Wim Schenk, Pasir Malang dan “Kota Kembang”

Oleh: Ariono Wahyu (@A13Xtriple)

Ketenangan malam Minggu di  Indische Restaurant yang terletak di sisi utara alun-alun Bandung terusik. Sebuah bendi yang ditarik oleh kuda australia tiba-tiba nyelonong masuk ke bangunan restoran yang berbentuk pendopo joglo. Kuda yang hilang kendali itu menendang lampu kristal penuh lilin yang menjadi sumber pencahayaan di dalam restoran. Seketika ruangan menjadi gelap gulita, tamu-tamu yang sebelumnya terbuai oleh alunan musik, berlarian menyelamatkan diri.

Dalam keadaan gelap gulita, seorang kakek sibuk mencari sesuatu di lantai ruangan restoran. Datanglah seseorang dalam keadaan mabuk, menghampiri si kakek.

Rupanya orang tersebut adalah pengemudi bendi yang kehilangan arah tadi.

“Pak, Anda sedang mencari apa?” tanya orang mabuk itu.

“Saya kehilangan uang 10 sen  gara-gara bendi sialan Anda masuk ke dalam restoran,” jawab si kakek.

“Baiklah, mari sini saya bantu carikan!”  ujar si orang mabuk.

Tak berapa lama, ruangan restoran sedikit bercahaya. Rupanya orang mabuk yang berusaha membantu si kakek yang kehilangan uang seketip membakar kertas untuk menerangi ruangan restoran yang gelap gulita. Tapi betapa terkejutnya si kakek saat mengetahui bahwa kertas yang dibakar  oleh orang mabuk itu adalah uang  kertas! Ya, uang kertas bergambar wajah Jan Pieterszoon Coen, yang memiliki nominal 10 gulden!

Si orang mabuk yang membakar “ukon” (wangmas) tadi adalah pemilik perkebunan kina Pasir Malang yang terletak di sebelah selatan kota Bandung, namanya Wim Schenk. Rupanya Tuan Wim Schenk baru saja pulang dari Societiet Concordia, yang terletak di sebelah timur  Indische Restaurant, dalam keadaan mabuk. Maksud hati ingin pulang ke penginapan, apa daya karena hilang kesadaran, bendi yang dikendarainya malah membuat huru-hara di restoran yang lokasinya  dahulu adalah bekas bagunan loji.

Namun cerita Wim Schenk tidak melulu cerita yang bikin malu. Sekali waktu justru Wim Schenk-lah yang menyelamatkan muka kota Bandung dari mendapat malu. Alih-alih tercoreng muka seluruh penduduk kota, Bandung malah memperoleh salah satu julukannya yang terkenal, yaitu “Kota Kembang”. Nah, bagaimana kisahnya sorang pemabuk pembikin onar, malah menjadi seorang pahlawan kota?

Sejak diberlakukannya “U.U. Agraria” tahun 1870, muncul pengusaha-pengusaha perkebunan yang sukses di berbagai daerah dengan berbagai jenis komoditas. Preangerplanters terkenal sebagai pemilik perkebunan teh, kopi dan kina yang berhasil. Suikerplanters menguasai perkebunan dan pabrik-pabrik gula yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Sumatra, seperti di daerah Deli muncul petani-petani tembakau kaya raya.

Kemakmuran taraf hidup para pengusaha perkebunan banyak memberikan sumbangan kemajuan bagi kota di sekitar tempat mereka tinggal.  Roda perekonomian dan kemajuan teknologi sebuah kota, sedikit banyak harus diakui merupakan sumbangsih para petani kaya raya ini. Perkembangan kota Bandung  si “Parijs van Java” di antaranya disokong oleh para Preangerplanters seperti keluarga Ir. R.E. Kerkhoven, keluarga Bosscha. Sedangkan kota Malang yang memiliki julukan  “Holland Tropische Stad” didukung oleh para “Suiker-Boer”.

Kemajuan dan kemakmuran suatu daerah sering kali menimbulkan rasa iri dan persaingan. Begitu pula yang terjadi diantara para pengusaha perkebunan ini. Rasa persaingan ditunjukkan dengan saling mencibir, para pengusaha gula diberi sebutan “petani udik” oleh para Preangerplanters.

Para pengusaha gula ingin mengetahui seperti apa rupa kota Paris-nya Pulau Jawa, tempat  yang dibanggakan oleh para Preangerplanters. Rasa penasaran membuat mereka ingin membuktikan apakah Bandung memang seperti julukannya? Mereka merencanakan untuk membuat kongres para pengusaha gula di Bandung.

Akhirnya keputusan untuk melaksanakan Kongres Para Pengusaha Perkebunan Gula yang pertama dikeluarkan oleh “Bestuur van de Vereniging van Suikerplanter” (Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula) yang berkedudukan di Surabaya. Bandung dipilih sebagai kota tempat diselenggarakannya kongres yang pertama tersebut tahun 1896. Memang pemilihan tersebut suatu kehormatan bagi kota Bandung dan seluruh warganya, termasuk para Preangerplanters di dalamnya tentu saja. Namun kehormatan tersebut dapat membuat seluruh penghuni kota kehilangan kehormatannya, jika mereka tidak dapat memberikan pelayanan bagi mereka yang datang berkongres di Bandung. Seluruh warga kota mengetahui bahwa alasan lain pemilihan Bandung sebagai tempat diselenggarkannya kongres, adalah ajang pembuktian dan unjuk pamer dari saingan mereka para “petani udik”.

Padahal pada tahun 1896, Bandung belumlah layak menyandang sebutan sebagai sebuah kota besar, masih lebih pantas disebut “kottatje” atau lebih tepatnya “kampung”. Jalanan kota masih gelap, berlumpur, dan hanya diterangi oleh lampu minyak, itu pun tidak semua jalan mendapatkan penerangan. Penduduknya tak lebih dari tiga puluh ribu jiwa, kalah jauh jika dibandingkan dengan Surabaya misalnya. Warga kota dan panitia lokal kongres tersebut mendadak sibuk dan cemas, mengurusi segala hal yang diperlukan untuk penyelenggaraan kongres tersebut. Sebagian pesimis para peserta kongres akan terpuaskan dengan pelayanan warga Bandung.

Namun pertolongan datang dari arah yang tak disangka-sangka. Saat tiba hari pelaksanaan kongres, Bandung dipenuhi rombongan peserta. Mereka datang dengan konvoi menggunakan mobil-mobil pribadi, sebagian datang dengan menyewa gerbong kereta api jurusan Surabaya – Bandung yang baru dibuka kurang lebih duabelas tahun sebelumnya.

Ternyata seluruh peserta kongres merasa senang atas penyelenggaraan kongres di Bandung. Terutama ketika datang serombongan noni cantik bunga desa yang turun gunung ke kota. Coba siapa yang tidak senang melihat sesuatu yang indah? Sejak itulah dari kisah-kisah yang diceritakan oleh peserta Kongres Pengusaha Perkebunan Gula pertama (1896) Bandung memiliki julukan baru “Kembangnya Kota Pegunungan di Hindia Belanda” (“De Bloem der Indische Bergsteden”). Kemudian julukan tersebut menjadi lebih singkat Bandung “Kota Kembang”. Jadi “kembang” disini mengacu pada gadis-gadisnya yang rupawan, bukan kembang atau bunga dalam artian sebenarnya.

Jadi siapa yang membawa serombongan noni cantik untuk memeriahkan kongres yang terancam gagal tadi?

Ya tak lain dan tak bukan, pemimpin rombongan noni-noni cantik tadi, adalah Wim Schenk dari Pasir Malang. Wim Schenk dapat disebut sebagai salah satu  pemilik perkebunan paling awal di sekitar Bandung.

Lalu dimanakah letak perkebunan Pasir Malang? Perkebunan Pasir Malang, terletak tak jauh dari perkebunan Malabar di daerah Pangalengan, kurang lebih lima puluh kilometer ke arah Selatan dari kota Bandung. Plang perkebunan Pasir Malang dapat ditemui tak jauh dari Situ Cileunca, ke arah perkebunan teh Cukul. Tepatnya di desa Wates.


Tak jauh dari plang tersebut, kurang lebih lima puluh meter akan ditemukan pabrik teh Pasir Malang yang sudah berdiri sejak tahun 1889. Usia perkebunan Pasir Malang lebih tua tujuh tahun dari usia perkebunan Malabar. Perkebunan Malabar lahannya baru dibuka dan disewa oleh Ir. R.E. Kerkhoven pada tahun 1896, dengan menunjuk sepupunya K.A.R. Bosscha sebagai administratur. Jadi tak salah jika pemilik perkebunan Pasir Malang, Tuan Wim Schenk disebut sebagai “senior’ para Preangerplanters.

Saat ini perkebunan teh Pasir Malang merupakan salah satu kebun milik PTPN VIII. Kebun dan pabrik tehnya masih berproduksi. Namun dahulu pada peta “The Autowegen Atlas” keluaran tahun 1935, perkebunan Pasir Malang dicatat sebagai perkebunan teh dan kina.

Sebenarnya jalan masuk ke perkebunan ini dapat juga ditempuh melalui jalan masuk ke perkebunan Malabar. Tepatnya jalan masuk ke arah rumah Bosscha. Setelah melewati “leuleuweungan” lokasi makam K.A.R Bosscha berada, ada persimpangan jalan. Untuk menuju ke perkebunan Pasir Malang, dapat mengambil jalan ke arah kanan, karena jalan yang lurus adalah jalan menuju rumah Bosscha.

Pemandangan di jalan ini sangat indah, gunung-gunung seperti gunung Wayang, gunung Windu,  Gunung Bedil, Gunung Tilu, Gunung Nini dapat jelas terlihat. Yang tak kalah unik  dengan melalui jalan ini adalah melihat Situ Cileunca dan Situ Panunjang dari arah belakang danau tersebut, dengan latar belakang Gunung Tilu.

Sungguh indah pemandangan di perkebunan Pasir Malang, bukan suatu hal yang aneh jika Tuan Wim Schenk betah tinggal di perkebunan ini. Apalagi dengan banyaknya noni-noni cantik “kembangnya kota pegunungan di Hindia Belanda”. Melalui Wim Schenk dari Pasir Malang, Bandung memperoleh julukan “kota kembang”.

 

Iklan

Satu pemikiran pada “Wim Schenk, Pasir Malang dan “Kota Kembang”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s