal 19 Desember 1971 pada usia 70 tahun, sedangkan istrinya meninggal pada tanggal 23 Agustus 1963, seperti yang tertera pada bongpai mereka.
Dari kuburan-kuburan mewah tersebut, dapat saya perkirakan bagaimana status sosial dan kondisi ekonomi orang – orang tersebut selama masa hidupnya. Lalu bagaimana dengan orang-orang dari etnis Tionghoa yang kondisi ekonominya tidak sekaya mereka?, salah satu opsi yang dapat ditempuh yaitu melakukan kremasi atau pembakaran mayat sampai menjadi abu, dimana di TPU Cikadut sendiri terdapat tempat kremasi yang bernama Yayasan Krematorium Bandung yang telah berdiri semenjak tahun 1967.
Beruntung sekali ketika berkunjung ke tempat kremasi tersebut, petugas disana memperlihatkan bagaimana proses pembakaran mayat di dalam sebuah “oven raksasa”, walaupun sebenarnya tidak ada mayat-nya.
Terdapat dua pilihan dalam proses pembakaran tersebut, apakah hendak menggunakan gas atau menggunakan kayu bakar. Jika menggunakan gas, maka diperlukan waktu antara 3-4 jam, sedangkan jika menggunakan kayu bakar bisa mencapai 8 jam.
Abu hasil pembakaran sendiri dapat disimpan di Menara Abu Umum yang dijaga oleh Pak Zahri yang lebih senang disebut Abang Zahri.
Hanya terdapat tiga abu yang dijaga oleh Abang Zahri, satu yang disimpan pada sebuah guci, kemudian yang ditanam, dan yang terakhir disimpan pada sebuah lapisan kaca yang sudah dipaku, sehingga sudah tidak dapat dibuka. Mungkin kebanyakan abu hasil kremasi langsung dibawa pulang pihak keluarga, sehingga sedikit sekali abu yang terdapat pada Menara Abu Umum tersebut.
Abang Zahri sendiri tinggal di Menara Abu Umum, dimana dia membuat sekat dari sebuah triplek untuk memisahkan antara kamar dia dengan tempat penyimpanan abu. Kebayang ngerinya tidur ditempat penyimpanan abu yang berada di kompleks pemakaman yang cukup besar tersebut.
Hal menarik lain yang saya temui selama ngaleut di TPU Cikadut, yaitu romantisme orang – orang Tionghoa yang menurut saya cukup mengerikan. Orang – orang dari etnis Tionghoa nampaknya memang sangat mempersiapkan “tempat ngaso – (tempat peristirahatan)” mereka yang terakhir, dengan mempersiapkan kuburan buat mereka dan orang-orang yang mereka sayangi.
Hal tersebut sebenarnya biasa saja, karena banyak orang Islam juga yang terutamanya mempunyai lahan kuburan sendiri, biasanya menginginkan mereka dikubur berdekatan dengan orang-orang yang mereka sayangi selama masa hidupnya, seperti istri, anak, cucu, ibu, ataupun ayah-nya, tapi yang membuat berbeda dan agak menurut saya agak sedikit mengerikan, pada kuburan orang-orang dari etnis Tionghoa, pada nisannya, nama pasangan mereka (suami atau istri mereka) sudah ikut ditulis, seperti yang terlihat pada kuburan yang dapat dilihat pada foto berikut ini :
Dari foto di atas terlihat bahwa pasangan Bapak Paulus Herman Permana (Oey Kheng Liang) yaitu Ibu Maria Ratnawati (Tan Jauw Gwat), namanya sudah tertera pada nisan walaupun beliau sebenarnya belum meninggal, sesuatu hal yang membuat saya merasa bergidik jika berada di posisi Ibu Maria Ratnawati.
Pengalaman “berwisata” di kuburannya etnis Tionghoa ini benar-benar menambah wawasan saya mengenai etnis Tionghoa di Bandung, terutamanya wawasan mengenai bentuk “tempat ngaso (tempat peristirahatan)” terakhir mereka yang bisa dikatakan mewah, serta menjadi pengingat saya akan kematian.
Catatan :
Jika ada kesalahan nama, tempat, dan sejarah, silahkan koreksi pada bagian kolom komentar. Jika datanya lebih valid, akan saya koreksi secepatnya.
Sumber Foto :
Foto Pribadi
Sumber Tulisan :
Catatan Ngaleut : Ngaleut Cikadut (Minggu, 15 Maret 2015)
TPU Cikadut Jejak Etnis Tionghoa Kota Bandung :
http://m.inilah.com/news/detail/2081876/tpu-cikadut-jejak-etnis-tionghoa-kota-bandung
Tautan asli: https://mtnugraha.wordpress.com/2015/03/18/tempat-ngaso-yang-mewah/
Menanggapi tentang ‘Romantisme Yang Mengerikan’.
Jika diperhatikan, pada batu nisan terdapat pebedaan warna antara orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup. Bagi yang sudah meninggal, namanya akan dituliskan dengan menggunakan tinta emas. Sedangkan bagi yang masih hidup, akan dituliskan dengan tinta merah. Hal ini biasa dilakukan oleh pihak keluarga dengan tujuan ‘mempersiapkan’ lahan jika sang istri/suami meninggal di kemudian hari.
Mudah-mudahan dengan sedikit info ini bisa membantu membuat pembaca yang lain menjadi mengerti tanpa perlu merasa takut atau aneh dengan tradisi ini.
Terima kasih atas tambahan infonya kang
Menurut saya tidak mengerikan malah memberikan kesan kesetiaan. Keinginan pasangannya untuk berada di satu liang lahat dengan orang yg dicintainya.
Semua punya pandangannya masing-masing