Dongeng Bandung #1 (2) : Junghuhn – Bukan Hanya Kina

Oleh: Dongeng Bandung

Tulisan berikut ini bukan milik kami, karena hanya merupakan salinan dari salah satu bab buku Bianglala Sastra; Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia karya Dick Hartoko (Penerbit Djambatan, 1985). Bab yang disalin ini berjudul “Bukan Hanya Kina,” satu tulisan mengenai Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1879). Seperti juga pada bab-bab lainnya yang menuliskan riwayat singkat tokoh-tokoh penulis Hindia Belanda ini, setiap bab tersebut memuat juga cuplikan pendek karya tulis dari tokoh bersangkutan dan diberi tanda “Fragmen”. Untuk Junghuhn, fragmennya diambil dari buku Jawa Jilid 1.

Dick Hartoko, yang namanya tercantum pada sampul buku ini juga sebenarnya bukanlah penulis murni buku ini, karena isinya sebenarnya merupakan penulisan kembali buku lain yang berbahasa Belanda, yaitu Oost-Indische Spiegel karya Rob Nieuwenhuys (Em. Querido’s Uitgeverij, BV, Amsterdam, 1972). Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam buku ini lebih mengutamakan yang memiliki minat pada bidang sastra dengan alasan bahwa mata seorang sastrawan sering kali lebih tajam daripada lensa seorang ilmuwan; bahwa mereka dapat lebih mendalam menghayati obyeknya, sehingga hasilnya bukan semata khayalan, melainkan hasil simpati dan empati karena turut menderita dan merasakan nasib rakyat yang dilukiskannya.

Kisah penulisan ulang buku karya Rob Nieuwenhuys ini dimulai dengan Sub-Panitia Pelaksana Perjanjian Kebudayaan Indonesia-Belanda pada tahun 1974 yang menanyakan kepada Dick Hartoko, apakah sanggup menerjemahkan atau menyadur isi buku Oost-Indische Spiegel. Yang mula-mula dilakukan adalah memilah isi buku berdasarkan relevansinya untuk kalangan pembaca Indonesia. Tidak semua isi dari karya asli, Oost-Indische Spiegel, dituliskan kembali, melainkan dipilih dengan kriteria a) turut mempengaruhi arus sejarah bangsa Indonesia, b) memberikan informasi mengenai sejarah bangsa, c) empati atau penghayatan mengenai alam dan masyarakat Indonesia, dan d) secara obyektif bermutu sastra.

Untuk keperluan pekerjaan ini, Rob Nieuwenhuys turut mengupayakan agar Dick Hartoko dapat berangkat ke Belanda dan mengadakan konsultasi langsung dengannya dengan tinggal di rumah Rob di Pondok Baru, Frisia Selatan. Rob memberikan keleluasaan penuh kepada Dick dalam pekerjaan ini, artinya, ada kebebasan untuk merombak, menyadur, dan mengubah buku aslinya, asal hasilnya menjadi cukup menarik bagi para pembaca di Indonesia saat itu. Jadi tak perlu heran bila satu waktu nanti membaca buku asli karya Rob dan membandingkannya dengan karya Dick ini, ditemukan ketidaksesuaian dengan buku asalnya, Oost-Indische Spiegel.

Bukan Hanya Karena Kina

F.W. Junghuhn (1809-1864)

Hiduplah dengan dirimu sendiri. Jangan bergaul dengan seorang pun. Jangan campuri urusan tetek-bengek dan intrik. Jangan turut berkaok-kaok dengan orang-orang yang mengejar sesuatu yang baru. Jangan mencari kepuasan hati pada orang-orang lain, jangan mencari kebahagiaan di luar dirimu, jangan mendewa-dewakan sesuatu selain alam raya. Kebahagiaanmu, hiburanmu, harapan dan kepercayaanmu hendaklah berakar semata-mata dalam alam raya yang secara diam-diam, namun tetap abadi bergerak di dalam makhluk-makhlukNya.”

Pernyataan sikap hidup atau iman kepercayaan ini ditulis oleh seorang pemuda Jerman yang berumur 26 tahun, di atas kapal layar yang membawanya ke Pulau Jawa. Penanggalan menunjukkan tahun 1835. Bagi Franz Wilhelm Junghuhn usia muda yang telah dilintasinya penuh peristiwa duka dan pahit. Pertama-tama konflik dengan ayahnya yang lekas marah dan sangat keras dalam pendidikan, sehingga si anak didik pernah berusaha untuk membunuh diri. Akhirnya Franz diizinkan masuk fakultas kedokteran, tetapi walaupun belum selesai studinya ia dipaksa masuk dinas militer Kerajaan Prusia (Jerman waktu itu masih terdiri atas puluhan negara dan daerah merdeka). Karena suatu pelanggaran disiplin ia dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara di sebuah benteng kuno. Duapuluh bulan ia meringkuk dalam sebuah bilik yang gelap dan sepi, terkurung dari udara dan alam bebas yang demikian dicintainya. Akhirnya ia berhasil meloloskan diri dan masuk Tentara Asing Perancis, yang sampai tahun limapuluhan abad ini merupakan tumpuan harapan bagi ribuan orang yang mau melupakan masa silamnya. Pengalaman yang dahsyat dalam pasukan sukarelawan itu kemudian hari ditulisnya dalam buku Flucht nach Afrika (Pelarian dari Afrika), sungguh sebuah dokumen yang menggetarkan karena keharuan manusiawi.. Karena jatuh sakit, maka ia diperbolehkan cuti ke Perancis, tetapi ia melarikan diri dan akhirnya sampai ke Negeri Belanda. Di sana ia menandatangani sebuah kontrak untuk menjalankan tugas sebagai dokter tentara di Hindia Belanda. 12 Oktober 1835 kapalnya berlabuh di lepas pantai Pasar Ikan.

Tidak lama ia berpraktek sebagai dokter tentara. Kalau kita menjumlahkan masa jabatannya, maka ternyata ia hanya selama tiga tahun tambah tujuh bulan berfungsi secara aktif, yaitu di Betawi, Bogor, Semarang, dan Yogyakarta. Sedangkan selama sembilan tahun ia menjelajahi Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Banyuwangi, dari Pantai Laut Jawa sampai ke Pantai Samudera Indonesia. Hampir semua gunung pernah didakinya. Ia tidur di dalam gubuk-gubuk rakyat atau di samping api di udara terbuka, bersama-sama dengan para kuli yang membawa alat-alatnya untuk mencatat segala data tentang flora dan fauna, bumi dan udara.

Junghuhn bukan seorang etikus yang memberontak terhadap sistem pemerintahan yang sedang berlaku seperti Multatuli, maupun seorang renovator yang ingin memperbaharui sesuatu. Kalau ia memberontak itu terjadi lewat tulisan-tulisannya melawan bentuk agama Kristen seperti dikenalnya di tanah Jerman, dan khusus lewat ayahnya. Kalau ia membawa sesuatu ke Pulau Jawa itu tak lain dari biji-biji kina yang berhasil ditanamnya di Lembang. Dan selaku perintis dalam penanaman kina ia dikenal sebagai seorang yang mengabdikan keagungan alam Jawa lewat tulisan-tulisannya sehingga kita dewasa ini masih mampu membayangkan keadaan di Pulau Jawa satu setengah abad yang lalu. Dan dengan terkejut kita lalu menjadi sadar, bahwa keagungan alam di Pulau Jawa yang dipuja-puja Junghuhn kini sudah punah, dimusnahkan oleh binatang paling buas, yaitu manusia sendiri.

Junghuhn bukan seorang atheis. Ia pernah menulis: “Saya termasuk jemaat ahli-ahli ilmu alam yang memuja Allah, yang berusaha mengenalNya lewat karya-karyaNya.” Dan pada lain kesempatan, ketika ia menginap di sebuah kampung, maka sebelum membaringkan tubuhnya ia sekali lagi mengamat-amati alat-alat yang dipaparkannya di atas sebuah balai-balai: “Di muka saya dipamerkan sebuah bola bumi dan bola langit, sebuah sextant, sebuah cakrawala buatan, sebuah teropong, sebuah kronometer, sebuah thermometer, sebuah psikometer, sebuah pedoman, sebuah batu berani buatan, sebuah mikroskop, sebuah alat pengukur kepadatan udara, sebuah prisma yang bersegi tiga, sebuah alat potret yang dapat dipikul (!), sebuah alat untuk membuat afdruk, sebuah wadah dengan obat-obatan kimia dan alat-alat lainnya yang dipakai dalam penerapan ilmu – itu semua lambang-lambang kepercayaanku.” Alat-alat tersebut dipakainya untuk mengkaji tulisan sandi alam raya.

Tahun 1848 Junghuhn bercuti ke Eropa untuk memulihkan kesehatannya yang terganggu. Selama di Eropa ia menerbitkan hasil penelitiannya, yaitu sebuah karya buku dalam empat jilid, Pulau Jawa, Bentuk, Pertumbuhan, dan Susunan Dalamnya, sebuah deskripsi tentang Pulau Jawa, geografi, geologi, flora dan faunanya, lengkap dengan peta-peta, gambar-gambar, serta profil-profil mengenai pemandangan alam dan bentuk bukit-bukitnya. Atas tugas menteri daerah jajahan Pahud, ia juga menyusun sebuah Atlas gambar-gambar, yaitu sebelsa pemandangan alam yang juga diterbitkannya dalam bahasa Jerman dengan judul Landschaft-Ansicten von Java.

Pada tahun 1854, secara anonim ia menerbitkan Bayangan Terang dan Gelap dari Pedalaman Pulau Jawa, sebuah alegori yang menampilkan empat orang kakak-beradik: Malam, Siang, Fajar, dan Senja. Mereka mengadakan suatu perjalanan di Pulau Jawa dan sambil melaporkan pengalaman mereka dan menyajikan lukisan-lukisan tentang keindahan alam, masing-masing memaparkan pandangan hidupnya. Malam mewakili agama Kristen, Siang membawa suara Junghuhn sendiri, semacam deisme yang tercampur pantheisme, sedangkan Fajar dan Senja memperdengarkan pendapat orang-orang atheis. Terbitan dalam bahasa Jerman dilarang beredar di negara Austria dan di banyak negara Jerman karena dianggap menghina agama Kristen.

Baru pada tahun 1852 Junghuhn mengakhiri masa hidupnya sebagai seorang bujang dan nikah dengan Louisa Koch. Tahun 1855 ia kembali ke Pulau Jawa, kali ini dengan tugas untuk meneliti kemungkinan ditanamnya pohon-pohon kina. Berdasarkan pengetahuannya mengenai iklim dan tumbuh-tumbuhan di Pulau Jawa maka dengan intuisi yang jitu ia menunjukkan tempat yang tepat bagi penanaman kina itu ialah di Jawa Barat, sekitar Lembang. Dan sebagai perintis perkebunan kina ia dikenang oleh angkatang-angkatan yang akan datang, tetapi jarang sebagai seorang pemuja keagungan alam di Pulau Jawa.

Sesudah berkeluarga Junghun tidak berkelana lagi. Dengan tenang ia hidup dengan isteri dan anaknya di daerah Pegunungan Priangan, di lereng Gunung Tangkuban Perahu, yang pernah dilukiskannya sebagai “Batin manusia yang aman den tentram.” Tahun 1864 ia meninggal akibat penyakit lever. Pada saat-saat terakhir ia didampingi oleh sahabatnya, Dokter Groeneman. Permintaannya yang terakhir ialah: “Dapatkah membuka jendela-jendela: Aku ingin berpamitan dengan gunung-gunungku tercinta, untuk terakhir kalinya aku ingin memandang hutan-hutan, sekali lagi aku ingin menghirup udara pegunungan.”

FRAGMEN

Di Pantai Selatan

                Daerah tempat kami berada buas sekali nampaknya. Sungguh mengagumkan, hutan-hutan rawan terbentang dari pegunungan tinggi sampai ke pantai, dengan tiada putus-putusnya. Bahkan ranting-ranting pepohonan yang membungkuk bermandikan ombak-ombak, sehingga hanya di sana-sini, khususnya di pedalaman teluk-teluk kecil terdapat sebidang pesisir yang sempit yang tidak tertutup pohon-pohon hutan. Ke mana pun mata kami layangkan tak kami jumpai satu bekas pun yang ditinggalkan usaha manusia. Dengan segera kami bersiap-siap mendirikan perkemahan. Anak-anak buah kami beserta para kuli menebang ranting-ranting dari pohon-pohon yang berdekatan, membuat gubug-gubug dan menyalakan api unggun. Saya sendiri disertai saudara saya, si Malam dan dua orang Jawa, menuju ke arah Barat dengan maksud memaklumi keadaan alam sekitar kami. Tanjung yang terbentang di muka kami merupakan akhir lereng gunung yang menurun dan berujud semacam punggung bukit yang datar dan yang terangkat di atas permukaan air laut kira-kira lima belas atau duapuluh lima kaki. Ujung-ujung serupa ini, baik yang lebih rendah maupun yang lebih tinggi terbentang maju ke laut, memotong teluk-teluk kecil yang mendatar, semua tanjung itu tertutup hutan rimba.

