Tag: Gunung Palasari

Momotoran Sumedang 15-04-2024

Oleh Irfan Pradana

Fear of Missing Out atau orang-orang biasa menyebutnya dengan singkatan FOMO adalah sebuah perasaan takut atau cemas “tertinggal” dalam melakukan aktivitas tertentu. Biasanya perasaan ini timbul karena ketinggalan info atau tren.

Mungkin perasaan inilah yang melatarbelakangi kegiatan Momotoran kali ini. Saya, setidaknya, kerap melewatkan momen libur lebaran dari tahun-tahun dengan hanya berdiam diri di rumah. Malas, macet, dan panas, kira-kira itu saja alasan klasiknya. Apalagi saya lahir dan besar di kota Bandung hingga saat ini. Tidak punya kampung halaman di pedesaan atau tempat jauh, jadi tidak pernah merasakan momen mudik lebaran. Sebab itu jadi semakin banyak pula alasan saya untuk berdiam di rumah.

Tapi lebaran tahun ini rasanya berbeda. Saya terkena gejala FOMO, rasanya ingin seperti orang lain, ikut dalam hingar bingar libur lebaran, pelesiran, dan bermacet ria di jalanan. Oleh karena itu saat kawan di Aleut mengajak Momotoran, tanpa banyak pertimbangan, saya langsung mengiyakan. Ya, hitung-hitung main sambil belajar pengalaman baru.

Makam Dalang Ki Darman, Dalang Takrim, dan Maestro Pop Sunda Kosaman Djaja.

Kapan hari kami sempat bergumul cukup intens dengan arsip-arsip sejarah wayang golek. Kegiatan ini merupakan bagian dari Kelas Literasi Aleut. Waktu itu saya dan kawan-kawan berkesempatan mewawancarai anak dari Umar Partasuwanda, salah seorang dalang wayang golek angkatan awal.

Berangkat dari sana akhirnya mencari-cari literatur terkait wayang golek dan menemukan nama seorang tokoh lain yang disebut-sebut sebagai pionir wayang golek di tatar Priangan. Namanya, Ki Darman.

Ki Darman adalah seorang pembuat wayang yang berasal dari Tegal. Pada abad 19 ia diminta untuk membuat wayang dari kayu oleh Dalem Karanganyar atau Wiranata Koesoemah III. Dari sinilah awal mula wayang golek mulai dibuat, dipentaskan, dan terus berkembang luas ke seluruh wilayah priangan.

Informasi mengenai makam Ki Darman kami dapatkan setelah mencari-cari informasi di internet. Di sana disebutkan bahwa Ki Darman bergiat dan menghabiskan hidupnya di sekitar Cibiru dan Cinunuk Kabupaten Bandung. Ditambah lagi terdapat informasi terkait wayang khas Cibiruan.

Informasi semakin mengerucut karena di Google Maps terdapat sebuah lokasi bernama “Makam Ki Darman”. Titiknya berada di Cinunuk, antara Cibiru dan Cileunyi Kabupaten Bandung. Berbekal informasi inilah kami jadikan titik tersebut sebagai destinasi pertama.

Sangat sulit mencari lokasi persisnya. Halaman Google Street View menunjukkan sebuah gerbang besi, namun saat kami di sana, gerbangnya dikunci rantai dan gembok. Seperti sudah lama tidak pernah dibuka. Kami bertanya kepada warga sekitar, sayang tidak ada satu pun yang tahu.

Mereka menganjurkan kami untuk memutar ke jalan belakang karena di sana ada area pemakaman. Bisa jadi di sanalah makam Ki Darman katanya.

Setelah mengikuti anjuran tersebut, kami tiba di sebuah petak pemakaman. Kira-kira jumlah makam di sana ada puluhan. Terlalu sedikit untuk disebut tempat pemakaman umum. Lebih cocok sebagai kompleks makam keluarga.

Kami langsung menemui juru kuncinya  menanyakan makam Ki Darman. Ia menggelengkan  kepalanya. “Aya gé Pak Dama di dieu mah, teu aya nu namina Darman. Sanés dalang deuih anjeunna (Dama) mah.” terang sang kuncen. “Dalang mah ieu tah, Dalang Takrim. Sok seueur anu ka dieu ti pegiat wayang.” Tangannya menunjuk ke makam yang sudah tak berbentuk karena ditumbuhi rumput liar sampai setinggi orang dewasa.

Makam Ki Takrim yang sudah tertutupin rimbunan tanaman dan alang-alang.

Kami segera mencari nama Dalang Takrim di laman pencarian. Benar, ada seorang dalang kondang bernama Takrim di Cibiru. Menurut kuncen, makam dalang Takrim sering didatangi peziarah dari lingkung seni pewayangan.

Continue reading

Bermacam Keseruan di Ngaleut Palintang

Oleh: Warna Sari (@rie1703) dan Mooi Bandoeng (@mooibandoeng)

Nama Palintang seperti dalam judul kegiatan Komunitas Aleut pada hari Minggu, 2 April 2017 lalu, sudah tidak asing lagi buat saya, karena termasuk sudah cukup sering mengunjunginya. Saya tidak terlalu ingat kapan pertama kali ke Palintang, mungkin di awal tahun 2000-an. Ketika itu, jalanan dari arah mana pun ke Palintang masih sangat buruk, jalanan berbatu dan masih banyak yang hanya berupa tanah merah, di musim hujan dapat dibayangkan seperti apa rasanya berkendaraan menuju Palintang. Tak heran di sini saya banyak menemukan kelompok-kelompok offroader, banyak macam motor trail atau mobil-mobil sejenis jeep. Dari beberapa kunjungan awal ke Palintang, saya belum memiliki wawasan apapun soal tempat ini, masih menikmatinya sebagai satu tempat yang menyenangkan dengan pemandangan indah di lekukan pergunungan Bandung Utara.

Minggu lalu Komunitas Aleut membuat program ngaleut ke Palintang, judulnya sederhana saja, Ngaleut Palintang. Setelah hampir 17 tahun, tentu saja saya sudah mendapatkan berbagai tambahan wawasan mengenai kawasan itu. Cara lihat saya sudah berbeda dengan belasan tahun lalu itu. Misalnya saja, penambahan beberapa lokasi kunjungan yang memang berada di satu kawasan, seperti Batuloceng dan lokasi pabrik kina, serta sebuah situs yang sangat dikeramatkan oleh sebagian kalangan, yaitu Demah Luhur. Saya juga dapat melihat Palintang sebagai sebuah pusat peristirahatan berbagai kelompok yang beraktivitas di alam bebas.

Pemilihan kawasan Palintang ini sebetulnya tidak benar-benar mandiri, karena masih berhubungan dekat dengan beberapa program ngaleut sebelumnya seperti Ngaleut Mukapayung, Ngaleut Pabuntelan, Ngaleut Leuwibandung, dan di sebagian perjalanan Susur Pantai Selatan #2 bersama Tim Djeadjah Priangan. Keterhubungan ini terutama ada pada tokoh yang sudah sering dibicarakan dalam ngaleut sebelumnya, Dipati Ukur. Continue reading

Catatan Perjalanan: Ngaleut Palintang

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Minggu datang lagi. Motor siap dihangatkan. Kali ini ngaleut Palintang: 2 April 2017. Seperti biasa titik berangkat dari Kedai Prenger, Buahbatu. Baru sampai Jalan Laswi, motor seorang kawan sudah dihunjam paku. Rombongan menunggu sebelum pintu perlintasan kereta api, di kejauhan nampak gedung baru warna-warni. Sebagian rombongan menunggu di Simpang Dago.

Cuaca cerah, perjalanan dilanjutkan via Buniwangi. Di sebuah tanjakan yang curam, seorang kawan menyerah, motornya tak mau naik. Pasangan dipecah, disesuaikan dengan medan turun-naik yang menghadang. Selepas Buniwangi, ada lagi yang dihunjam paku, terpaksa mencari tambal ban ke arah sebelumnya. Rombongan lagi-lagi menunggu, cukup lama. Kopi, minuman dalam gelas, dan rokok bersahut-sahutan. Yang mulai ngantuk tiduran di pinggir jalan. Obrolan santai mengalir dari tema ke tema, diselingi tawa berjamaah.

Seorang tua pedagang gula lewat. Kami menyapanya, melempar beberapa pertanyaan, dan membeli barang dagangannya. Gula kelapa manis aduhai. Pak tua berjalan kaki berkilo-kilo meter menjajakan barang manis itu. Setelah yang menambal selesai, perjalanan dilanjutkan melewati Maribaya dan sebuah ruas jalan yang macet parah di sekitar The Lodge.

Jalan yang semula sepi, kini kerap dipenuhi kendaraan yang hendak menuju tempat wisata yang menawarkan wahana ayunan dan naik sepeda di tali. Pemandangan di belakang wahana itu adalah penghuni Instagram yang populer. Volume kendaraan yang tinggi perlahan menghancurkan jalan. Macet bertubi-tubi, melongsorkan kesabaran sedikit demi sedikit. Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