Ngaleut! In de Oude Buitenzorg

Ditulis oleh : Muhammad Ryzki Wiryawan

Ngaleut van Oude Buitenzorg

“Oh thou whom ne’er my constant heart
One moment hath forgot.
Tho’ fate severe hath bid us part
Yet still—forget me not.”

(Thomas Stamford Raffles to his beloved wife)

Hmm,, alkisah beberapa hari yang lalu, saya bersama komunitas Aleut! mengadakan perjalanan ke Bogor, namun kali ini melawan tradisi karena kami menggunakan mobil, padahal biasanya kita jalan kaki. Nya kira2 we, mosok ke Bogor dari Bandung jalan kaki, hehehe…

Sebenernya catatan mengenai perjalanan ini sudah diulas dengan sangat baik oleh Indra lewat notes FB dan blognya.
http://www.facebook.com/notes/indra-pratama/aleut-buitenzorg-trip/281911899176
Maka dari itu, catatan saya kali ini akan mengambil sudut pandang perjalanan dari masa lalu, agar bisa menjadi perbandingan terhadap kondisi sekarang.

Bahan2 ini dikumpulkan dari berbagai catatan perjalanan / panduan wisata di awal abad 20. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya akan mengeja nama daerah dan orang-orang dengan istilah yang terdapat di teks asli.

Kota yang baru saja kunjungi, Buitenzorg didirikan oleh Gubernur Jenderal G.W. Baron van Imhoff (1743-50) tahun 1745, tujuannya tidak lain sebagai tempat leha-leha. Nama buitenzorg sendiri berarti melepas kecemasan / sans souci dalam bahasa Prancis. Tempat ini digunakan sebagai tempat singgah pejabat Belanda dari Batavia yang mau mengunjungi daerah Priangan.

Masyarakat setempat menyebut lokasi ini sebagai “Bogor”, yang berarti pohon enau. Nama ini punya kisah sendiri, pada masa hegemoni Islam di abad 15, pangeran Hassan-Oedien, putra dari Syekh Bin Muelana menyerang markas besar kerajaan Padjadjarang hingga rata dengan tanah. Nah, 250 tahun kemudian setelah kejadian tersebut, tepatnya Tahun 1677, saat Gubernur Jenderal Jan Maatsuiker membersihkan lahan yang telah menjadi hutan tersebut dengan menggunakan tenaga lokal tentunya, mereka menemukan bekas perkebunan enau yang telah membusuk. Nah, dalam bahasa sunda, tanaman enau ini disebut Bogor…

Kota ini terletak 250 meter di atas permukaan laut, dikelilingi sunga Tjisedane dan Tjiliwoeng, memiliki iklim sedang, tanah yang subur dan keindahan alami. Penduduknya di tahun 1912 berjumlah 34.000 orang, dengan rincian 24.000 orang Eropa, 4000 China serta sisanya pribumi dan asing lain.

Dari stasiun Bandung, perjalanan ke Buitenzorg ini ngabisin waktu 5 jam dengan rincian sebagai berikut; Kereta berangkat pukul 13.05, tiba di Padalarang pukul 13.29 kemudian ngetem dan berangkat lagi pukul 13.43 dan akhirnya tiba di Buitenzorg pukul 17.55.

Disarankan agar pengunjung kota ini mencari hotel nomor wahid, rekomendasi saat itu adalah hotel Belle Vue yang dikelola oleh tuan Garreau Freres. Orang yang sama juga mengelola hotel yang cukup ternama yaitu Hotel du Chemin de fer. Biaya untuk menginal di hotel pertama adalah 6 guilders/hari.

Hotel Belle vue menyajikan keindahan tak terbayangkan, dari belakang anda dapat menyaksikan gunung salak setinggi 7000 M. dan aliran sungai Tjiliwoeng di bawahnya. Setelah menginap semalam, ada baiknya pagi hari ini anda habiskan untuk berjalan-jalan mengunjungi objek wisata Buitenzorg, Mengapa ? Karena hujan seringkali turun di siang hari, yaitu antara pukul 14.00 hingga 17.00. Buitenzorg mengalami hari hujan sekitar 219 hari dalam setahun.

Lapar ? Maka kunjungilah restoran Rikkers yang terdapat di seberang taman Botani. Setelah itu, anda dapat berjalan mengunjungi passar yang menjual berbagai jenis buah tropis dan kawasan pecinan tentunya. Tujuan selanjutnya yang harus anda kunjungi adalah taman botani terbaik di dunia : Taman Botani Bogor (Hortus Bogorenses) , Masuknya gratis !

Dibangun pada 18 Mei 1817 oleh “Orang-orang Belanda, yang dikenal sebagai botanikus terbaik di seluruh Eropa”, Taman Botani Didirikan oleh Professor Reindwardt, dan Peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jenderal G.A.G. Philip van der Capellen dengan nama s’Lands Plantentuinte Buitenzorg. Perlu juga diketahui, bahwa Belanda turut membangun taman-taman sejenis di daerah Tjipanas, Tjibodas, Tjibeureum, Kadang Badoh, serta puncak gunung Pangerango.

Kejayaan taman ini memuncak ketika J. E. Teysmann mengurusnya pada tahun 1830. Selama tahun tersebut hingga 1868, Teysmann menjelajahi nusantara guna menambah koleksi tanaman di kebun botani. Dan melalui karyanya, Seratus naturalis dunia mulai dari Darwin hingga Candolle mengakui jasa2nya dalam ilmu pengetahuan :

“Celeberrimo indefessoque J. E. Teysmann cum dimidium per sæculum Archipelagi indici thesaurum botanicum exploravit, mirantes collegæ.”

Ketika anda memasuki gerbang taman ini, anda akan disambut barisan pepohonan kanari. Di dekat gerbang anda pun bisa menemukan museum zoologi, yang walaupun kecil, anda dapat menemukan koleksi reptil, serangga, unggas dan lain-lain. Persiapkan tenaga anda, karena untuk mengelilingi taman ini membutuhkan sedikitnya waktu dua jam.

Taman ini menyatu dengan Istana Gubernur jenderal yang di halamannya terdapat rusa-rusa yang dengan bebas mencari makan. Bangunan ini didirikan di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Mossel, dan mengalami renovasi di masa Daendels dan Raffles. Bangunan ini sempat rusak kala terjadi gempa tahun 1834. Di sisi istana ini terdapat danau buatan dengan pulau kecil di tengahnya. Di danau ini terdapat bunga lotus raksasa dan Victoria Regias. Selanjutnya di sepanjang taman anda akan menemukan ratusan jenis tumbuhan; Anggrek, Bambu, Palem, dan tumbuhan tropis lainnya.

Taman ini dibatasi oleh Groote Postweg (sebelah barat) dan bantaran kali Tjiliwoeng. Di pinggir jalan raya pos (groote postweg) ini anda dapat menemukan Herbarium, Perpustakaan Departemen Agrikultur, Museum Botani, serta museum mineral dan teknik.

Terdapat juga taman botani eksperimental di daerah Tjikeumeuh, yang dapat dicapai sekitar 30 menit dari hotel. Tempat ini berfungsi sebagai lahan pembibitan dan percobaan tumbuhan guna menghadapi semua kondisi. Di sinilah pohon-pohon Kanari muda dipelihara, hingga berusia cukup untuk dipindahkan ke tempat lain. Selain itu terdapat juga hutan cagar alam di kaki gunung Gedeh. Lokasi ini memiliki luas 400 akre, dan tidak ada tumbuhan di dalamnya yang pernah sedikitpun tersentuh kapak !

Titik selanjutnya yang harus anda kunjungi adalah kawasan Kota Batoe, di kaki gunung Pangrango. Untuk mencapainya, anda bisa menggunakan pedati selama setengah jam. Di sini ada tempat pemandian (15 C.), dan peninggalan pra-Hindu yang layak anda kunjungi. Peninggalan prasejarah ini disebut sebagai artja Domas. Berupa patung-patung manusia dan binatang dalam berbagai bentuk. Struktur ini tampaknya merupakan tempat berkumpul atau melakukan pengorbanan orang-orang di masa lalu.

Arca Domas dalam bahasa sunda berarti 800 patung. Menurut legenda setempat, patung-patung tersebut merupakan penguasa terakhir Padjajarang, Sili-wangi bersama para pengikut dan keluarganya yang dikutuk Tuhan menjadi batu, karena menolak untuk mempercayai Islam.

Kisah lain kemudian muncul menyangkut bekas kaki pada suatu lempengan batu di lokasi tersebut. Konon, istri dari Poerwakali, anak Siliwangi, lolos dari kutukan setelah bersedia memeluk Islam akibat pengaruh seorang imam Arab. Namun ia tetap tidak dapat menyelamatkan suaminya yang di depan matanya sendiri berubah menjadi batu. Ia tetap setia. Ia kemudian membangun gubuk di bawah pohon waringin dekat patung suaminya. Setiap waktu ia isi dengan berdoa, menangis, memeluk, dan membisikan kata-kata lembut serta sumpah kesetiaan abadi kepada sang batu. Air matanya mengalir jatuh ke atas batu di bawah kakinya. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, sampai akhirnya batu yang diinjaknya menjadi lembut dan menjadi liat, itulah konon yang menyebabkan bekas kaki di sebuah lempeng batu di dekat pohon Waringin.

Tidak jauh dari lokasi tersebut, di perkampungan baduy, terdapat juga sebuah lokasi yang bernama arca domas dan merupakan tempat suci. Raffles menduga keberadaan situs ini berhubungan dengan sang Siliwangi. Dalam History of Java, beliau menjelaskan bahwa bahwa orang Baduy adalah sebagian keturunan kerajaan Padjadjarang yang melarikan diri saat diserang Islam.

Salah seorang dari tokoh suku Baduy tersebut, konon bernama Guru Gantang’an beserta pengikutnya konon bersembunyi ke hutan rimba yang disebut Recha Domas di gunung Gedeh. Berdasarkan legenda, eksistensi mereka kemudian “menghilang” tanpa jejak (ngahiang). Maka sejak itulah orang-orang sunda menyebut daerah tersebut sebagai Per-hiang-an, dan akhirnya menjadi dilafalkan menjadi Priangan.

Kembali ke kota, anda juga bisa menemukan situs Batu tulis, berupa prasasti bertuliskan bahsa sansekerta, yang di dekatnya terdapat sebuah jembatan bambu, dan Villa kediaman pangeran Afrika, Aqquasie Boachie, yang dikenal sebagai seorang geolog terkemuka. Anda juga dapat mengunjungi kampong Empang, kawasan etnis Arab.

Kampong Empang

Jangan lupa juga mengunjungi makam Raden saleh di Djero-kotta, lalu Monumen Jenderal Brabant yang didirikan oleh angkatan perang di dekat jembatan merah. Selanjutnya ada gereja Protestan yang didirikan tahun 1845, gereja katolik dan panti asuhan (1889), kantor pos dan telegraf dekat stasiun, dan akhirnya kawasan Eropa di Pledang dan Bondongan.

Dalam melakukan perjalanan, kalau gak mau capek, Anda bisa menggunakan sado dengan tarif 60 cent/jam atau 25 cent untuk perjalanan yang tidak melebihi 20 menit. Untuk perjalanan yang lebih dekat, anda bisa membayar minimal 10 cent kepada sang pengemudi sado. Anda juga dapat menyewa mobil dari hotel Belle Vue atau Hotel du Chemin de Ver apabila ingin menikmati suasana kota dengan lebih nyaman.

Akhir kata, saya mengutip Nellie van Kol, penulis Belanda terkenal tahun 1884 yang pernah mengatakan :

“…namun ada Buitenzorg, saya menyebutnya dessa, sungguh, dan saya mengejanya dengan kehormatan… kebun, yakni permata, mahkota, dan jantung Buitenzorg.. kebebasan… kenyamanan… pohon waringin yang keramat… keselarasan… oh, Buitenzorg, tempat impian masa kecilku.”
……………………..

NB : Peninggalan tak ternilai di Arca Domas telah tiada, kini mungkin hanya ada di musium2 luar negeri atau rumah2 orang kaya,,, tragis,,

Resources :

W. Basil Worsfold, A Visit to Java, London, 1893
Thomas H. Reid, Across the Equator, A Holiday Trip in Java, 1908
Steven Adriaan Buddingh, Neêrlands-Oost-Indië,
A. J. van der Aa, Nederlands Oost-Indië, 1849
Sir Thomas Stamford Raffles, The history of Java,
Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land
– , Java, the wonderland : [Guide and tourist’s hand book] : 1900
-, Come to Java, Batavia : 1912
Lorck, W., Isles of the East, Batavia : 1912

You may also like...

1 Response

  1. July 2, 2013

    […] Nb. Sebetulnya masih ada beberapa objek kunjungan lain dalam perjalanan ini antara lain ke kompleks makam Raden Saleh. Tulisannya bisa baca karya Asep Nendi di aleut.wordpress.com atau langsung di sini. Catatan lainnya, tentang Ki Mastanu atau Raden Tanujiwa dari Asep Nendi bisa dibaca di sini, atau tulisan Indra Pratama di sini dan Muh. Ryzki Wiryawan di sini. […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *