Ngaleut Pertama: Terengah-engah di Citengah, Sumedang
Irfan Pradana
Setelah tertunda 10 tahun, akhirnya saya berkesempatan untuk mengikuti perjalanan Komunitas Aleut. Saya mengenal Komunitas Aleut dari cuitan Zen RS (Pemred Narasinews) sekitar tahun 2013. Kala itu saya sedang gemar membaca tulisan tentang sepakbola yang disajikan oleh Pandit Football, media sepakbola yang juga digawangi oleh Zen RS.
Salah satu rubrik yang paling saya gemari di Pandit Football adalah rubrik sejarah. Rubrik itu menampilkan sepakbola dan kaitannya dengan sejarah. Jenis artikel yang paling menarik minat baca saya saya adalah artikel yang mengupas pertautan antara sepakbola dengan sejarah, khususnya ekonomi politik, baik nasional maupun internasional. Berkat Pandit Football saya menemukan cara yang asyik untuk mengenal peristiwa-peristiwa sejarah.
Usai melihat cuitan Zen tentang Komunitas Aleut, saya mulai membaca tulisan-tulisan di komunitasaleut.com. Perkenalan dengan Komunitas Aleut semakin menambah keinginan saya untuk mengulik sudut pandang baru dalam mempelajari sekaligus menikmati sejarah.
Waktu berlalu, sebab satu dan lain hal saya selalu gagal mengikuti perjalanan Aleut. Urusan kampus dan pekerjaan menyita banyak waktu saya kala itu hingga tak pernah mendapat kesempatan turut serta dalam kegiatan Aleut. Seingat saya, saya hanya satu kali saja pernah hadir di acara diskusi Aleut di Kedai Preanger. Sayangnya saya pun lupa apa tema diskusi saat itu.
Bertahun-tahun tidak lagi berinteraksi dengan Aleut, akhirnya di hari Minggu, 15 Oktober 2023, saya memiliki privilese waktu luang yang bisa saya manfaatkan untuk ikut Ngaleut. Semalam sebelumnya secara mendadak saya menghubungi Rani, salah satu koordinator Komunitas Aleut, guna menanyakan sekaligus meminta izin untuk mengikuti kegiatan Aleut. Syukurlah memang dasar rejeki saya, Rani mengiyakan dan langsung memberi saya info mengenai jadwal serta lokasi titik kumpul untuk keberangkatan esok hari.
Tujuan utama dari perjalanan hari itu adalah sebagai rangkaian kegiatan menyusuri jejak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat. Rute yang akan kami jalani antara lain Malangbong-Cibugel-Perkebunan Teh Margawindu-Citengah.
Kami berdelapan meluncur menggunakan sepeda motor menuju destinasi pertama, Malangbong. Di Malangbong kami hendak menyambangi kediaman salah satu putra Kartosoewirjo, Sardjono Kartosoewirjo (alm). Kediamannya terletak di Desa Mekarasih, Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut. Perjalanan kami tempuh selama kurang lebih 2 jam dari kota Bandung.
Cuaca cukup terik saat itu hingga membuat saya cepat merasa haus. Tak terhitung berapa kali saya melambankan laju kendaraan saya agar bisa menenggak bekal air minum yang saya bawa. Selama perjalanan saya tidak mendapat terlalu banyak cerita selain pemandangan semakin masifnya pembangunan di wilayah priangan timur.

Malangbong, Kediaman Putra Sang Imam
Singkat cerita kami tiba di kediaman almarhum Sardjono Kartosoewirjo. Sardjono wafat pada 1 Januari 2021 lalu dan rumahnya kini ditinggali oleh istri dan anaknya. Saya diberi info oleh Rani bahwa ini merupakan kunjungan kedua kalinya. Pada kunjungan pertama, Rani ditemui dan berbincang dengan istri Sardjono, Farida.
Melalui Farida, Rani mendapat banyak informasi menarik seputar kehidupan mertuanya. Sayangnya karena waktu yang sudah menjelang malam, Rani tidak berkesempatan menyambangi salah satu peninggalan Sardjono, sebuah Masjid bernama Masjid Wal-Marjan. Selain itu Rani juga melewatkan kesempatan untuk mengunjungi makam Dewi Kalsum, istri dari Kartosoewirjo.
Pada kunjungan kali ini kami ditemui oleh Anne, putri Sardjono. Jika pada pertemuan Rani sebelumnya –sang Ibu Farida – yang banyak bercerita, kali ini giliran Anne yang membagikan kisahnya kepada kami. Anne sendiri adalah anak Sardjono yang lahir pada tahun 1985, 23 tahun pasca kakeknya dihukum mati.
Sebagaimana banyak tercatat dalam literatur sejarah, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah figur politik sekaligus figur islam dalam gelanggang pertarungan sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Sempat sama-sama menimba ilmu dari HOS Tjokroaminoto bersama Soekarno, Kartosoewirjo berpisah di persimpangan revolusi. Ia memilih jalur islam politik sebagai nafas perjuangannya.
Kartosoewirjo mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) berdasarkan hukum syariah Islam dan diproklamasikan pada 7 Agustus 1949. Pembentukan NII didasari oleh kekecewaan Kartosoewirjo terhadap sikap pemerintah pusat dalam perjanjian Renville.
Perjanjian itu mengharuskan RI mengosongkan Jawa Barat dan pindah ke Jawa Tengah. Kartosoewirjo menganggap pemberian wilayah Jawa Barat sebagai bagian Belanda bukan arti kemerdekaan sebenarnya. Bersama pegikutnya di Hizbullah dan Sabilillah, Kartosoewirjo kemudian memelopori pendirian Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sepak terjang DI/TII tercatat berlangsung sejak 1949 hingga 1962.
Sejarah DI/TII adalah salah satu catatan sejarah kelam bangsa Indonesia selain peristiwa 1965. Menurut Holk H. Dengel dalam Darul Islam dan Kartosoewirjo: Angan-Angan yang Gagal, korban jiwa peristiwa pemberontakan DI/TII mencapai 22.895 orang. Sejumlah catatan tersebut membuat nama Kartosoewirjo sulit dilepaskan dari alur penulisan sejarah pendirian Republik Indonesia.
Anne mengawali cerita dengan keterlibatannya dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang ikut didirikan oleh ayahnya, Sardjono. FSAB adalah gerakan moral yang berisikan berbagai anak dan cucu anggota TNI maupun anak cucu berbagai gerakan, antara lain, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), maupun Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Menurut Anne, FSAB memiliki misi untuk membangun ruang rekonsiliasi dan menghentikan pewarisan sejarah konflik kepada generasi masa depan. Anne menunjukkan kepada kami potongan kliping dokumentasi ketika dirinya mewakili FSAB menghadiri wawancara dengan berbagai media. Ia juga menunjukan sebuah buku berjudul “The Children of War” yang ditulis secara kolektif oleh anggota FSAB.
Anne bercerita tentang pengalamannya saat kali pertama mengetahui bahwa ia merupakan cucu dari Kartosoewirjo. “Saat itu saya masih SD. Waktu pelajaran sejarah kebetulan sedang membahas peristiwa itu (DI/TII). Lalu ada teman saya – mungkin tahu dari orang tuanya – menunjuk saya dan bilang ‘ini cucu gerombolan’ (gerombolan adalah sebutan pagi anggota DI/TII). Waktu itu saya pulang, nangis dan ngadu ke Bapak. Saya bingung karena belum pernah ketemu (Kakek). Bapak juga di rumah nggak cerita dan orangnya halus sekali. Nggak pernah bentak apalagi mukul. Jadi saya bingung, masa bisa (imej kakek) bisa semenakutkan itu.”
Tim Aleut lalu menanyakan apa yang terjadi pasca Kartosoewirjo ditangkap dan dihukum. Pertanyaan itu diajukan karena ada potongan informasi tak utuh yang menyebutkan bahwa pasca penangkapan, istri Kartosoewirjo, Dewi Kalsum, beserta anak-anaknya sempat menetap di daerah Ciumbuleuit Bandung. Informasi ini yang hendak dikonfirmasi kebenarannya.
Anne menjawab bahwa usai penangkapan dan pengadilan, Dewi Kalsum berpisah dengan anak-anaknya. Dewi Kalsum menetap di Malangbong, sementara yang menetap di Ciumbuleuit adalah Sardjono. Anne menambahkan bahwa Sardjono lahir ketika Kartoesowirjo dan Dewi Kalsum masih bergerilya di hutan. Saat itu Dewi Kalsum dibantu oleh tenaga pengasuh. Anne menambahkan bahwa pengasuh itulah yang mengurus Sardjono selama tinggal di Ciumbuleuit.
Anne juga bercerita bahwa tak jauh dari kediamannya ada salah satu pengikut Kartosoewirjo yang dahulu bertugas sebagai juru masak selama masa pemberontakan di dalam hutan. Namun sayangnya orang yang dimaksud telah wafat beberapa waktu lalu sehingga kami tidak bisa mendapatkan informasi darinya.
Kami mengakhiri obrolan dengan Anne karena harus melanjutkan perjalanan menuju Cibugel, salah satu kawasan tempat aktivitas DI/TII berlangsung. Sebelum beranjak, Anne menunjukkan pada kami arah makam ayahnya, Sardjono. Kami lantas berpamitan dan pergi menuju makam tersebut sebelum memulai perjalanan ke desa Cibugel.
Makamnya berada di kawasan Masjid Yaqut Wal Marjan, saya menduga nama Wal Marjan diambil dari nama tengah Kartosoewirjo, yakni Maridjan. Di sana terdapat 3 makam. Makam pertama adalah makam Sardjono, berikutnya terdapat dua makam yang tak bernisan. Kuat dugaan bahwa makam tersebut merupakan makam para pengasuh Sardjono. Setelah dari makam Sardjono, kami menyempatkan diri menuju makam Dewi Kalsum, istri Kartosoewirjo. Makamnya berada di komplek pemakaman bernama Bojong. Sekitar 500 meter dari makam Sardjono. Dewi Kalsum wafat pada 6 September 1997.

Setelah mengambil dokumentasi, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Cibugel. Cibugel merupakan sebuah desa yang terletak di kecamatan dengan nama serupa di Kabupaten Sumedang. Jalurnya merupakan perlintasan antara Kabupaten Garut dan Sumedang. Perjalanan dari Malangbong memakan waktu kurang lebih satu jam. Di tengah perjalanan kami sempat beristirahat dan melepas dahaga di warung tepi sungai yang pemandangannya cukup indah.
Cibugel, Hujan Peluru Banjir Darah
Siang itu terik matahari begitu menyengat kulit. Beberapa kali saya melihat fatamorgana terpantul dari aspal jalanan. Kemarau berkepanjangan telah membuat banyak pepohonan yang kami lewati sepanjang jalan tampak kusam mengering. Hembusan angin yang menerpa kulit pun tak sejuk lagi dibuatnya.
Setibanya di Desa Cibugel, kami langsung memarkir kendaraan di sebuah Masjid besar bernama As-Syuhada. Masjid ini didirikan pada tahun 1980 di atas sebidang tanah yang pernah menjadi saksi bisu puncak peristiwa pemberontakan DI/TII pada tahun 1959. Pada saat itu sekitar 130 orang warga Desa Cibugel harus meregang nyawa dibunuh oleh gerombolan DI/TII usai menolak memberikan bantuan kepada kelompok DI/TII dan bersumpah setia pada republik.
Peristiwa ini adalah puncak dari serangan DI/TII terhadap Desa Cibugel. Setidaknya ada 50 kali serangan dilakukan oleh gerombolan DI/TII. Aksinya dimulai dengan penggarongan, pembakaran hingga menghabiskan 1400 rumah warga dan pembunuhan. Gerombolan DI/TII menyebut warga Cibugel sebagai Islam kafir karena menolak memberikan bantuan.
Malam jahanam 23 November 1959 itu, Cibugel dikepung dari empat sudut oleh ratusan anggota gerombolan DI/TII dengan membawa bedil. Ratusan warga berlari ke arah wahangan (sungai) Legok Cibiru untuk menyelamatkan diri dari kepungan gerombolan DI/TII namun berhasil dipergoki oleh gerombolan DI/TII. Dari ketinggian gerombolan DI/TII menembakkan ribuan peluru ke arah wahangan Legok Cibiru. Korban berjatuhan, para perempuan dan anak-anak terjerembab bermandikan darah, sekarat di atas batu-batu sungai. Pasca dibunuh, seluruh mayat korban dimakamkan di tanah yang kini menjadi Masjid As-Syuhada.

Tak jauh dari Masjid, terdapat sebuah kantor desa yang di depannya berdiri sebuah bangunan tugu. Tingginya kurang lebih 5 meter. Tugu ini dibuat sebagai monumen peringatan peristiwa kelam pembunuhan warga desa Cibugel.
Margawindu Tempat Gerombolan Berlindung
Setelah menghabiskan beberapa potong tahu goreng, kamu melanjutkan perjalanan ke Cisoka, tepatnya perkebunan teh Margawindu. Dari semua rute yang ditempuh hari itu, perjalanan menuju Margawindu ini menjadi yang paling berat. Bagaimana tidak, kami harus melewati jalanan berbatu, menanjak dan menurun. Beberapa kali motor kami terjerembab dan jatuh.
Meski begitu pemandangan sekitar yang indah cukup jadi pelipur lara dari beratnya perjalanan. Jujur saja, terakhir kali saya mengendarai motor dengan durasi 2 jam lebih itu terjadi 12 tahun lalu. Jadi bisa dibilang saya terkaget-kaget dengan daya tahan para anggota Aleut. Salut!!
Kami semua akhirnya berhasil melewati jalanan berbatu dan tiba di kawasan perkebunan Margawindu. Perkebunan ini dikelilingi oleh perbukitan. Konon di bukit-bukit inilah para gerombolan DI/TII menjalankan aktivitasnya. Mereka membangun barak-barak dan menjadikan bukit ini sebagai jalur utama mobilitas mereka.
Beratnya trek membuat saya kepayahan. Menerjang bebatuan sembari menjaga keseimbangan di atas motor nyatanya membuat lengan saya serasa dihantam balok kayu. Saya menghabiskan seluruh air minum saya yang tersisa di sebuah gubuk tempat para pemetik teh beristirahat.

Citengah Sampai Terengah-Engah
Beberapa menit beristirahat di areal perkebunan Margawindu, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi terakhir, Desa Citengah. Saya tidak banyak mendapat informasi sejarah dari Desa Citengah ini. Meski begitu saya cukup dimanjakan oleh indahnya pemandangan matahari yang perlahan terbenam dan mengintip di sela-sela perbukitan sepanjang jalan.
Waktu sudah menunjukan pukul 15:00 dan tidak ada satupun dari kami yang sudah bersantap siang. Perut saya sendiri sudah berbunyi minta diisi. Akhirnya kami menepikan seluruh kendaraan kami di sebuah warung milik warga. Di sana kami meminta dibuatkan hidangan untuk bersantap siang.
Menu makan siang kami begitu istimewa. Ibu Yani, sang empunya warung membuatkan kami sepanci penuh nasi liwet dengan lauk ikan asin, tahu tempe goreng, beserta kerupuk sebagai pelengkap. Lelahnya perjalanan membuat kami kalap. Semua lauk tandas tak bersisa. Hidangan sederhana itu terasa sungguh nikmat ketika dimakan bersama usai menempuh perjalanan panjang.
Perut, hati, dan otak sudah terisi penuh. Sekitar pukul 16:30 kami berpamitan kepada Ibu Yani dan suami. Melanjutkan perjalanan pulang ke tempat kami berasal, Bandung.

Sepanjang perjalanan mata saya disuguhkan pemandangan yang luar biasa indah. Matahari yang terbenam perlahan membuat langit berubah warna menjadi jingga. Keindahan seakan tak ada habisnya oleh kontur jalan berkelok mengitari perbukitan. Sesekali saya menepi untuk mengabadikan momen tersebut.
Di tengah perjalanan, kami menepi sebentar di sebuah lapangan sepakbola yang terletak di desa Baginda, Sumedang. Di lapangan itu berdiri sebuah tugu bernama Tugu 11 April. Tugu ini dibuat sebagai bentuk penghargaan kepada penduduk karena bersedia menyediakan tempat bernaung bagi Bataliyon 11 April semasa perlawanan terhadap Agresi Militer Belanda.
Selesai mengambil beberapa foto, kami melanjutkan perjalanan pulang ke Bandung dan tiba di Bandung sekitar pukul 19:00.
Jalan Berkesan
Saya bisa disebut sebagai satu dari sekian banyak orang yang kesulitan dalam menyerap ilmu sejarah. Saya merasa bahwa penulisan dan kurikulum sejarah formal yang diajarkan di sekolah selain membosankan, juga terasa berjarak dengan pembacanya. Saya berani menyebut bukan saya saja yang merasa seperti itu. Pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah hanya berisi deretan tahun yang mesti dihafal atau peristiwa besar yang kerap dilepaskan dari konteks situasi, budaya, ekonomi politik pada saat itu. Tak cukup di situ, penulisan sejarah bagi saya begitu berjarak karena hanya menunjukan momentum dan tokoh-tokoh besar. Meliyankan yang jelata, menepikan yang tak berpunya.
Perjalanan kali ini semakin menebalkan kegemaran saya pada kisah-kisah kecil, sederhana, dan manusiawi di setiap momentum sejarah dan ketokohan. Saya lebih tertarik dengan para pengasuh Sardjono di hutan. Bagaimana mereka membagi waktu antara tugas menjaga anak seorang Imam besar dan ibadah misalnya. Atau bagaimana akhirnya mereka bisa mewakafkan hidupnya pada keluarga Kartosoewirjo?
Sosok lain yang menurut saya menarik untuk digali lebih dalam adalah juru masak DI/TII. Sampai saat ini saya masih dibuat penasaran bagaimana rupa serta teknis kerja seorang juru masak DI/TII. Saya penasaran bagaimana ia mengelola logistik di belantara hutan? Apa masakan andalannya? Apa makanan kesukaan Kartosoewirjo?
Hal yang terlihat kecil dan manusiawi seperti itulah yang bagi saya terasa menarik dan dekat. Kecintaan saya pada sejarah terpantik oleh cerita-cerita sederhana seperti itu ketimbang bagaimana Soekarno menggelar mimbar bebas atau cerita koper-koper buku Hatta. Sekelumit cerita kecil dari yang bahkan tak pernah diingat namanya selalu berbekas dalam di benak saya.
Mungkin sedikit atau mungkin juga banyak orang yang seperti saya dalam melihat sejarah. Saya merasa pembacaan sejarah akan semakin menarik dan dialektis jika penulisannya dibuat menjadi lekat dengan pembacanya. Saya tak menemuinya di buku pelajaran sekolah, saya menemuinya melalui pembacaan mandiri, diskusi, catatan perjalanan dan sedikit keberuntungan bernama: Ngaleut. ***
Foto-foto: @DeuisRaniarti @komunitasaleut