Oleh : M.Ryzki Wiryawan
Apabila anda pernah membaca buku “Vaarwel, Tot Betere Tijden: Documentatie over de ondergang van Ned-Indie” yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Djambatan dengan judul “Selamat tinggal , sampai jumpa pada masa yang lebih baik” karangan B.J. Bijkerk tentunya tidak asing dengan kisah skandal homoseksual yang terjadi di Bandung sekitar tahun 1938.
Ceritanya pada suatu malam, seorang pelajar HBS (Hogere Burger School/Setingkat SMA) berteriak-teriak dan gugup sekali datang ke kantor polisi. Ia melaporkan telah diserang oleh seorang Eropa yang ingin melakukan hubungan seks dengannya.
Beberapa waktu kemudian, skandal seks ini terbongkar setelah polisi menangkap basah seorang pejabat tinggi di sebuah hotel Tionghoa di Bandung, ketika tengah melakukan perbuatan tidak senonoh dengan seorang bocah pribumi. “Terwijl deze ontucht pleegt met een Inlands jongetje“. Sang pelaku segera dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi. Polisi kemudian menghubungi Residen Priangan dan Gubernur Jawa Barat yang kemudian menjatuhkan skorsing terhadap pejabat tersebut.
Sang pejabat lantas menanggalkan jabatannya dan atas kemauan sendiri naik kapal meninggalkan Hindia Belanda. Namun ketika kapal tersebut singgah di Makassar, pejabat tersebut diringkus polisi dan dibawa ke Batavia. Atas perintah jaksa agung, sang pejabat kemudian diganjar hukuman penjara selama satu setengah tahun di Sukamiskin.
Setelah itu Gubernur Jenderal Tjarda van Stackenborgh Stachouwer memerintahkan razia besar2an terhadap pelaku Homoseksual. Terjadilah seorang direktur sekolah MULO di Bandung melakukan bunuh diri dengan membuka keran gas di rumahnya karena takut ditangkap polisi dan malu terhadap keluarganya. Sang direktur ini terkenal pula sebagai penulis buku kanak2 terkemuka sekaligus organisator tonil untuk remaja. Di lingkungan masyarakat Bandung dia dikenal sebagai orang terpandang… Siapa sangka ternyata dia homoseksual. Siapakah namanya tidak disebutkan dalam buku karangan Bijkerk.
Editor : Tentunya kisah ini dimuat tanpa berpretensi kepada homophobia. Konteks yang dipakai dalam penceritaan ini adalah konteks sosial saat cerita ini terjadi, yang mana homoseksualitas, menurut sang penulis buku, bukan hal aneh di kalangan pribumi,, tapi jika menyangkut orang Eropa berhubungan berhubungan sesama jenis dengan pribumi, itu dianggap skandal.