Workshop Mengintegrasikan Elemen Sejarah dan Perencanaan Kota/Kabupaten: Sebuah Laporan Singkat

Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

In het heden ligt het verleden. In het nu wat komen zal  (Di masa kini terkandung masa lalu, di masa sekarang termuat masa depan)

Tahukah kamu di mana tempat yang paling banyak menyimpan barang berharga di Jakarta ? Beberapa orang mungkin menyebut Bank Indonesia atau tempat penyimpanan emas lainnya. Namun bagi sebagian orang lainnya termasuk saya, tempat itu adalah Museum Nasional, Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional RI (ANRI). Kalau saya diberi kewenangan untuk merampok, ketiga tempat itu akan menjadi incaran pertama saya… hehe…

Kekayaan luar biasa yang disimpan oleh ANRI itu baru saya sadari setelah saya mengikuti Workshop “Mengintegrasikan Elemen Sejarah dana Perencanaan Kota/Kabupaten” di Gedung ANRI Jakarta pada tanggal 27-28 Oktober yang lalu. Saya datang mewakili Komunitas Aleut dari Bandung. Sayangnya saya  datang terlambat sehingga ada beberapa materi berharga yang terlewat. Tapi materi yang tersisa tidak kalah menariknya.

Sebelumnya, saya seperti mungkin banyak orang lainnya berpikir banyak dokumen lama kita yang dibawa Belanda ke negerinya, namun setelah mengikuti workshop tersebut saya baru tercerahkan dengan kenyataan bahwa hanya sekitar 10% arsip/dokumen kuno saja yang dibawa ke Belanda sana. Jadi untuk mencari arsip-arsip kuno nasional sebenarnya kita tidak perlu jauh-jauh pergi ke Belanda sana, kita cukup mencari terlebih dahulu di pusat penyimpanan arsip lokal atau nasional terlebih dahulu. Menurut pembicara dari ANRI, Risma Manurung, terdapat sekitar 50 kilometer (kalau saya tidak salah dengar) arsip zaman Hindia Belanda yang tersimpan di sana. Benar sekali, puluhan kilometer !!! Bayangkan saja setumpukan dokumen yang biasa kita simpan di meja kantor atau di kamar. Beberapa centimeter saja sudah tampak heurin (what is “heurin” in Bahasa Indonesia?). Apalagi ini yang panjangnya berkilo-kilo meter.

Jaman dahulu memang belum dikenal komputer sehingga semuanya harus dilakukan secara manual, untungnya bangsa Belanda adalah bangsa yang cukup apik dalam menata dokumen. Menurut analisis saya, dokumen-dokumen zaman VOC (yang jumlahnya puluhan kilometer) memang sangat penting untuk disimpan oleh penguasa saat itu, karena bagi seorang pedagang tidak ada yang lebih penting daripada catatat/dokumen. Kebiasaan menyimpan dokumen secara apik ini lantas diteruskan kepada pemerintahan kolonial pasca VOC sehingga masih terjaga sampai sekarang. Namun untuk menelusuri dokumen-dokumen tersebut ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Orang jaman sekarang memang cukup menggunakan search engine untuk mencari sesuatu, tapi untuk mencari data dari dokumen-dokumen kuno tersebut seperti disebutkan oleh Nadia Fauziah Dwindari dari ANRI “membutuhkan kekuatan fisik, mental, jiwa dan kesabaran tinggi”. Bu Risma Manurung bahkan mengibaratkannya seperti mencari “jaruh di tumpukan jerami”. Suatu analogi yang sangat tepat sih…

Sebagai contoh, Nadia Fauziah Dwindari memberi contoh penelusuran arsip Algemene Secretarie 1816 – 1950. Semacam arsip kesekertariatan negara selama berlangsungnya kolonialisme Belanda. Sistem pengarsipan dokumen ini dilakukan sebagai berikut :

 Arsip Algemene Secretarie 1816-1942 secara umum ditata menurut sistem verbaal berdasarkan Keputusan Kerajaan Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 4 September 1823 Nomor 7. Sedangkan arsip periode 1942-1950 ditata menurut fungsi.

Verbaal merupakan kumpulan konsep (minuut) keputusan atau surat keluar yang ditulis dalam kertas dobel folio, dilampiri dokumen pendukungnya (misal: surat-surat masuk, memo, nota, atau advis dari organisasi lain), serta ditata secara kronologis.  

Membingungkan ? Memang begitulah keadannya. Belum lagi untuk mengakses dokumen-dokumen tersebut dibutuhkan skema akses  menggunakan HOOFDENLIJST/KLAPPER, INDEX dan VERBAAL.  Tidak ada jalan pintas, ketiga langkah tersebut harus dilakukan untuk bisa menemukan dokumen yang kita inginkan. Oleh karena itu untuk bisa menemukan data/dokumen tertentu dibutuhkan data selengkap-lengkapnya mengenai data yang diinginkan. Misalnya untuk menemukan data mengenai pembangunan Gedung Sate, sebelumnya minimal dibutuhkan data tahun pembangunan gedung dan segala yang berkaitan dengannya. Tanpa data awal tersebut, maka sama halnya dengan mencari jarum di tengah lautan, bukan lagi di tengah tumpukan jerami.

Lebih lanjut Drs. Johan van Langen dari Nationaal Archief Belanda menambahkan beberapa hal penting dalam pencarian arsip. Antara lain kira-kira apakah arsip tersebut dibuat oleh pemerintah lokal, provinsi, pusat, perusahaan swasta, pribadi, atau lembaga tertentu. Pencarian arsip lokal sebaiknya dilakukan di tempat penyimpanan arsip lokal terlebih dahulu, apabila tidak ditemukan baru bisa dilanjutkan ke penyimpanan arsip pusat. Untuk arsip-arsip pribadi atau perusahaan swasta lebih sulit lagi karena biasanya tersimpan pada masing-masing ahli warisnya. Tidak semua dokumen milik pribadi diserahkan pada penyimpanan arsip negara. Arsip-arsip perusahaan swasta zaman kolonial kemungkinan besar berada di Belanda karena induk perusahannnya berada di sana. Johan van Langen menyebutkan contoh arsip-arsip berikut yang disimpan oleh Nationaal Archief Belanda :

 Royal Institute for Engineers (KIVI) Nederlandsche Handelsmaatschappij Pasoeroean Stoomtram Mij. 1891-1969 Modjokerto Stoomtram Mij. 1895-1970 Probolingo Stoomtram Mij. 1885-1972 Serajoedal Stoomtram Mij. 1894-1940 Madoera Stoomtram Mij. 1896-1973 Kediri Stoomtram Mij. 1894-1970 Semarang-Cheribon Stoomtram Mij. 1890-1952, Semarang-Joana Stoomtram Mij., Oost-Java Stoomtram Mij. 1884-1947, Pasoeroean-Probolingo Stoomtram Mij. 1930-1951, Stoomtrammij. Java / Foto’s en kaarten, Waterstaat (harbours of Surabaya en Tandjong-Priok), De Beaufort, KPM, Commissie tot Ontwikkeling van de Fabrieksnijverheid in Nederlands-Indië (Sawah Loento) dan lain-lain.

Sebagai contoh satu arsip yang tersimpan di Belanda itu, Johan van Langen menunjukan satu gambar blue print gedung Ned. Handel Maatschappik (NHM) di Bandung. Bangunan yang terletak di seberang Gedung PLN Alun-alun ini tidak berubah sampai sekarang.

Blue Print Gedung NHM Bandung

Johan van Langen menyampaikan presentasinya

Selanjutnya menurut van Langen, koleksi yang dimiliki Belanda sudah mulai sedikit demi sedikit didigitalisasi. Dari berkilo-kilo meter naskah yang ada, sekitar 1% koleksi Koran, 5% peta, dan 11% foto telah bisa diakses secara online. Jumlah yang sedikit inipun tampak sangat luar biasa banyak misalnya apabila kita mengakses database Koran-koran lewat http://www.delpher.nl . Di situs tersebut telah diupload sekitar 8.000.000 edisi Koran dari tahun 1618-1995. (Bayangkan jumlah seluruhnya apabila 8 juta tersebut hanyalah 1% dari seluruh edisi yang ada, luar binasa!!!)

Selanjutnya workshop diisi oleh tokoh yang selama ini karya-karyanya sering menjadi rujukan saya dalam menyusun skripsi/tesis. Beliau adalah Pauline K.M. van Roosmalen. Bertemu beliau adalah salah satu alasan saya ingin mengikuti workshop ini dan ternyata saya tidak keliru, banyak ilmu yang saya dapat dari pertemuan ini.

Pauline banyak menceritakan pengalamannya mengumpulkan data dalam rangka penyusunan desertasinya tentang arsitektur dan perencanaan kota kolonial di Indonesia. Dalam penyusunan itu Pauline juga sempat tinggal di Bandung dan berkolaborasi dengan para ahli di bidangnya.

pau

Desertasi Pauline tentang Sejarah Planning di Indonesia

Mengenai penelitian sejarah, Pauline mengingatkan kita pada satu metode umum yang pernah kita dapatkan di sekolah. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah :

  1. Menentukan pertanyaan penelitian
  2. Menentukan ke mana harus mencari sumber (arsip lokal, nasional, atau luar negeri)
  3. Mengidentifikasi sumber/narasumber yang harus diakses
  4. Mengakses koleksi
  5. Mengakses arsip-arsip
  6. Membuat Interpretasi

Perlu diperhatikan bahwa dalam melakukan penelitian apapun, dibutuhkan pengetahuan dasar berupa data yang diperoleh dari buku-buku. Saya mengibaratkannya sebagai berikut : Seseorang yang hendak mencari data tentang sejarah Gedung Sate sebaiknya membaca terlebih dahulu buku-buku sejarah yang memuat data tentang Gedung Sate, apakah itu buku karya Pak Haryoto Kunto atau Pak Sudarsono Katam. Namun buku-buku itu tidak cukup karena buku sejarah adalah “Sumber Sekunder”. Buku-buku sejarah bagaimanapun hanyalah berisi serangkaian interpretasi, bukan bukti sejarah. Sedangkan sumber primer adalah data-data sejarah yang dibuat pada zamannya, bisa berupa arsip, dokumentasi, atau catatan-catatan.  Buku “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” adalah sumber sekunder, tapi di dalamnya kita bisa menemukan rujukan sumber primer. Di mana letaknya ? Betul, letaknya di referensi.  Lalu apa saja yang disebut sumber primer sejarah Bandung ? Mereka adalah arsip-arsip, peta, fotografi, naskah-naskah (buku, jurnal, Koran, catatan) dan lain-lain yang dibuat pada waktu kejadian.

Saya ingin menekankan bahwa buku-buku sejarah, sebagus dan selengkap apapun, tidak lebih berharga dibandingkan sumber primer. Seratus buku sejarah menyebutkan Gedung Sate dibangun oleh Schoemaker akan terbantahkan dengan ditemukannya satu blueprint desain Gedung Sate yang dibuat oleh J. Gerber. Begitu pula tidak ada buku sejarah yang benar-benar lengkap karena dengan ditemukannya data baru, maka buku bisa direvisi kembali. Mengutip sejarawan H.J. de Graaf, kita harus membayangkan satu buku sejarah sebagai sebuah “fragmen” saja dari seluruh rangkaian sejarah yang terjadi. Oleh karena itu setebal apapun buku sejarah “babon” yang pernah dibuat oleh Haryoto Kunto (alm.), buku itu hanyalah menjelaskan sebagian kecil dari kejadian sejarah yang terjadi di Bandung. Masih banyak hal yang bisa diungkap dan ditulis mengenai sejarah Bandung.

Pauline van Roosemalen menjelaskan proses penelitian

Selanjutnya pemaparan yang tidak kalah menarik disajikan oleh Huib Akihary yang dua karyanya juga sering menjadi rujukan dalam studi arsitektur kolonial. Karya tersebut adalah Architecture en Stedebouw in Indonesie 1870-1970 serta Ir. F.J.L. Ghijsels, Architect in Indonesia. Saya beruntung memiliki kedua buku tersebut, namun hanya buku “Ghijsels” saja yang saya ajukan kepada Huib untuk ditandatangani karena buku satunya lagi hanya saya miliki fotokopiannya saja..

Sesuai dengan bidang keahliannya, Huib lebih banyak membahas pencarian data berkaitan identifikasi bangunan kolonial. Sama seperti disebutkan Pauline, Huib menekankan perlunya kita memiliki pengetahuan dasar yang didapat dari buku-buku sejarah. Darinya setelah kita bisa menelusuri arsip-arsip yang ada, kita bisa kembali mengembangkan datanya dengan merujuk pada arsip-arsip lainnya.

Buku tentang Ghijsels milik saya yang ditandatangani oleh penulisnya langsung

Huib Akihary menerangkan sumber-sumber sejarah

Huib yang pernah tinggal lama di Indonesia dalam rangka penyusunan buku pertamanya memiliki banyak pengalaman soal pencarian data arsitektur. Menurutnya pencarian data bangunan-bangunan buatan pemerintah selalu lebih mudah daripada buatan swasta karena arsitek-arsitek pemerintah yang tergabung dalam departemen BOW (Burgerlijke Openbare Werken) selalu tercantum dalam buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie yang rutin dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya, berisi daftar pejabat-pejabat pemerintah saat itu.

Buku Regeerings Almanak tahun 1934

Daftar Arsitek Pemerintah dalam Regeerings Almanak tahun 1934

Praktek pencarian data ini dipraktekan langsung dalam workshop. Sebagai studi kasus kami para peserta disajikan satu bundel dokumen pembuatan bangunan yang dikeluarkan oleh departemen BOW (atau PU sekarang). Dari sana kami harus mengidentifikasi data yang bisa diambil dari dokumen tersebut (Tentunya akan sangat sulit bagi mereka yang kurang familiar dengan Bahasa Belanda). Dalam satu kasus kami disajikan blueprint bangunan Pusat Penelitian Hutan di Bogor. Kami kesulitan mengidentifikasi siapa arsitek yang membangun bangunan tersebut karena namanya tidak tercantum. Namun dengan dasar tanda tangan dan tahun pembuatan desain yang tercantum dalam blueprint, Huib langsung merujuk pada Regeerings Almanak yang dibuat pada tahun yang sama… Dan bingo ! Sang arsitek pun teridentifikasi…

Dari studi kasus inipun saya sudah bisa memahami betapa sulitnya praktek penelitian sejarah yang sesungguhnya. Tapi sungguh kepuasan yang tidak terduga apabila kita bisa mendapatkan data yang kita inginkan. Bagaikan menemukan harta karun rasanya…

Praktek Mengidentifikasi Dokumen Sejarah

*****

Demikianlah sedikit pengalaman dan ilmu yang saya dapat dari workshop sepanjang dua hari. Maaf apabila tulisan ini memang sedikit panjang dan membosankan, namun apabila saya tidak menulisnya kembali mungkin pengalaman ini tidak akan terlalu bermanfaat bagi diri saya dan orang lain.

Penelitian sejarah bagi sebagian orang memang tampak membuang-buang waktu, tapi hanya dengan cara inilah pengetahuan dan pengalaman orang terdahulu bisa terus tersalurkan dari waktu ke waktu. Pasti terdapat alasan bagi mereka yang meninggalkan arsip atau dokumennya untuk tetap terjaga selama ini. Yaitu agar generasi selanjutnya bisa belajar dari pengalaman mereka.

Demikian saya ingin mengucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh penyelenggara acara, khususnya Pauline K.M. van Roosmalen, Huib Akihary, Hasti Tarekat, Nadia Fauziah Dwidari, Punto Wijayanto, Nadia Purwestri, Peter Timmer, Frans van Dijk dan kawan-kawan. Vaarwel tot betere Tijden !

Sampai Jumpa di Waktu Lain…

Iklan

2 pemikiran pada “Workshop Mengintegrasikan Elemen Sejarah dan Perencanaan Kota/Kabupaten: Sebuah Laporan Singkat

  1. Seluruh workshop ini saja baru membahas tentang heuristik ya.. Ncan tahap kritik, interpretasi, dan yang paling hese : historiografi…

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s