Momotoran Subang, 22 Desember 2023

Oleh: Tim ADP 2023

Rute Momotoran hari ini sebenarnya merupakan edisi lanjutan dari yang sebelumnya, berkeliling di wilayah Subang. Pada bagian awal perjalanan, kami mengulang jalur jalan sebelumnya, yaitu Maribaya-Cupunagara, karena ingin melihat beberapa hal yang kemarin terlewatkan akibat berbelok dadakan ke Ciwangun-Kasomalang.

Sedang tumben juga momotorannya tidak di akhir pekan, melainkan hari Jumat, karena ada beberapa agenda yang tak dapat dihindarkan pada Sabtu-Minggu pekan ini. Jadi, sudah pasti perjalanan akan terpotong sekitar satu jam oleh Jumatan di perjalanan.

CUPUMANIK COFFEE

Coffee break pertama kami lakukan di sebuah kedai kopi bergaya modern di Desa Cupunagara, namanya Cupumanik Coffee. Di sini sekalian mau nengok Cottages Cupumanik juga yang letaknya di seberang jalan, terpisah sedikit oleh kebun kopi. Minum kopi, pesan beberapa makanan dan minuman ringan, setelah itu lanjut jalan.

Perjalanan kali ini dipandu oleh Azura, karena Adit yang biasanya mengelola rute perjalanan sedang absen. Malam sebelumnya, Azura dan beberapa rekan lain sudah merancang rute perjalanan, menentukan titik-titik kunjungan, sebagai bagian dari kelas atau latihan perencanaan perjalanan di Komunitas Aleut. Jalurnya tentu sudah disesuaikan juga dengan kejaran pengalaman dari perjalanan ini. Dengan bantuan google earth atau google maps, perjalanan dilanjutkan untuk menuju Goa Jepang.

Peta digital ini rupanya sempat bercanda, karena mengarahkan kami untuk belok kiri meninggalkan jalan mulus dan masuk ke jalanan sempit naik-turun melewati perkampungan yang tidak terlalu padat. Masuk lebih dalam, sudah tidak terbedakan lagi mana jalur jalan dan mana halaman rumah warga. Yang jelas, setelah beberapa jarak, di kejauhan terlihat badan jalan aspal yang segera menyadarkan kami, bahwa sebetulnya tadi kami tidak perlu belok, karena jalan aspalnya memang nyambung ke sini, haha..

Dibandingkan dengan potongan jalur Maribaya-Cupunagara yang kebanyakan menempuh lereng bukit dan lembah dengan pemandangan perbukitan dan huta di sekitar wilayah itu, jalur Cupuagara-Cisalak ini terasa berbeda. Sebagian besar menembus hutan. Jalanan umumnya bagus, mulus, dan lebar. Jauh lebih lebar dibanding yang terlihat dalam rekaman foto perjalanan Komunitas Aleut beberapa tahun ke belakang. Dari arsip yang ada, perjalanan paling awal sudah dilakukan pada tahun 2007-2008, dan sejak itu berulang kali melewati kembali jalur ini untuk berbagai keperluan dan kegiatan komunitas.

Sisi kiri jalan umumnya tebing-tebing yang menjulang tinggi, kebanyakan tebing tanah merah, pada beberapa bagian ada juga tebing batu atau semacam itu. Sisi kanan, umumnya jurang yang cukup dalam, namun tidak terlalu terlihat karena rimbun dan lebatnya pepohonan dan tumbuhan lainnya. Saat memeriksa lebih dekat, ternyata di balik rimbunan pohonan ini terhampar lembah dan kompleks perbukitan yang luas. Mungkin sisi lain dari Gunung Canggah yang sisi sebelahnya sudah kami lalui sampai tiba di Cupunagara tadi.

Cupumanik Coffee di Desa Cupunagara, Subang. Foto: Komunitas Aleut.

GOA JEPANG

Di tengah jalan ini kami berhenti sebentar untuk melihat sebuah gua di bawah tebing di sisi kanan jalan. Mulut guanya kecil, sehingga harus menundukkan badan saat hendak masuk. Di bagian atas mulut gua tertulis “Goa Jepang”. Menuju bagian dalam yang tidak terlalu dalam, kami harus agak merangkak. Di salah satu sisi dalam gua terpasang karton (?) berisi informasi tentang gua ini.

Di seberang gua, pada tikungan jalan di atas tebing, ada bekas konstruksi, mungkin semacam tembok pelindung berbahan batu kali yang sudah rusak sebagian. Bisa jadi tembok atau benteng tersebut merupakan bagian dari gua ini. Dari cerita yang kami dengar, dulunya di daerah ini tidak hanya ada satu gua, paling sedikit ada tiga, tapi entah di mana lokasi dua gua yang lainnya.

Goa Jepang yang kondisinya sudah lebih rapi dibanding dua tahun lalu. Di depannya diberi signage juga. Foto: Komunitas Aleut.
Kudu merunduk di dalam Goa Jepang. Foto: Komunitas Aleut.

Tidak jauh dari Goa Jepang, kami berhenti sejenak mengamati sebuah spot dengan tangga batu dan bangunan-bangunan kayu di atasnya. Di depan ada plang bertuliskan “Curug Cipangli” dan pada bangunan kayu di atas ada tulisan “Warung Batarua”. Ooohh rupanya ada curug di belakang sana, di balik hutan. Yang cukup menarik bagi kami malah nama Batarua, jarang sekali kami mendengar nama ini digunakan. Yang selama ini sudah sering kami datangi adalah kampung Cibatarua di sebelah tenggara perkebunan Malabar, Pangalengan, walaupun sering bervariasi juga penyebutannya dengan Cibutarua.

MAKAM ASTANA GEDE GOMATI

Jalanan mulus terus sampai mendekati jalan keluar di Cisalak. Tapi sebelum itu, Azura di depan sudah belok kanan, masuk ke jalan tanah yang mengarah ke sebuah lapangan. Lalu melipir gang, dan meniti jalur jalan beton yang hanya bisa dilalui oleh sebuah motor. Setelah itu bermuara di jalan raya Cisalak, lalu lanjut ke arah timur, mengarah ke Alun-alun Cisalak. Sebelum Alun-alun, kami belok kanan, masuk jalanan kampung yang sudah dibeton. Mula-mula menurun, lalu menanjak curam. Di tengah tanjakan ini terhampar permakaman yang cukup luas di sisi kiri dan kanan jalan.

Di sinilah letak tujuan kami berikutnya, yaitu makam seorang tokoh yang namanya terpahat pada tugu di sebrang Pabrik Teh Bukanagara, Raden Rangga Martayuda. Disebutkab bahwa beliau bersama dengan T. B. Hofland, membuka atau membuat Jalan Pedati pada tahun 1847. Jalan Pedati yang dimaksud adalah jalur jalan dari Cisalak sampai ke kawasan pabrik di Bukanagara.

Dari seorang ibu yang kebetulan lewat, kami mendapatkan informasi lokasi persis makam Martayuda. Dari sisi jalan sudah ada jalur tangga dan di ujung atas sana, terlihat sebuah bangunan. Di situlah beliau dimakamkan. Satu per satu kami meniti tangga sambil mengamati lingkungan sekitar yang terlihat sangat bersih. Sambil lewat juga kami perhatikan nama-nama pada nisan. Seorang rekan di belakang terdengar bergumam, “Kayanya ini kompleks makam bangsawan ya, dari nama-namanya kelihatan.”

Makam Raden Rangga Martayuda yang berada di dalam bangunan. Foto: Komunitas Aleut.

Ternyata makamnya berada di dalam bangunan di puncak. Pintu besinya dalam keadaan terkunci dan sedang tidak ada siapa-siapa di sekitar. Sebenarnya di salah satu lembar informasi yang tertempel di dinding luar bangunan ada cukup banyak informasi tentang makam tersebut, termasuk nomor-nomor kontak yang bisa dihubungi. Saat berada di makam Martayuda ini baru kami tahu bahwa nama kompleks makam ini adalah Astana Gede Gomati Cisalak.

Pada nisan kanan makam tertera tulisan Latin “Tanda Ingat-an / Raden Marta-Youda,” di bawahnya ada angka tahun 1856 dan 1272. Sedangkan dari nisan di sebelah kiri hanya terbaca 22 Djoelie 1873, tulisan lainnya agak sulit dibaca dari luar. Di lembar informasi di dinding luar juga ada silsilah Martayuda, namun tidak disertai angka tahun.

Sekadar buat menambah bacaan, dari sebuah buku catatan perjalanan yang berjudul Drie Reisschetsen dan ditulis oleh Jan Ten Brink (terbit 1894)  kami mendapatkan kisah berikut:

Namun, sebelum kami mengikuti jalan setapak yang luas dengan pohon-pohon beringin raksasa, Rahden Madia Kesoemah memimpin kami ke arah kanan ke jalan kecil dan segera kami menemui lapangan rumput yang luas, di tengahnya adalah ketinggian yang disebutkan sebelumnya. Dengan minat khusus, saya mengikuti Demang yang telah menyuruh orang-orangnya turun dari kuda dan memanjat ketinggian ini dengan cepat. Saya baru saja mendengar bahwa kami akan mendaki bukit kuburan Rahden Ranga Martayoeda dan mengunjungi monumen ini yang didirikan oleh tuan tanah sebagai penghargaan yang pantas. Rahden Madia Kesoemah sudah turun dan menunggu sampai kami bergabung di sisinya. Kemudian dia naik dengan perlahan dan sangat serius ke pintu masuk makam. Itu sendiri dirancang dengan sangat baik dan sederhana.

Sebuah teras kecil yang terbuat dari batu bata putih yang dirawat dengan baik, dengan sebuah meja marmer yang ditinggikan dengan tulisan dalam huruf Jawa dan Arab yang emas, menjadi seluruh monumen itu. Namun, angin pagi berdesir dengan sangat serius di sana, dan ada keheningan yang suci di sekelilingnya, seolah-olah atapnya yang terbuat dari atap rumbia adalah kubah gothik yang megah, seolah-olah nada organ yang merdu memainkan rekuiem sedih di atas batu nisan bangsawan Soendanese yang luar biasa. Hal itu juga dipengaruhi oleh pemandangan yang indah yang mengelilingi bukit kuburan ini dari segala penjuru. Rahden Ranga Martayoedah tidak berkeliling distriknya selama empat puluh tahun tanpa alasan. Ketika ia meninggal, ia menunjukkan bukit Tjisalak sebagai tempat di mana ia ingin reliknya beristirahat dengan tenang. Rasa terima kasih penduduk segera menjadikan tempat tersebut suci; penghormatan dari tuan tanah membangun sebuah monumen di sana.

Pemandangan dari puncak bukit ini memang sangat indah. Cakrawala ditutupi oleh dinding pegunungan yang lembut dari segala arah, dengan warna ametis yang halus yang menyatu perlahan dengan biru langit yang murni. Di barat yang paling jauh, kini muncul puncak Tangkoeban Prahoe yang agak pipih. Dari kawahnya, awan asap yang tidak bergerak naik dengan warna putih yang cerah, yang membuat sayap burung camar yang cepat bergerak bersinar ketika ia bergerak gelisah di langit yang kelam mendung. Tidak jauh dari bukit kuburan, hutan kelapa yang lebat, pohon beringin yang sepi, dan palem areca yang anggun mulai muncul, yang menyelimuti desa Tjisalak dengan bayangan yang hangat. Di bawah kaki Anda, ada sebuah kolam air yang lebar, yang sebagian merefleksikan sinar matahari dengan cahaya yang menyilaukan, sebagian lagi menawarkan cermin yang jernih dari langit biru. Di tepi kolam ini, pengawal Demang turun. Hijau cerah dari padang rumput dan seragam merah menyala dari pasukan kehormatan dengan topi pelindung yang aneh namun efektif, dengan dua penjaga depan yang membawa bendera Belanda kecil di tombak mereka, semuanya bersama memberikan kesan penuh warna dan garis-garis yang menarik pada pemandangan keseluruhan, yang menginspirasi jiwa seniman dan bahkan meninggalkan kesan yang tak terlupakan pada orang awam.

Ada dua hal terutama yang menarik minat saya ketika saya berada di makam Rahden Ranga. Saya mencari arti dari tulisan di batu nisan, yang menunjukkan penghargaan dari tuan tanah, dan bertanya tentang tujuan dari berbagai jenis persembahan, seperti keranjang buah-buahan dan hidangan lainnya, yang diletakkan dengan penuh rasa hormat di tangga-tangga teras. Melalui upaya baik dari Tuan J. T. HOFLAND, saya kemudian menerima salinan teks yang diukir dalam huruf Jawa dan Arab pada batu nisan marmer, yang reproduksi yang terlampir memberikan salinan yang setepat mungkin.

Arti dari persembahan buah-buahan di tangga-tangga makam menjadi jelas bagi saya ketika saya mengetahui seberapa tingginya penghargaan bagi kenangan Rahden Ranga Martayoedah di seluruh distrik. Dia telah memerintah Batoe-Sirap dengan keadilan dan bakat. Tidak pernah penduduk distrik ini mengeluhkan tindakan kekerasan selama pemerintahannya yang lama. Sebaliknya, reputasi kebijaksanaan dan keberadaannya telah menjadi semakin kuat di mata rakyat. Sang tuan tanah menganggapnya sebagai tindakan yang adil untuk mendirikan monumen sederhana dengan tulisan sederhana di tempat yang ditunjuk oleh si pria yang sekarat. Pada tahun 1847, Demang sudah menerima penghargaan berupa batu kenangan dengan inskripsi yang sesuai dari Tuan T. B. HOFLAND, pada saat itu tuan tanah Pamanoekan dan Tjassem Provinsi, untuk jalan baru dari Boeka-Negara ke Bandung – sebuah pencapaian luar biasa dari kepala distrik yang berbakat.

Sayang waktunya sedang mepet, kami tidak bisa menelusuri informasi lebih jauh, karena harus segera beranjak lagi menuju masjid di Alun-alun Cisalak. Rekan-rekan akan segera melaksanakan salat Jumat di sana. Sementara itu saja dulu tentang Raden Rangga Martayuda.

SUBANG KOTA

Berikutnya, kami ke Alun-alun untuk Jumatan dan makan siang jajanan yang ada di sekitarnya. Oya, di salah satu sisi Alun-alun ada monumen juga. Di keempat sisinya ada relief bergambar pertempuran pada masa revolusi kemerdekaan yang terjadi di sekitar Cisalak. Tentang peristiwa ini, dapat dibaca detailnya di tulisan serial Komunitas Aleut dengan judul “Sekitar Bandung Lautan Api.” Pada bagian puncak monumen ada ornamen yang sepertinya menggambarkan ekor roket atau bom. Komunitas Aleut pernah menuliskan bagian-bagian pertempuran di kawasan ini, salah satunya dapat dibaca di https://komunitasaleut.com/2023/04/12/sekitar-bandung-lautan-api-bandung-utara-bagian-1/?preview_id=11432&preview_nonce=da2915eaa9&preview=true.

MUSEUM DAERAH KABUPATEN SUBANG

Setelah jajan-jajan di sekitaran, selanjutnya kami mengarah ke Kasomalang, lalu belok ke arah Kumpay, dan di perkebunan sawit, ambil jalan ke kanan menuju Cikadu, melewati kebun buah naga. Jalanan di sini relatif bagus, walaupun ada beberapa bagian yang rusak juga, tapi secara umum mah lancar dan asik suasananya. Jalur ini dipilih agar tidak terlalu banyak mengulang jalur yang sudah kami tempuh dua minggu lalu. Dari sini tembusnya langsung dekat Subang kota yang merupakan tujuan kami berikutnya.

Tujuan pertama di pusat kota ini adalah bekas gedung societeit yang sekarang dijadikan museum. Sebagaimana yang dapat diharapkan dari sebuah museum, banyak hal menarik di dalam. Ruang-ruang dan panel-panel tersusun berdasarkan kronologi sejarah. Tidak semua dapat kami perhatian dengan seksama, jadi lebih banyak memotret untuk dokumentasi saja. Itu pun lumayan memakan waktu, rasanya lebih dari satu jam kami berada di dalam museum ini.

Yang pasti, bakal terlalu banyak bila harus menceritakan isi museum, mungkin untuk tulisan lain saja. Oya, yang agak mengherankan, kami tidak melihat plang nama museum di sini, atau apakah terlewat? Mungkin ada yang tahu?

Museum Daerah Kabupaten Subang. Foto: Komunitas Aleut

KERKHOFF SUBANG

Dari museum kami beranjak ke lokasi berikutnya, yaitu mausoleum P. W. Hofland di Cigadung, yang letaknya bersebrangan dengan TPU Dunguswiru. Bila dihitung dari angkatan terdahulu, sebenarnya kami sudah cukup sering menyambangi makam ini, walaupun dari yang terakhir sampai sekarang rasanya berjarak waktu cukup lama. Dalam kunjungan terakhir itu konon kondisi kompleks makam tidak terlalu rapi, banyak alang-alang tinggi, dan makam-makam Belanda umumnya tersembunyi di balik rimbunnya alang dan semak.

Dalam kunjungan hari ini, kondisinya sudah sangat berbeda. Kompleksnya lebih rapi dan terawat. Mausoleum Hofland yang sebelumnya hanya berupa puing-puing sudah diperbaiki, bahkan diberi patung Hofland pula di atasnya, dengan landasan tugu yang mirip dengan yang kami lihat di Tenggeragung dalam kegiatan momotoran ke Jagernaek beberapa waktu lalu. Jadi, walaupun disebut replika, tapi tidak benar-benar serupa dengan kondisi patung lama yang dulunya terletak di depan societeit seperti terlihat pada foto di bawah ini. Oya, di belakang mausoleum ini juga ada makam Hofland lain, yaitu M. George Hermanus Hofland, lahir 31 Agustus 1828, wafat 10 Agustus 1866.

Di depan mausoleum ada prasasti yang menjelaskan bahwa patung yang kami lihat ini adalah replika dengan keterangan: “Replika – Patung P.W. Hovland dan istri. Dibuat: Tgl 31 Juni 2018.” Entah kenapa penulisan nama Hofland menjadi Hovland, dan apakah pembuatannya memang berlangsung pada satu hari itu saja? Kami kurang paham juga.

Sekelompok pengunjung societeit berfoto di depan patung P. W. Hofland. Foto: KITLV.

Di bagian lain kompleks makam ini masih dapat ditemukan beberapa makam tua orang-orang Eropa dahulu, walaupun sebagian besar kondisinya sudah rusak, dan beberapa sudah tidak memiliki nisan sebagai identitasnya. Kami coba periksa satu per satu sambil membuat juga dokumentasi fotonya. Ya siapa tahu ada informasi tercecer di internet sana tentang nama-nama yang dimakamkan itu.

Ada dua makam yang menarik perhatian karena berangka tahun sebelum 1900, yaitu C. Granpre Moliere, bayi yang baru berumur seminggu, lahir 13 Oktober 1882 dan wafat 20 Oktober 1882. Satu lagi atas nama Johannes Jacobus Haag, bayi berumur kurang dari seminggu, lahir 28 Mei dan wafat 2 Juni 1883. Kedua makam ini bentuknya cukup mewah dibanding makam lainnya. Bangunannya seperti monumen, bahkan makam kedua itu mengingatkan pada makam Spellwijk di Banten.

Mausoleum Hofland. Foto: Komunitas Aleut.

