
Oleh: Tegar Sukma A. Bestari (@teg_art)
Dikejauhan kabut mulai turun, perlahan menyelimuti perbukitan sebagai tanda hari sudah mulai sore. Hari itu, pukul 16.30 saya duduk ditemani kucing kampung berwarna abu-abu yang dekil dan tidak terurus namun cukup gemuk. Sebenarnya saya sedang menunggu satu-satunya penambal ban di kawasan ini. Di sini penambal ban adalah profesi sampingan sehingga saya harus menunggu sang tukang hingga waktu kerja usai.
Biasanya semua pekerja pulang pukul 16.00, namun khusus hari itu ada pekerjaan tambahan bagi penambal ban. Saya sabar saja menunggu, toh tidak ada pilihan lain karena untuk keluar dari kawasan kebun teh ini harus melewati 18km dengan jalan yang bisa merusak motor. Sambil sesekali melihat jam tangan saya memperhatikan cara berkomunikasi warga karena Telkomsel yang saya gunakanpun sama sekali tak bersignal. Pemilik rumah menggunakan handie talkie untuk mengabarkan kedatangan saya pada penambal ban dan yang mengejutkan ternyata kabar ini bukan saja didengar oleh penambal ban tapi oleh seluruh rumah di kawasan kampung ini. Pantas saja sudah 4 orang yang lewat menyapa saya kurang lebih dengan bahasa yang sama “aduh meni jauh ti Bandung, ke sakedap Cep tabuh 5 ge dongkap” dan sayapun hanya bisa menjawab dengan malu “muhun, pa/bu”.
Continue reading