Dewata yang Membawa Luka, Tawa, dan Was-was

Imajinasi di Dewata
Petualangan Menuju Dewata | © Fan_fin

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

“Kay, ban tukang kempes,” sahut Ervan setengah berteriak. Saya memperlambat laju motor. Kania, partner saya dalam Perjalanan Ngaleut Dewata jilid 2 ini, mengingatkan saya agar menepi jika menemukan tukang tambal ban. Saya mengangguk pertanda mengiyakan.

Hujan yang turun dari pagi membuat jalanan basah dan licin. Tak berapa lama, Kania menepuk pundak dan menyuruh saya untuk berhenti karena dia melihat tukang tambal ban. Entah sedang melamun atau justru terlalu serius berkendara, saya kaget dan menarik handle rem secara mendadak. Motor tersungkur, saya dan Kania meluncur. (Wah, kalimat terakhir berima nih) Hahaha…

Beberapa kawan yang berada di belakang tentu saja berhenti untuk menolong kami. Saya sedikit meringis. Mengalkulasi antara rasa sakit, kaget, dan malu. Meski rasa malu ditulis terakhir, nyatanya, perasaan malu itu berada di urutan pertama. J

Malu yang saya rasakan beralasan. Tanpa niat menyombongkan diri (padahal dengan nulis begini udah jelas-jelas sombong sih), selama momotoran bersama Komunitas Aleut saya terhitung jarang tergelincir sampai sebegitunya. Maka, jatuhnya saya saat itu membikin citra saya rusak. Beruntung saja tak ada yang menyapa saya dengan sebutan “Akay nyungseb”, enggak enakkeun sih, masih lebih enak bilang “Agus titeuleum”

Setelah tragedi itu, rombongan yang tadinya sedikit terpisah kembali melaju beriringan. Kania berpindah dibonceng Aip. Tak ada bau tanah kena hujan, yang ada hanya kehati-hatian. Yakali habis jatuh dari motor masih mengindra bau tanah kena hujan. Reuwas nu aya.

Perjalanan berlanjut melewati Alun-alun Ciwidey, Pasirjambu, hingga Rancabolang. Di Rancabolang inilah kami berhenti untuk beristirahat. Seorang penjaga warung terlihat kaget saat kami menyerbu segala yang ia jajakan. Sayang, si Ibu enggak angkat tangan, justru malah menantang kami dengan berbagai tawaran: minuman, mie instan, dan aneka gorengan.

Barudak Aleut mulai gaduh. Ada yang ke toilet, ada yang foto-foto dengan lanskap perkebunan teh yang ditambahi awan dan pegunungan, ada yang tarik nafas panjang, ada juga yang ngabisin tiga cireng yang dikombinasikan dengan Energen pesanan teman lainnya. Oh, yang terakhir itu saya. Hehehe…

Rancabolang 2
Mengabadikan momen di Perkebunan Rancabolang| © Hendi “Akay” Abdurahman
Rancabolang
Mengabadikan momen di Perkebunan Rancabolang| © Hendi “Akay” Abdurahman

Memasuki Jalanan Menuju Perkebunan Dewata

17 kilometer akan kami lalui dengan jalanan jelek. Saya mendengar kabar itu dari Pak Abang, kawan yang menginisiasi perjalanan kali ini (Akrab… Hahaha). Hanya sedikit rasa penasaran, dalam bayangan saya, 17 kilometer jalanan jelek yang akan kami lewati terhitung pendek.

Sampai akhirnya, baru seperempat perjalanan, rasa was-was mulai menghinggapi. Kami mulai memasuki hutan cukup lebat dengan jalan bebatuan yang menurun, membikin pegal tangan dan pundak. Sesekali kabut terlihat tebal, lalu menipis. Terbayang bahwa akan datang secara tiba-tiba makhluk bernama Dinosaurus, untuk kemudian kami serang secara bersama memakai jurus-jurus khusus yang kami miliki. Untunglah itu tak terjadi.

Hantaman antara batu dan pengaman mesin saling beradu. Saya lalu teringat seorang kawan saat momotoran di kawasan pegunungan Papandayan, pengaman mesin motor kawan saya itu rusak parah karena sering terjadi benturan, bahkan sampai saat ini pengaman mesinnya copot dan tak kunjung diperbaiki.

Setelah berkilometer kami berkendara dengan jalanan rusak penuh bebatuan, motor yang dikendarai oleh Alexxx akhirnya nyerah juga di Kampung Datar Kiara. Entah kenapa, motornya sulit dihidupkan. Saat di starter, suaranya terkekeh-kekeh. Mirip sama pemiliknya kalau lagi batuk, keh…keh…keh…

Agus mengeluarkan sima-nya. Prediksi saya, dia sedang meminjam tagline salah satu media Pepersiban dan memelesetkannya. Kira-kira menjadi begini: Sima Aing Sima Agus.

Tak berlebihan sih. Dia terkenal sebagai orang yang cepat tanggap, cukup cepat pula membaca keadaan. Sebaliknya, lemah membaca kode-kode dari… (oke ganti topik, sebelum merembet).

Kampung Datar Kiara
Mengobrol dengan Pak Eman warga Datar Kiara | © Komunitas Aleut

Bantuan lainnya datang secara tiba-tiba, Upi yang sebelumnya sedang asyik ngobrol dengan warga lokal bernama Pak Eman akhirnya menghampiri. Saya dan Aip datang juga untuk berbagi tugas. Aip pegang jok, kali aja joknya kebuka lalu hiber. Kan enggak lucu. Lalu saya bertugas memegang tali ties, kali aja sewaktu-waktu dibutuhkan oleh Agus untuk mengikat sesuatu. Sayangnya, apa yang saya lakukan bersama Aip nyatanya tak berfaedah. Hanya ngaririweuh hungkul. Iya sih, tadinya agar kami terlihat ikut nimbrung saja. Hahaha, hampura lur.

Dalam serba sibuk tersebut, Pak Abang datang. Dia melihat kondisi dan mencoba membolak-balikkan stang. Ia tekan starter, dan nyalaaaa… Aneh memang. Terima kasih, Pak Abang. Hahahaha…

Kegembiraan kami ternyata hanya sebentar saja, motor kembali ngadat. Perlu waktu untuk membetulkannya. Akhirnya, beberapa dari kami memutuskan untuk pergi ke Dewata duluan. Langit yang sudah agak gelap dan waktu yang enggak bisa di “pause” membuat kami mengambil keputusan ini. Lagian, hanya sekitar 5 kilometer lagi kami sampai di Dewata.

Dan… Yessss… Akhirnya motor Alexxx benar-benar nyala. Rombongan para penunggu Alexxx mulai menuju Dewata, setelah pamit kepada beberapa warga tentu saja.

Hujan deras menyambut kedatangan barudak Komunitas Aleut di Dewata. Kami langsung berteduh di salah satu rumah warga yang kebetulan menyediakan berbagai makanan. Ada yang memesan lotek, ada pula yang memesan bakso. Saya masuk tim bakso dan melahapnya penuh gairah. Hujan, bakso, Dewata, dan kalian… Sebatang pisang keju-nya Kugy dan Keenan mah lewat atuh.

Dalam acara makan bersama itu saya yakin beberapa orang berperang dengan pikirannya masing-masing tentang bagaimana caranya pulang. Ya, karena cuaca dan jalanan memang tak memungkinkan sedangkan besoknya beberapa dari kami sudah ada kegiatan lain.

Baca juga Dewata yang Masih Menjadi Misteri

Perjalanan Pulang, Perjalanan Sesungguhnya

Setelah mencari solusi dengan berbagai kemungkinannya, akhirnya kami sepakat untuk mengangkut sebagian motor ke dalam truk untuk perjalanan menuju Rancabolang. Truk yang kami gunakan adalah truk kepunyaan perkebunan Dewata. Beberapa teman perempuan masuk juga ke dalam truk. Ada Tintin, Nita, Sari, Amanda, Pinot yang masuk truk berbarengan dengan motor. Sedangkan Elmi dan Kania yang cedera akibat perjalanan kali ini, duduk di depan bersama supir. Ini sudah kami pertimbangkan matang-matang. Dalam kondisi seperti ini, kami diajarkan untuk mengambil keputusan secara cepat.

Sisanya kami pulang mengendarai motor. Sebentar, kalian harus membayangkan kondisi saat itu. Hujan, menerobos hutan dalam gelap, dan jalanan yang hancur. Semua risiko siap ditanggung.

Dalam perjalanan pulang itu, saya membonceng Putri. Berganti partner dalam berbagai kondisi pun kami ambil bukan tanpa alasan, sudah kami pertimbangkan.

Tujuan pertama kami adalah menuju checkpoint Rancabolang. Di sepanjang perjalanan pulang ke Rancabolang ini, ditemani suasana yang ngeri-ngeri ngawanikeun maneh, saya banyak capruk dengan Putri. Kadang nyanyi-nyanyi, kadang ngobrol ini itu, sampai pada momen di mana saya seolah-olah menjadi Ari Lasso yang mengomentari Idol dalam Indonesian Idol. Putri tentu menjadi Marion Jola. Saya masih ingat, dia nyanyi salah satu lagu dari Payung Teduh, lalu saya komentarin.

“Hmmm… Secara overall saya suka suara kamu, Payung Teduh versi kamu ini lebih crunchy. Beda,” kata saya menirukan bagaimana Ari Lasso jika sedang berkomentar.

“Makasih Mas.”

“Pertahanin gaya kamu ini, saya berharap kamu masih bertahan.”

Setelahnya saya dan Putri ketawa, dan cara kami ini lumayan menghilangkan rasa takut. Ceesss Put….

Sampai akhirnya, rumah dan sedikit pencahayaan mulai terlihat. Saya gembira, Putri juga. Akhirnya kami sampai di Rancabolang. Kami berkumpul terlebih dahulu, tak lama truk yang mengangkut motor dan beberapa teman juga datang. Setelah menurunkan motor, kami langsung gas untuk pulang. Gelap, dingin, dan waswas. Hanya ada nyala yang terlihat dari jas hujan plastik yang kami pakai.

Saya benar-benar merasa lega setelah memasuki Pasirjambu. Indomaret adalah kunci, menghisap rokok dan mengisi perut dengan camilan yang disertai tumpahnya berbagai cerita perjalanan hari itu menjadi momen menyenangkan lainnya.

Kami akhirnya pulang menuju Bandung dengan membawa pikiran masing-masing. Setelah ini, ke mana lagi kita? Yuk yuk yuk!!!

Baca juga artikel lainnya dari mengenai catatan perjalanan  dan tulisan dari Hendi “Akay” Abdurahman

(komunitasaleut.com – aka/upi)

2 pemikiran pada “Dewata yang Membawa Luka, Tawa, dan Was-was

  1. Ping balik: Hanya Ada Satu Jalan Menuju Dewata | Dunia Aleut!

Tinggalkan komentar