Bergerak lagi. Kali ini menyusuri Jalan Ade Irma Suryani Nasution, melihat beberapa bangunan tua di sini, lalu mampir ke sebuah gedung yang bernama Grant House. Mungkin dulunya ini sebuah landhuis yang sudah diperbaiki. Di sisi kanannya masih terdapat rumah tua yang sudah berupa puing-puing saja, menunggu runtuh. Kami sempatkan mengelilingi bangunan-bangunan ini. Setelah itu kami beranjak pelan mengitari Alun-alun sebelum mengarahkan kendaraan menuju lokasi berikutnya, yaitu PLTA Gunung Tua.

Jalur tempuh dari kota ke Gunung Tua sungguh lancar karena jalan besar dan sangat mulus. Jalan potong melewati perkampungan pun mulus-mulus saja, baru ketika mendekati kawasan PLTA kami dihadapkan pada jalanan makadam yang kondisinya sudah hancur lebur. Batu-batu jalanan berlepasan membuat ban motor terbanting-banting, apalagi jalanannya terus menurun membuat motor ngageleser terus ke bawah. Yang terasa lebih berat lagi adalah pikiran tentang bagaimana nanti jalan kembalinya ke atas? Menanjak terus dengan kondisi jalanan seperti ini?

PLTA Gunung Tua di Cijambe. Foto: Komunitas Aleut.
PLTA Gunung Tua di Cijambe. Foto: Komunitas Aleut.

TITIM FATIMAH

Tujuan terakhir ini sebetulnya selalu ada dalam setiap kunjungan ke Subang, tapi ternyata selalu saja gagal kami kunjungi karena masalah waktu dan lokasi yang sering tidak cocok, tempat ini adalah TPU Istuning di Jalancagak. Kami hanya merasa harus menyempatkan mendatangi kompleks permakaman ini, karena di sinilah seorang sinden legendaris dimakamkan, beliau adalah Titim Fatimah.

Dalam kegiatan mendokumentasikan dan mendigitalkan rekaman-rekaman musik Sunda, nama Titim Fatimah selalu hadir. Rekamannya cukup banyak, walaupun kondisi medianya, yaitu kaset pita, seringkali sudah tidak bagus lagi. Jadi, selama beberapa tahun belakangan ini nama beliau memang cukup akrab bagi kami. Suaranya yang unik dan khas itu sering menjadi dengaran harian saat sedang merekam ulang, transfer ke format digital, perbaikan audio, dlsb.

Titim Fatimah dilahrikan di Deli, Sumatra Utara tahun 1938, namun pada usia lima tahun sudah kembali bersama ayahnya, Damri Sumarta, ke kampung halamannya di Jalancagak, Subang. Selain sebagai sinden atau penyanyi, kiprahnya yang juga luar biasa adalah mendirikan sebuah sekolah yang sekarang bernama SDN Titim Fatimah. Pada masa jayanya beliau justru mengingat pentingnya pendidikan dan mendirikan sekolah untuk warga sekitar kampung halamannya dan dengan biayanya sendiri. Sebagaimana kebanyakan nasib seniman daerah yang jarang sekali dituliskan, begitu juga Titim Fatimah, sulit sekali mencari informasi yang memadai tentang beliau. Tidak ada biografi yang meyakinkan, hanya tulisan-tulisan pendek yang diulang-ulang oleh berbagai media di internet. Mencari di buku-buku pun tidak banyak membantu. Museum yang tadi kami kunjungi sebetulnya menyediakan satu spot untuk Titim Fatimah, tapi baru berisi sebuah lukisan saja dan tanpa informasi apa-apa, bagian lainnya masih kosong melompong, mungkin masih dalam perencanaan.

Beberapa lagu dari Titim Fatimah dapat disimak di sini https://www.youtube.com/watch?v=jZuZ23SEaEU&list=PLD3le_fo3giGE1d5-1HWFMQq8z_Kd6L0x

Makam Titim Fatimah di TPU Istuning, Jalancagak, Subang. Foto: Komunitas Aleut.
SDN Titim Fatimah di Jalancagak, Subang. Foto: Komunitas Aleut.

Okey, dicukupkan sampai sini dulu saja catatan perjalanan ke wilayah Subang ini. Mungkin ada bagian-bagian detil yang akan ditulis terpisah nanti. Sampai jumpa. ***

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *