Ikut Muludan di Batukarut dan Rancakalong
Oleh Deuis Raniarti
Selepas dari masa pandemi yang berlangsung sejak dua tahun lalu, sekarang sudah mulai banyak kegiatan offline atau luar ruang dilakukan oleh masyarakat, sekalipun tetap masih ada aturan tertentu, seperti disiplin dan penggunaan perangkat prokes.
Karena kondisi yang sudah lebih longgar itu pulalah belakangan ini Komunitas Aleut mulai banyak mengadakan dan mengikuti kegiatan luar ruang. Selain permintaan beberapa materi tour sejarah dari beberapa lembaga, kami juga mengikuti beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak-pihak lain. Kebetulan pula ada beberapa kegiatan yang cukup menarik perhatian kami, mulai dari Dieng Culture Festival pada awal bulan September lalu, sampai kegiatan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW atau muludan di dua lokasi berbeda.
Tulisan ini hanya terkait dua kegiatan paling akhir kami ikuti saja, yaitu muludan, masing-masing di Bumi Alit Kabuyutan di Banjaran, dan Seni Ormatan Tarawangsa di Rancakalong Sumedang. Dua kegiatan ini yang membuat aku kali ini tidak pulang ke Cianjur dan merayakannya bersama keluarga di kampung.
- Bumi Alit Kabuyutan
Minggu, 9 Oktober 2022. Aku mengikuti kegiatan Komunitas Aleut, Momotoran Sejarah Perkebunan Teh di Bandung. Tujuan momotoran ini untuk mengenalkan kawasan perkebunan swasta paling awal di sekitar Bandung, sambil mencoba menyusuri jalur-jalur jalan yang digunakan pada masa itu.
Kebetulan sekali jadwal momotoran ini bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW dan pada saat yang sama ada satu kelompok masyarakat yang akan mengadakan acara peringatannya di jalur jalan yang kami lalui. Kami sesuaikanlah rangkaian perjalanan agar sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Pagi-pagi usai bagian awal Momotoran Sejarah Perkebunan, kami langsung parkirkan semua motor di sekitar Situs Bumi Alit di Batukarut, Lebakwangi, Banjaran. Perayaan Muludan di Situs Bumi Alit Kabuyutan biasanya diawali pagi hari dengan pemandian pusaka dan perangkat gamelan Embah Bandong di bangunan bilik bernama Bumi Alit. Selanjutnya, acara berpindah ke bale, dimulai dengan sambutan, lalu pembacaan do’a, dan diakhiri dengan makan bersama. Saat makan bersama, perangkat gamelan Embah Bandong akan dimainkan.


Pagi itu kami tiba di Situs Bumi Alit Kabuyutan pukul sembilan, dapat dipastikan kami tidak kebagian melihat prosesi pemandian pusaka. Saat tiba di area situs, beberapa pemuka warga tengah bergiliran memberi sambutan. Ini bukan kali pertama aku ke Situs Bumi Alit, beberapa bulan sebelumnya, aku dan beberapa teman juga mengunjungi tempat ini. Waktu itu sangat sepi, hanya ada seorang penjaga yang tengah menyapu dedaunan di sekitar bale. Kondisi tersebut kontras dengan hari ini. Warga Batukarut dan sekitarnya tumpah ruah memenuhi tempat ini. Mereka duduk beralaskan karpet atau terpal bersama anggota keluarganya masing-masing.
Karpet-karpet plastik digelar di atas tanah di halaman bale yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar yang sudah berusia tua. Kulihat ada banyak wadah yang ditutupi kain atau daun pisang. Aku yang penasaran langsung bertanya pada Nuke dan Ana, rekan seperjalanan hari ini. “Itu jualan apa ya? Penasaran, pengen beli.”


Aku menghampiri salah satu penjual gorengan yang berada di belakang, tak jauh dari sana kembali kulihat ada wadah tertutup dan juga rantang. Setelah bertanya, rupanya wadah itu berisi bekal yang masing-masing keluarga siapkan untuk dimakan bersama pada akhir acara. Setelah diperhatikan lebih jauh, ternyata memang wadah itu ada di antara banyak keluarga yang tengah berkumpul. Pantas saja, rupanya memang seperti itu tradisinya.




Pukul setengah sebelas setelah pembacaan do’a selesai, seluruh warga yang hadir segera menyantap bekal yang sudah berada di depan mereka sejak tadi pagi. Gamelan Embah Bandong mulai dimainkan dan sebagian rekan sudah berada di atas panggung juga untuk merekam audio dan video, ya sebisanya saja, untuk arsip pengalaman. Aku dan beberapa teman lain yang baru pertama kali muludan di sini menikmati apa yang baru kami lihat ini. Saat sedang mendokumentasikan kegiatan, beberapa warga menawari kami ikut makan bersama, kami pun bergabung dan berbaur dengan warga. Menyenangkan sekali dapat larut dengan warga dan mengalami tradisi tahunan ini secara langsung.
2. Tarawangsa di Rancakalong
Hari Selasa kemarin, aku bangun siang sekali. Sembari melangkahkan kaki menuju kamar mandi, suara tarawangsa sesekali masih terngiang di telingaku. Ya, tentu semua itu bukan tanpa alasan. Semua bermula ketika malam sebelumnya kami mengikuti salah satu rangkaian kegiatan muludan di Rancakalong. Kami di Komunitas Aleut sudah cukup sering ngobrol dan membahas pengalaman mengikuti pergelaran tradisional tarawangsa di Rancakalong, Sumedang. Setelah vakum dua tahun akibat pandemi, akhirnya kesempatan untuk menyaksikan tarawangsa itu datang lagi. Kami berangkat dari sekretariat pada hari Senin malam selepas magrib dan tiba di kediaman Emih Entin sekitar pukul delapan malam. Saat itu acara baru saja dibuka dengan sambutan dan do’a untuk warga dan para leluhur. Kami ikut masuk ke ruangan tengah rumah Emih Entin, tempat seluruh acara diselenggarakan.

Acara selanjutnya adalah Seni Ormatan Tarawangsa yang ditampilkan oleh kelompok Sasaka Bangun Jaya. Pergelaran ini diawali oleh seorang saehu pameget (sesepuh pria) yang mulai ngibing, dari gerakan yang lambat menuju gerakan yang semakin cepat mengikuti irama musik tarawangsa. Setelah selesai, kini giliran para saehu perempuan yang mulai ngibing. Selanjutnya, siapapun yang hadir pada saat itu bisa ikut ngibing, pertama adalah perempuan, lalu setelahnya giliran laki-laki.
Aku mengajak Annisa untuk ikut ngibing bersama para ibu-ibu di sana, sebelumnya, kami memperhatikan terlebih dahulu gerakan tariannya seperti apa. Tarian dalam tarawangsa memang tidak ada koreografi khusus, tapi tetap saja sulit bagiku yang tidak biasa bergerak lentur dan menyesuaikan dengan irama musik. Selama tarawangsa berlangsung, dengan alunan musik yang sama, setiap orang mengeluarkan reaksi yang berbeda-beda. Tarawangsa seperti jadi media penyaluran ekspresi setiap emosi. Ada yang fokus menikmati alunan musik, ada yang riang gembira, ada yang tampak sedih, dan ada yang sampai tidak sadarkan diri.

Waktu sudah menunjukan pukul setengah satu malam, asap dari pembakaran kemenyan dan sekar semakin memenuhi setiap sudut ruangan. Kini, giliran laki-laki yang ngibing. Jumlah orang yang ngibing dalam satu lagu tidak dibatasi, berapa pun dipersilakan. Mungkin karena acara ini adalah acara rutinan, maka warga secara otomatis saja bergiliran dengan jumlah yang terasa tak terlalu sedikit atau terlalu banyak, menyesuaikan dengan luas ruangan yang juga tidak terlalu besar. Tarawangsa ini digelar semalaman sampai mendekati waktu subuh.
Acara malam ini didominasi oleh para orang tua dan sepuh, hanya sedikit saja anak muda yang datang. Jumlah tamu pun terlihat tidak terlalu banyak. Kedatangan kami sedikit menyita perhatian mereka, karena ada anak-anak muda yang bukan dari dusun mereka datang untuk menyaksikan kegiatan ini. Warga di sini menyambut dengan ramah, dan memperlakukan kami dengan baik. Selama kegiatan berlangsung setiap orang mengajak kami bergabung dalam rangkaian kegiatan ini, menawarkan camilan dan juga makanan, serta menyarankan kami agar berhati-hati saat pulang nanti. Rasanya seperti berada di kampung sendiri. Lagi-lagi ini adalah pengalaman yang menyenangkan dapat berbaur dengan warga dan mengikuti rangkaian tradisi masyarakat di daerah lain.

Begitulah pengalamanku ikut muludan di kampung orang, bahkan sampai dua hari berturut-turut di daerah yang berbeda, Lebakwangi, Banjaran, dan Rancakalong, Sumedang. Banyak hal baru yang kutemui, beragam cara yang dilakukan selama muludan menjadikan setiap daerah punya ciri khasnya masing-masing. Semoga masih diberi umur panjang untuk menyaksikan banyak hal, dan belajar lebih banyak lagi.
***