Sekitar Bandung Lautan Api: “R.O. Abrurakhman Natakusumah
Oleh Komunitas Aleut
Operatie Kraai (Operasi Gagak) yang lebih kita kenal sebagai peristiwa Agresi Militer Belanda II ditandai dengan serangan dan pendaratan udara di pangkalan udara Maguwo, Yogyakarta, yang saat itu merupakan pusat pemerintahan Republik Indonesia. Para pemimpin RI, Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Mohammad Roem, dan AG Pringgodigdo ditangkap diasingkan ke Sumatra. Jatuhnya ibu kota RI ini disiasati Presiden Sukarno dengan memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Satuan-satuan militer yang ketika itu berada di Yogyakarta dan sekitarnya segera meninggalkan tempat dan kembali ke asalnya masing-masing, termasuk Divisi Siliwangi yang kembali ke Jawa Barat dengan berjalan kaki. Peristiwa perjalanan kembali ini dikenal dengan sebutan Long March. Salah satu satuan militer itu adalah Batalyon II/Taruma Negara/Brigade XIII/Siliwangi II pimpinan Mayor Abdul Rachman Natakusumah yang akan diceritakan dalam tulisan ini.
Sebelum dilanjutkan, perlu disampaikan juga bahwa penulisan nama tokoh Mayor Abdurakhman pada judul ini ada banyak variasinya dan sulit menentukan mana nama yang paling benar. Buku Album Kenangan Perjuangan Siliwangi yang diterbitkan oleh Badan Pembina Corps Siliwangi Jakarta Raya (1991) dalam beberapa halaman saja menyebutkan namanya dalam tiga cara berbeda: Abdurakhman, Abdul Rakhman, dan Abdul Rachman. Untuk keperluan tulisan ini, kami gunakan nama Abdurachman saja sesuai dengan yang banyak tercantum pada plang informasi nama jalan di Sumedang. Kenapa Sumedang? Berikut ini kisahnya.
Sebelum serangan subuh terjadi di Maguwo, Batalyon II Taruma Negara yang dipimpin oleh Mayor Abdurachman yang ketika itu berada di sebelah barat Yogyakarta, menempuh rute perjalanan di sebelah utara melewati pergunungan Dieng, Karangkobar, dan Gunung Slamet. Batalyon ini bertugas mengawal Komandan Brigade XIII/Siliwangi II Letkol Sadikin dan staf Brigade beserta seluruh keluarganya. Deru pesawat pengintai yang mondar mandir di atas Wonosobo membuat banyak anggota keluarga pasukan harus mengungsi ke kampung-kampung sekitar. Perjalanan Long March menjadi tersendat dan harus menempuh jalur-jalur yang diperkirakan aman dari intaian pesawat musuh.
Baru sembilan hari kemudian, yaitu pada 28 Desember 1948, rombongan Batalyon II Taruma Negara dapat melintasi garis demarkasi Van Mook di dekat Laren/Getos. Sejak awal perjalanan, Kompi-1 Taruma Negara yang dipimpin oleh Kapten Amir Machmud menjadi pengawal utama staf Brigade XIII. Pada tanggal 30 Desember 1948, tugasnya digantikan oleh Kompi-2 Taruma Negara yang dipimpin oleh Kapten Komir Kartaman. Sementara kompi-kompi lainnya bergerak menuju Gunung Sari.
Ketika Kompi-2 mencapai Kedawung dan akan menyebrangi jalan besar antara Bumiayu dan Kaliguwo, pengamanan situasi dilakukan oleh Letnan Wasitakusumah yang memimpin Pleton-1 sebagai pleton pelopor. Sempat terjadi tembak menembak antara Pleton-1 dengan dua jeep musuh yang melintas. Jeep itu terbakar dan tiga tentara penumpangnya tewas, sementara seorang polisi sipil ditahan dalam keadaan luka-luka. Tawanan ini kemudian diserahkan kepada Komando Batalyon. Dari Pleton-1 jatuh seorang korban, prajurit Udin, yang merupakan anggota Regu-1, dan dimakamkan di Kedawung. Tiga puluh tahun kemudian, kerangka jenazah Udin dipindahkan oleh Letkol (purn) Komir Kartaman dan Brigjen Wasitakusumah beserta rekan-rekan kesatuannya, ke Taman Makam Pahlawan Sumedang.
Setelah peristiwa itu, Kompi-2 Taruma Negara bergerak ke arah Guci menyusul staf Brigade XIII dan menemui Komandan Brigade Letkol Sadikin yang sudah meneriman pengangkatannya sebagai Panglima Divisi IV/Siliwangi. Selanjutnya mereka bergerak lagi menuju Dawuan.
Pada pertengahan bulan Januari 1949 seluruh pasukan sudah berada di Majalengka, Jawa Barat, dan selanjutnya memasuki Werasari. Pada tanggal 18 Januari 1949 Batalyon II/Taruma Negara menerima perintah dari Letkol Sadikin untuk menduduki wilayah Kabupaten Sumedang dan bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan Letkol Sadikin sebagai Panglima Divisi Siliwangi yang memusatkan pasukannya di daerah Gunung Tampomas di Buahdua, Kabupaten Sumedang.
Pada hari itu juga Letkol Sadikin menyampaikan rencana taktis untuk memasuki Kabupaten Sumedang, di antaranya tindakan penyesatan untuk mengamankan lintasan perjalanan Brigade XIII dengan melakukan penyerangan ke pos-pos Belanda di Lemahputih dan Bantarujeg.
Tugas penyerangan ke Bantarujeg diserahkan kepada Mayor Abdurachman dengan dua kompi, yaitu Kompi-3 Kapten Edi Sumadipraja dan Kompi-4 Kapten Somali. Pada saat-saat terakhir, ternyata serangan ke Bantarujeg ini dibatalkan.
Penyerangan ke Lemahputih yang diserahkan kepada Kompi Amir Machmud dan Kompi Komir Kartaman dilaksanakan pada dini hari 19 Januari 1949 pukul 01.00 dengan menyerang Kompi-1 Belanda. Ada kejadian agak lucu tapi sekaligus juga mengkhawatirkan yang terjadi pada kompi ini. Para penyerang berhasil mendekati pos Belanda dan melakukan tembakan-tembakan jarak dekat, selain itu juga mereka berhasil melemparkan granat-granat tangan buatan dalam negeri ke kubu-kubu pertahanan musuh, namun ternyata semua granat itu tidak ada yang meledak. Rupanya para pelempar granat tidak ada yang mencabut pin pada kepala granat sebelum dilemparkan dan hal ini terjadi karena tidak ada penjelasan yang diberikan saat pembagian granat.
Walaupun begitu, penyerangan ini berhasil mendesak pasukan Belanda dan mengakibatkan kerugian besar bagi mereka. Namun di sisi lain, ada beberapa prajurit Siliwangi yang gugur serta Sersan Mayor Birlan yang luka tertembak tidak dapat diungsikan ke belakang sehingga pagi harinya berhasil ditawan oleh pihak Belanda. Bagaimanapun penyerangan ini dianggap berhasil dan telah membuka akses ke Sumedang.

Selanjutnya pembagian posisi pasukan di Sumedang sebagai berikut:
- Kompi-1 Kapten Amir Machmud menduduki wilayah Tanjungsari, Rancakalong, dan sebagian Tanjungkerta
- Kompi-2 Kapten Komir Kartaman menduduki wilayah Cadasngampar, Darmaraja, dan Situraja
- Kompi-3 Kapten Edi Sumadipraja menduduki wilayah Buahdua, Conggeang, Tanjungkerta, Cimalaka, dan sebagian Tomo
- Kompi-4 Kapten Somali A.W. menduduki wilayah Situraja, Sumedang Utara, Sumedang Selatan, dan sebagian Darmaraja
- Komandan Brigade III Letkol Sadikin berkedudukan di Kompi-3 Buahdua, sedangkan Komandan Batalyon Mayor R.O. Abdurachman berada di antara Kompi-1 dan Kompi-3.
Posisi Batalyon II Taruma Negara di Sumedang ternyata harus menghadapi dua pihak lawan, yaitu pasukan Belanda dan pasukan DI/TII yang terus melancarkan aksi militer menyerang satuan-satuan tentara republik. Pasukan DI/TII tersebar di banyak tempat dengan basis umumnua di wilayah pergunungan, seperti Gunung Cagak, Gunung Batara Guru, atau Gunung Cakrabuana.
Kompi-4 Kapten Somali mendapatkan banyak gangguan dari pasukan DI/TII yang dipimpin oleh Zaenal Abidin dan Andi Suhandi yang berbasis di Garut Utara, Balubur Limbangan, dan Gunung Batara Guru. Kompi-2 Kapten Komir Kartaman menghadapi aksi-aksi DI/TII yang datang dari daerah Cipeundeuy dan Krisik, sedangkan Kompi-1 Amir Machmud harus menghadapi pasukan-pasukan DI/TII yang datang dari jurusan Gunung Datar dan Tanjungkerta.
Tanggal 11 Maret 1949 seluruh pasukan dari Batalyon II Taruma Negara mengadakan serangan serentak ke pos-pos Belanda dan menimbulkan cukup banyak korban jatuh. Serangan ke pusat kota oleh Seksi-1/Kompi-4 di bawah pimpinan Letda R. Abdul Rojak berhasil membakar rumah yang dihuni oleh seorang tentara Belanda dan menawan seorang pemimpin jawatan kabupaten yang memihak Belanda.
Belanda melakukan pembalasan dengan mendatangkan bala bantuan pasukan-pasukan komando dari luar kota. Pasukan ini terkenal dengan nama Korps Speciale Troepen. Dalam upaya menghadapi kedatangan pasukan-pasukan ini, Kompi-4 Kapten Somali mengadakan penghadangan-penghadangan di sekitar Cadas Pangeran. Satuan terdepan dipimpin oleh Seksi-1/Kompi-4 Abdul Rojak yang juga mengajak Sersan Mayor Abdulmaman dan mengambil posisi pencegatan di Kampung Anjung.
Tanggal 22 Maret 1949, pada sekitar pukul tujuh pagi, terdengar gemuruh rangkaian kendaraan truk dan sebuah mobil sedan dari arah kota Sumedang. Tak lama kemudian terjadi tembak menembak gencar antara kedua pihak dan berlangsung sekitar 20 menit. Pasukan Abdul Rojak baru berhasil dipaksa mundur setelah pihak Belanda menghujani posisinya dengan mortir. Dari pihak Belanda jatuh 18 orang korban, termasuk Letkol Maltha, Kepala Staf Brigade Stoottroepen Divisi 7 Desember Belanda.
Setelah kerugian besar di Cadas Pangeran, Belanda masih terus menggempur dengan mengerahkan Pasukan Baret Hijau. Pasukan yang terkenal ganas ini bahkan menjatuhkan korban-korban dari rakyat. Pertempuran antara kedua pihak di Ciranggem berlangsung sehari penuh. Setelah ini kemudian terdengar kabar rencana Belanda akan menyerang Buahdua, tempat kedudukan Panglima Divisi Siliwangi. Komandan Batalyon II Taruma Negara, R.O. Abdurachman yang bertanggung jawab atas keselamatan Divisi Siliwangi segera bergerak menuju Buahdua. Pada saat itu sebenarnya Abdurachman sedang dalam keadaan sakit, namun ia tetap melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya.
Mula-mula kedudukan Divisi Siliwangi dipindahkan ke Sumedang Timur dengan kawalan Seksi-1 dam Seksi-2 yang masing-masing dipimpin oleh Letda Dadang Martaatmadja dan Letda Otje Djundjunan. Mayor Abdurachman rencananya akan menyusul setelah menyampaikan perintah penyerangan kepada Komandan Kompi-1 Kapten Amir Machmud.

Tanggal 11 April 1949 saat rombongan Divisi Siliwangi akan menyebrangi Jalan Raya Sumedang-Cirebon di Kampung Bugel, Tomo, mereka dihadang oleh dua kompi dari Baret Hijau dan Baret Merah. Letnan Otje berhasil menghambat gerakan kedua kompi Belanda ini sementara seluruh staf Divisi Siliwangi bergerak dan berhasil selamat sampai ke Damaraja.
Pada hari yang sama, dua kompi (sekitar 200 orang) Baret Hijau lainnya mengepung Kampung Cibubuan , tempat Mayor R.O. Abdurachman berada. Di situ ada juga Kapten Edi Sumadipraja beserta satu regu pengawal. Pengepungan oleh pasukan Baret Hijau ini berhasil menembak Mayor R.O. Abdurachman lalu menangkap dan menawannya beserta para pengawalnya. Mereka semua dibawa ke Balai Desa Cibubuan.
Dalam keadaan sakit dan tertembak, Mayor R.O. Abdurachman dipaksa untuk mengatakan keberadaan Panglima Divisi Siliwangi. Ia memilih bungkam dan memegang teguh prinsip lebih baik mati dan menjadi abu daripada berkhianat. Inimahsumedang.com menyebutkan bahwa dalam upaya memaksa buka mulut itu, Belanda melakukan tekanan hebat dengan cara menembak kepala Kopral Karna. Mayor Abdurachman tetap bungkam. Selanjutnya mereka menembak mati Sersan Sobur, dan tetap tidak berhasil membuat Mayor Abdurachman bicara.
Anggota-anggota Baret Hijau benar-benar kehilangan akal. Mereka menelanjangi Mayor Abdurachman hingga tinggal celana dalamnya saja, kemudian menyeretnya ke dinding Balai Desa dan menembaknya tepat pada jantungnya. Selain anggota pasukan Mayor Abdurachman, Baret Hijau juga menewaskan empat orang warga sipil setelah sebelumnya disiksa menggunakan bayonet dan popor senjata.
Setelah gugurnya Mayor R.O. Abdurachman, Kapten Amir Machmud diangkat menjadi Komandan Batalyon II Taruma Negara yang diganti nama kesatuannya menjadi Batalyon II 11 April/Brigade XIII/Divisi-4 Siliwangi. Kelak, sebagai salah satu bentuk penghormatan, nama Mayor Abdurachman serta tanggal terjadinya peristiwa di ats, yaitu 11 April, dijadikan nama jalan di kota Sumedang. Belum kami temukan informasi di mana Mayor Abdurachman dimakamkan setelah tewas ditembak Belanda. Yang jelas saat ini makamnya ada di Taman Makam Pahlawan Cimayor, Kabupaten Sumedang. ***
