Dongeng Bandung #4: Ngaleut Pendopo

Oleh: Dongeng Bandung

Pendopo Kota Bandung, Sabtu, 28 Juni 2025

Tidak perlu tinggal terlalu lama di Kota Bandung untuk mengalami bagaimana kota ini berubah dengan cepatnya. Yang baru tinggal satu-dua tahun belakangan saja mungkin sudah dapat menyampaikan hal-hal yang hilang, tumbuh, berganti, selama tinggal dalam waktu yang singkat itu. Perubahan pesat seperti ini sudah dimulai sejak dekade pertama tahun 1900-an ketika Bandung dipersiapkan untuk menjadi ibu kota Hindia Belanda menggantikan Batavia yang keadaan lingkungannya dianggap sudah semakin buruk.

Memasuki dekade kedua, Kota Bandung mengalami pembangunan fisik besar-besaran. Komplek-kompleks perumahan dibangun di mana-mana mengisi ruang-ruang yang masih dianggap kosong atau persawahan yang masih membentang luas di seantero kota. Seperti apa kosongnya, mungkin bisa dikutipkan satu cerita dari buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (Haryoto Kunto, Granesia, 1986). Pada tahun 1934, Pangeran Paribatra Sukhumbhand menjalani pengasingan di Kota Bandung setelah terjadinya kudeta di Kerajaan Thailand. Di kota ini Paribatra memilih satu lokasi di tengah persawahan di ujung utara Jalan Cipaganti sekarang dan dengan bantuan arsitek van Lugten mendirikan rumah-villa di sana. Diceritakan bahwa dari teras rumah itu orang masih dapat samar-samar melihat puncak Pendopo Kabupaten dan menara Masjid Agung di Alun-alun. Pengalaman seperti cerita ini sudah lama tidak mungkin dialami lagi oleh warga kota karena pembangunan fisik yang pesat, terutama setelah masa kemerdekaan.

Salah satu kawasan yang cukup sering mengalami perubahan fisik adalah Alun-alun Bandung, sampai dalam waktu yang lama ada ungkapan bernada pasrah dalam masyarakat Bandung: Ganti walikota, ganti wajah Alun-alun. Pasrah, karena hanya beredar dalam bentuk pemahaman saja, tidak ada nada protes atau melawan. Pasrah, karena sadar tidak dapat berbuat apa-apa. Pasrah, bahkan ketika akhirnya beberapa tahun lalu Alun-alun bahkan hilang dari kota Bandung. Selain itu, terjadi juga pengaburan makna dengan dibangunnya paling sedikit dua Alun-alun lain di Kota Bandung, satu di Cicendo dan satu di Regol.

Ngaleut Pendopo hari ini dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan “Cerita Fest” yang diselenggarakan di Microlibrary Asia-Afrika. Ada dua jadwal kegiatan Ngaleut dengan tema yang sama dalam sehari itu. Yang pertama mulai pukul 14.00 dan yang kedua mulai pukul 16.20. Rutenya pendek saja, dimulai dari Microlibrary Asia-Afrika, lalu ke Alun-alun yang sekarang sudah menjadi bagian atau halaman Masjid Agung dan sejak tahun 2001 nama resminya sudah berganti menjadi Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat – walaupun masyarakat umum masih menyebutnya sebagai Masjid Agung – kemudian ke area dalam Pendopo, dilanjutkan ke gedung bekas Bioskop Dian, dan kembali ke Microlibrary.

Dongeng Bandung #4-1. Foto: Annisa Almumfahannah/Komunitas Aleut.

Belakangan ini kami sedang mengumpulkan catatan-catatan mengenai Pendopo Bandung, sejak masa kabupaten hingga saat ini. Beberapa informasi yang mungkin belum banyak dibicarakan orang adalah bahwa pada dekade awal tahun 1900-an ternyata salah satu bangunan di kompleks Pendopo Bandung pernah difungsikan sebagai “Bale Kabudayaan Priangan.” Di bangunan ini dipajang benda-benda bersejarah dan hasil kebudayaan dan diperagakan untuk masyarakat umum. Lebih kurang konsepnya seperti sebuah museum. Sayangnya benar-benar minim sekali catatan mengenai hal ini, bahkan sulit sekali mencari informasi mengenai kapan bale ini didirikan, apa saja aktivitasnya, dan kapan berakhirnya.

Pada dekade berikutnya, konsep semacam Bale Kabudayaan Priangan ini pernah juga direncanakan di kawasan Bandung Utara, persisnya di kawasan Curug Dago, oleh Bandoengsche Comite tot Natuurbescherming (Komite Perlindungan Alam Bandung) yang diketuai oleh Dr. W. Docteurs van Leeuwen. Komite ini berencana untuk mengkonservasi seluruh wilayah Bandung Utara dengan mendirikan Soenda Openlucht Museum (Museum Alam Terbuka Sunda). Bahkan, dana awal untuk menjaga kelestarian lahan hijau Kota Bandung ini sudah terkumpul sebesar tiga ribu gulden. Dalam tulisannya, Haryoto Kunto menutup pembicaraan mengenai rencana besar komite yang hal-ihwalnya masih samar ini dengan:

“Sayang, sejarah kemudian membuktikan, bahwa manusia-manusia penghuni Kota Bandung yang datang kemudian, cuma bisa mewarisi bangunan kota beserta segenap isinya, tanpa sanggup meneruskan semangat dan kearifan dari para pendiri “Komite Bagi Perlindungan Alam di Bandung”.

Hal yang sama terjadi juga dengan kawasan Pendopo dan Alun-alun Bandung. Semangat dan kearifan untuk pemeliharaan, perawatan, penjagaan kelestarian lingkungan yang sudah dirintis oleh para pendahulu dalam pengembangan kota Bandung sejak awal abad ke-19 tampak semakin terkikis. Mungkin ada yang ingat bahwa pada tahun 1980-an Pendopo Bandung pernah ditawar-tawarkan mencari peminat serius? ###

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *