Catatan Perjalanan: Seluk Beluk Sepakbola di Bandung

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

 

Waktu menunjukkan pukul 18.04 di jam tangan saat saya selesai memakirkan mobil di depan rumah. Rasa lelah yang menghinggapi tubuh setelah menyupir sejauh ±370 km dari Bandung-Ciamis-Bandung rasanya sudah tak tertahankan lagi, apalagi ini pengalaman pertama saya menyupir luar kota sejauh ratusan kilometer tanpa melalui jalan tol. Bahkan isi kepala saya sudah membayangkan nikmatnya meluruskan badan di kasur saat mobil yang saya kendarai mulai memasuki daerah Rancaekek.

Namun entah mengapa saat baru membuka pintu kamar tiba-tiba saya teringat bahwa saya masih punya hutang untuk menulis catatan perjalanan Ngaleut Sepakbola, sebuah tema yang merupakan salah satu passion saya. Segera setelah berganti pakaian, saya langsung buka dan nyalakan laptop, kemudian membuka draft sepanjang 3 paragraf dan sebuah kalimat penutup yang sudah terbengkalai hampir 2 minggu…

***

Hari itu hari Minggu, tanggal 15 bulan Juni tahun 2014. Tema ngaleut di hari ini adalah sepakbola, olahraga nomor 1 yang saya gilai sejak SD. Badan saya masih terasa lelah akibat kurang tidur demi menonton pertandingan Piala Dunia 2014 di hari itu. Ditambah lagi Inggris, tim yang saya jagokan, kalah 1-2 dari Italia.

Titik start kegiatan hari ini berlokasi di Lapangan Persib, sebuah lokasi yang sempat saya anggap sebagai sebuah blunder karena kombinasi Lapangan Persib dengan hari Minggu adalah bencana kecil. Di hari Minggu, Lapangan Persib adalah lokasi bursa mobil mingguan yang terkenal akan kemampuannya membuat macet daerah sekitarnya. Sebagai tindakan preventif, saya memutuskan untuk bersepeda menuju titik start.

Setibanya di Lapangan Persib, saya sangat terkejut. Lapangan Persib yang saya lihat pagi itu berbeda jauh dengan ekspetasi awal saya. Tidak ada sama sekali lautan mobil maupun kemacetan. Kepadatan hanya terlihat di gereja yang terletak tak jauh dari lapangan. Entah sejak kapan kegiatan bursa mobil di lokasi ini dihentikan. Saat saya coba menanyakan peserta ngaleut lain, didapati bahwa saya bukan satu-satunya orang yang terkejut akan pemandangan ini.

Kegiatan dimulai pukul 08.30, 30 menit lebih lambat dari biasanya untuk menunggu mereka yang terlambat akibat menonton pertandingan Piala Dunia. Maklum, banyak orang yang enggan melewatkan setiap momen kompetisi empat tahunan ini. Kegiatan dimulai dengan penjelasan mengenai Lapangan Persib. Lapangan ini dulunya adalah Lapangan milik klub sepakbola Sidolig. Sidolig dalam bahasa belanda berarti “berolahraga di udara terbuka itu baik”. Sidolig merupakan klub yang bernaung pada NIVB, asosiasi sepak bola bentukan Pemerintah Hindia-Belanda.

Di tengah sharing mengenai Lapangan Persib, Aqwam dan Kang Novan dari Pandit Football Indonesia bergabung dengan kegiatan ngaleut. Kedatangan Aqwam dan Kang Novan adalah berkah tersendiri bagi kegiatan ini, karena keduanya merupakan ahli dalam sejarah sepakbola.

Aqwam menceritakan satu cerita baru mengenai Lapangan Persib ini. Pada menjelang hari Natal tahun 1950, di lapangan ini terjadi penembakan yang menewaskan 3 tentara Belanda oleh tentara Indonesia. Awalnya, para tentara Belanda yang belum pulang kembali ke negaranya membuat sebuah pertandingan sepakbola menyambut hari Natal. Saat pertandingan berlangsung, beberapa orang tentara Indonesia datang karena ingin menyaksikan pertandingan. Singkat cerita, terjadi perkelahian antara tentara Indonesia dan Belanda. Tentara Indonesia yang juga masih diliputi dendam akibat pembantaian APRA pulang untuk mengambil senjata dan kemudian terjadi aksi tembak-menembak yang menewaskan 3 orang tentara Belanda.

Kemudian salah satu peserta menanyakan perihal partisipasi Indonesia di Piala Dunia 1938 kepada Aqwam. Menurut Aqwam, partisipasi Indonesia di Piala Dunia 1938 sebetulnya tidak valid, karena pada saat itu pemain yang dikirim adalah pemain yang ditunjuk oleh NIVU. NIVU sendiri adalah asosiasi sepakbola Hindia Belanda., bukan asosiasi sepakbola Indonesia (PSSI).

Di titik ini juga peserta sharing mengenai PSSI dan Soeratin. PSSI adalah sebuah organisasi sepakbola yang didirikan Soeratin sebagai sebuah pergerakan politik. Saya yang tertarik dengan cerita di balik akhir hayat Soeratin bertanya kepada Aqwam mengapa Soeratin di akhir hayatnya hidup miskin, padahal Soeratin berasal dari keluarga menak. Menurut Aqwam, penyebab Soeratin hidup miskin di akhir hayatnya adalah karena setelah bercerai dengan Raden Sri Wulan, adik dari Soetomo, Soeratin menikah dengan seorang Belanda. Hal ini memicu kerenggangan hubungan antara Soeratin dengan keluarganya, dan menyebabkan dihentikannya sokongan dana dari keluarga kepada Soeratin, sehingga Soeratin harus menghidupi dirinya sendiri di usia senja dan penyakit yang dideritanya.

Peserta lainnya, Kang Wisnu, menceritakan pengalamannya di lapangan ini. Dulu ia pernah menonton pertandingan liga intern Persib sembari memakan makanan yang dijual pedagang seperti sate dan siomay, dan juga menyaksikan bagaimana praktek judi bola di masa itu. Sedangkan Kang Alex menceritakan bagaimana lapangan ini pernah menjadi venue bagi banyak band-band internasional.

Dari Lapangan Persib, peserta bergerak menuju Stadion Siliwangi. Stadion ini awalnya digunakan sebagai lapangan sepakbola klub Sparta, sebuah klub sepakbola militer di jaman Belanda. Menurut Kang Novan, Stadion Siliwangi dibangun atas dana udunan warga Bandung dengan semangat untuk menjadi tuan rumah Asian Games, walaupun pada akhirnya Bandung hingga saat ini belum pernah menjadi tuan rumah Asian Games. Hal ini merupakan info baru bagi saya dan juga peserta, karena sebelumnya info yang tersebar luas adalah pembangunan Stadion Siliwangi diprakarsai oleh Kodam III/Siliwangi.

Di Stadion Siliwangi juga para peserta sharing mengenai Persib Bandung. Kang Novan bercerita mengenai kejanggalan tanggal 14 Maret 1933 sebagai tanggal berdirinya Persib Bandung, karena jika memang Persib didirikan pada tanggal tahun tersebut, mengapa dalam beberapa artikel yang ia temui tidak mendapati nama Persib sebagai klub sepakbola di Bandung, melainkan PSIB.

Aqwam beserta Kang Novan juga bercerita sedikit mengenai Bandung Raya dan sedikit anehnya struktur kompetisi liga di Indonesia. Seperti apa rumitnya? Akan saya ilustrasikan: Bandung Raya, juara Ligina II pada awalnya dihuni oleh pemain dari UNI, sebuah tim yang berlaga di divisi internal Persib. Tahun 1997, Bandung Raya mengalami kebangkrutan dan pada tahun 2010 pemilik Bandung Raya membeli klub Pelita Jaya dan Pelita Jaya diubah namanya menjadi Pelita Bandung Raya, sedangkan Bandung Raya FC sendiri masih tetap ada dan saat ini bermain di Divisi Dua Liga Indonesia. Klub UNI sendiri juga memiliki klub profesional dengan nama PS UNI.

Beberapa peserta termasuk saya kemudian menceritakan cerita masing-masing mengenai pengalaman dan kejadian unik pada saat menonton pertandingan Persib di Stadion Siliwangi. Mulai dari lempar-lemparan botol, pengerusakan pot bunga jika Persib kalah, hingga cerita menonton ke stadion tanpa tiket.

Dari Stadion Siliwangi para peserta bergerak menuju Lapang Bali. Lapang Bali adalah fasilitas olahraga milik SMA 3 dan SMA 5 Negeri Bandung. Beberapa peserta seperti Kang Novan mengenal lapangan ini dengan nama Lapang SGO, karena dulu di belakang lapangan ini terdapat Sekolah Guru Olahraga. Di lapang ini saya lebih banyak bercerita mengenai pengalaman saya berolahraga di lapangan ini, bagaimana buruknya kondisi lapangan sepakbola pada saat cuaca cerah dan hujan, dan cerita pada saat masa orientasi SMA saya mengingat dulu saya bersekolah di SMA Negeri 5, hehe.

Titik berikutnya adalah Lapangan Saparua. Dulunya lapangan ini adalah bagian dari kawasan Jaarbeurs, sebuah bursa tahunan seperti Pekan Raya Jakarta di masa Hindia Belanda. Lapangan ini juga unik dalam masalah pembagian kepemilikannya. Bagian yang terdapat gedung olahraga merupakan milik Pemerintah Kota Bandung, sedangkan lahan yang terdapat trek lari merupakan milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dulu, di lahan milik Pemprov Jawa Barat terdapat sebuah lapangan sepakbola yang dihuni beberapa sekolah sepakbola (SSB), namun seiring perubahan fungsi dari lapangan sepakbola menjadi sarana sepatu roda, tidak lagi diketahui bagaimana nasib SSB tersebut.

Seharusnya dari Lapangan Saparua kegiatan ini finis di Gasibu, yang dulunya adalah lapangan sepakbola klub Gabungan Sepakbola Bandung Utara. Namun karena cuaca yang tidak memungkinkan akhirnya titik finis kegiatan dialihkan ke salah satu food court yang berada di Jalan Banda. Para peserta melemparkan banyak pertanyaan kepada Aqwam dan Kang Novan seputar sepakbola, mulai dari masalah kerusuhan di lapangan, kerusuhan supporter, kultur sepak bola, fanatisme, hingga bagaimana mafia judi sepakbola bekerja. Tanpa sungkan Kang Novan dan Aqwam menjawab setiap pertanyaan peserta. Hujan yang turun sangat deras tidak menurunkan semangat peserta dalam bertanya dan mendengarkan jawaban dari Aqwam maupun Kang Novan.

Akhirnya sekitar pukul 13.45 kegiatan pun berakhir, seiring berhentinya hujan yang mengguyur kawasan Jalan Banda. Saya yakin setelah kegiatan berakhir, para peserta, termasuk saya, pulang ke rumah masing-masing dengan membawa banyak ilmu dan info baru seputar sepakbola.

Marhaban ya World Cup!

***

Jam dinding di kamar saya sudah menunjukkan pukul 21.45. Tak terasa sudah hampir 3 jam saya berkutat di depan laptop. WordCount di Microsoft Word menunjukkan bahwa saya sudah mengetik lebih dari 1200 kata, sebuah rekor baru karena sebelumnya saya belum pernah menulis sepanjang ini. Rasa lelah semakin menjadi di tengah godaan pertandingan fase grup Piala Dunia 2014 malam ini. Entah opsi mana yang akan saya pilih setelah ini, apakah istirahat atau justru menonton pertandingan Piala Dunia malam ini.

Marhaban ya World Cup! 😀

Tautan asli: http://aryawasho.wordpress.com/2014/06/25/catatan-perjalanan-seluk-beluk-sepakbola-di-bandung/

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s