                Ketika kami melintasi tanjung ini dan keluar dari hutan, maka terpaparlah di muka kami suatu pemandangan yang aneh. Pesisir yang terangkum antara tanjung ini dan tanjung berikut berbentuk bulan sabit, gersang dan gundul dan dengan lembut naik ke atas, sampai jarak kira-kira lima ratus sampai tujuh ratus kaki dari air laut. Di sanalah pesisir berakhir dan berganti rupa menjadi bukit-bukit pasir. Pada sis darat hutan terus menjulang dan terbentang sampai kaki gunung yang makin meninggi. Pesisir yang gundul dan datar ini pantai sebuah teluk – terhampar sepanjang tiga perempat jam bila jalan kaki. Tinggi di atas kami melayang-layanglah burung-burung elang (Falco atau sejenis Haliaetos) dan berputar-putar di udara. Di pantai terpaparlah ratusan tulsang dan kulit-kulit penyu raksana, sebagian sudah terbakar putih oleh sinar matahari, sebagian masih berwarna gelap, terserak-serak seperti di medan pertempuran.

                Adegan ini sungguh buas. Terdorong oleh rasa heran dan ingin tahu, kami turun dari tanjung dan berjalan-jalan di pantai gersang di tengah kerangka-kerangka. Seketika nampaklah oleh kami sejumlah bekas telapak kaki harimau dan binatang-binatang lebih kecil, terutama dekat air laut bekas-bekas tadi jelas sekali. Di sebelah tangan kanan kami pantai naik dengan halus dan secara berturut-turut, maka pasirnya menjadi makin gersang dan kering. Di sana di berbagai tempat pasir tersungkur, tidak rata, menjadi bukit-bukit kecil dan di tengah-tengahnya terdapat semacam pasu rendah. Rupanya aneka jenis binatang telah saling memerangi secara sengit sekali. Tulang-tulang dan kulit penyu bertaburan di seluruh pantai pasir ini. Selayang pandang terseraklah puluhan kulit penyu di tengah-tengah tulang belulang. Dapat dipastikan bahwa di sepanjang pantai ini jumlah kulit itu sampai ratusan biji. Kebanyakan terdapat di tempat-tempat yang paling jauh dari laut, di kaki bukit-bukit pasir. Yang paling mengherankan kami, bangkai penyu-penyu tadi semuanya terlentang. Jenisnya penyu raksasa (Chelonia mydas; lebih jarang Chelonia imbricata) yang panjangnya tiga sampai lima kaki sedangkan tinggi dan lebarnya sepadan. Beberapa sudah lama terletak di sana dan karena terik matahari dan air hujan telah menjadi putih dan halus, sedangkan yang lain warnanya lebih gelap dan di bagian dalam masih terdapat romapng-ramping daging kering; terdapat juga yang masih agak segar. Mereka terlentang di sini dengan kulit perut terpecah terbuka dan sampai jarak cukup jauh berhamburan sobekan usus yang baunya bukan main. Pada beberapa tampt tertentu kami melihat bekas-bekas panjang dan lurus. Jalur-jalur yang lebarnya tiga sampai empat kaki, terdiri atas dua jalur paralel. Rupanya di tengah-tengah kedua jalur itu sebuah sosok yang lebih berat terseret lewat pasir. Bekas-bekas tadi mulai pada pinggir pantai dan terbentang lurus di tengah-tengah kerangka sampai kaki bukit-bukit pasir. Kedua orang Jawa yang menemani kami rupanya mengenali gejala ini, karena mereka telah mengikuti salah satu jalur dan dari atas bukit-bukit berseru dengan nada gembira: “Tempat telur, telur, telur!” Kami melihat mereka sedang melunyah di sana.Bukit-bukit tadi memang bukit-bukit pasir yang menjulang berdekatan dengan kaki pegunungan. Di atas pasir yang kering dan berwarna jernih merambatlah di sana-sini ranting-ranting panjang daun katang (sejenis Convolvus) yang berhiaskan bunga-bunga besar yang berwarna biru kemerah-merahan; di lain-lain tempat pasirnya tandus dan hanya menumbuhkan sejenis rumput yang berduri dan merambat jukut lari-lari (Spenivex squarrosus). Dari atas puncak bukit-bukit pasir itu selain babak goan (Tournefortia argentea) dan pohon-pohon pandanus yang daun-daunnya sangat lebat. Di salah satu tempat pada kaki bukit pasir itu kami temukan sebuah sarang yang tertutup dengan selapis pasir dan yang berisikan lebih dari seratus butir telur yang bulat-bulat. Warnanya pucat, besarnya seperti sebuah apel kecil dan kulitnya lembek, seperti kertas tebal. Jalur-jalur panjang yang telah kami lihat itu tak lain dari jalur-jalur yang ditinggalkan kura-kura raksasa yang muncul dari dasar lalu, merangkak sepanjang lima ratus sampai tujuh ratus kaki sepanjang pantai untuk menitipkan telurnya pada pasir sedangkan pengeramannya diserahkan kepada matahari. Dan selama perjalanan singkat di darat itu yang mungkin juga hanya beberapa kali setahun mereka adakan, maka …… mereka diserang oleh binatang-binantang buas.

                Kami memutuskan untuk tinggal di sisi semalam suntuk agar dapat mengintai apa yang akan terjadi. Sebagai tahap pertama kami membawa sebanyak mungkin telur lalu kembali ke perkemahan kami. Hutan di tanjung lain sekali wajahnya daripada hutan yang bertumbuh di atas bukit-bukit pasir; hampir semua pohon yang terdapat di sini, termasuk jenis kibunaga (Calophyllum inophyllum), dedaunannya berwarna hijau meriah, mengkilap dan kira-kira tiga puluh atau empat puluh kaki di atas bumi membentangkan suatu atap tebal yang rindang. Ribuan bunga putih yang menghiasi dedaunannya mewangikan udara dengan harum semerbak. Banyak batang tua tak jauh di atas tanah sudah bercabangkan dahan-dahan raksasa yang tersebar ke segala jurusan. Di atas dahan-dahan serupa itu, kira-kira tujuh atau delapan kaki di atas tanah, orang-orang Jawa yang menyertai kami, melihat buaya-buaya di muara sungai (Crocodilus bipocartus). Seperti umum mengetahui, binatang-binatang itu malam hari meninggalkan air dan menyelinap sepanjang pantai. Macam binatang ini lebih berbahaya lagi daripada harimau-harimau.

Nah, tempat observasi serupa itu, jauh di atas tanah, terlindung terhadap segala mara bahaya, kami suruh buat juga di atas sebatang pohon kibunaga yang terdapat di tepi hutan, dekat lapangan penuh kerangka-kerangka itu. Setelah kami menyantap makan malam – yang pokoknya terdiri atas telur-telur penyu yang lezat sekali rasanya, maka sekitar jam enam kami menempatkan diri di atas pohon tadi. Teman-teman lainnya kami beri pesan, agar ada dentaman pertama dari senapan kami mereka segera menuju tempat persembunyian kami dengan obor-obor.

                Kami mengintai-intai; senja telah tiba. Semula kami melihat satu ekor kura-kura, kemudian beberapa lain lagi meninggalkan air laut. Seketika mereka tiba di darat mereka berhenti sejenak dan mengulurkan lehernya yang panjang ke atas berputar muka dan meninjau keadaan sekitarnya, lalu merangkak maju menurut suatu garis lurus, agak cepat dan tanpa berhenti; atau dengan lebih tepat, mereka menggerakkan badannya dengan bantuan kaki-kaki berselaput, potong kompas langsung ke bukit-bukit pasir. Karena senja makin gelap kami hanya dapat meninjau bagian seperempat pesisir itu. Tak terdengar satu suara pun, selain gemuruh berat, akibat pecahan ombak di pantai. Tiba-tiba kami mendengar sesuatu di bawah tempat observasi kami, sesuatu yang bercepuk-cepuk dan berderai-derai. Badannya lebih panjang daripada seekor penyu dan merangkaknya di pesisir juga lebih lincah; seekor buaya yang panjangnya paling sedikit lima belas kaki dengan terhuyung-huyung kini juga menuju bukit-bukit pasir itu. Adakah mangsa yang dicarinya itu? Tanpa bergerak dan sambil menahan nafas kami menetapkan pandangan ke adegan di muka kami. Pada jarak agak jauh seekor kura-kura merangkak kembali dan melenyap di laut. Tak lama kemudian maka berdekatan dengan kami sesosok tubuh gelap juga menuju ke laut. Ia makin mendekati kami, tetapi baru separoh perjalanan dilintasinya maka tiba-tiba muncullah dari hutan yang berdekatan sejumlah besar biantang-binatang. Semula mereka tidak bersuara, tetapi sesampainya pada tempat penyu itu, mereka menyalak dengan terputus-putus sambil mendengus. Dalam sekejap mata mereka mengelilingi penyu itu dan menerkam dengan buas. Menurut perkiraan kami sejumlah anjing itu sekurang-kurangnya tiga puluh ekor. Mangsanya mereka sergap pada kepala, leher, kaki yang berbentuk sirip, pada ekornya dan paha pantatnya, mereka menarik dan menyobek-nyobek bagian dari badannya, memutarnya kian kemari. Suara mereka yang berdengus-dengus dan terputus-putus itu terdengar sebagai batuk-batuk dan mengungkapkan nafsu mereka untuk mengganyang mangsanya dan minum darahnya. Rupanya mereka sedang mabok atau gila, sehingga mereka sama sekali tidak melihat buaya itu yang mendekati mereka dengan langkah-langkah halus dan ringan sekali, diam-diam, seperti seekor cicak yang pada dinding sebuah bilik menangkap lalat-lalat, merangkak pada perutnya, makin lama makin dekat dan akhirnya, bagaikan sebatang anak panah meluncur ke depan dan menghancurkan dua atau tiga ekor anjing yang sedang menyalak itu dengan rahangnya sebelum yang lain menyadari apa yang terjadi. Anjing-ajing itu termasuk jenis ajak (Canis rutilans), anjing-anjing liar yang hidup bergerombolan; bentuknya lebih kecil daripada anjing serigala, tetapi tabiatnya lebih serakah dan lebih buas lagi. Penyu yang malang itu memang belum mati, tetapi luka-lukanya terlalu parah sehingga tak dapat melarikan diri. Sang buaya yang rupanya puas dengan hasil perburuannya, mengundurkan diri ke arah laut. Sekali lagi ajak-ajak itu menyerbu mangsanya dari segala segi, dan dengan sekuat tenaga menerkamnya, mencoba-coba membelah kedua kulitnya. Saya angkat senapan saya dan siap melepaskan tembakan, ketika salah seorang pengikut Jawa itu memegang lengan saya dan membisikkan beberapa kata penuh arti. Matanya yang tajam telah melihat bayangan yang keluar dari hutan gelap itu. Bentuk itu berdiri di sana, mengangkat kepalanya, melayangkan pandangannya yang mengkilap seputar adegan tadi, merapatkan badannya pada tanah, lalu ….. dengan suatu lompatan yang dahsyat turun di tengah-tengah ajak-ajak itu. Raungan yang mengerikan berderum dari tubir kerongkongannya; ajak-ajak melarikan diri terbirit-birit ke segala arah sambil mengeluarkan suara yang lebih menyerupai dengusan daripada dengkuran dan dengan segera mereka pulang ke hutan. Sebagai tanda kemenangannya sang penguasa rimba, harimau raja itu yang baru naik di atas panggung, mencakarkan kukunya atas kulit penyu yang terbaring di depannya. Seekorharimau kedua yang lebih kecil, mungkin seekor harimau tutul, juga diam-diam mengahmpiri dia, tetapi harimau raja memalingkan diri sambil mendengus. Saya angkat bedil, menarik pelatuk dan dentamtembakan bergema lewat udara malam senyap sampai ke gunung-gunung. Pertarungan antara kura-kura raksasa, buaya, ajak-ajak, dan harimau telah berakhir untuk kali ini.

Hampir bersamaan dengan saya kak Malam pun melepaskan tembakan. Namun di bawah atap dedaunan yang dahan-dahannya telah menyediakan tempat duduk bagi kami, sukarlah untuk mebidik sesuatu, berhubung hari telah menjadi malam, biarpun bentuk kulit-kulit penyu yang berserakan di muka kami di pesisir yang putih dan tandus, masih dapat kami bedakan dengan cukup jelas. Tembakan kami tidak mengena sasarannya, atau sekurang-kurangnya kedua harimau itu luka-luka parah karena mereka telah melarikan diri. Memang kami masih dapat melepaskan dua tembakan dengan senapan kami, tetapi kami menganggap lebih bijaksana mengisi kedua laras kembali. Baru saja kami sedang turun dari pohon itu, maka orang-orang yang tertinggal di perkemahan dan yang telah mendengar tembakan kami, berlari-lari mendekati kami dan menyinari seluruh tempat dengan obor-obornya. Dekat pada penyu kami temui seekor ajak yang telah mati. Penyu sendiri belum mati, tetapi sangat menderita dan oleh orang-orang Jawa dicabut nyawanya dengan golok-golok mereka. Karena penyu tidak dapat menarik kembali kepala dan kaki di bwah kulitnya, maka walaupun besar dan kuat, dengan mudah sekali menjadi mangsa bagi binatang-binatang buas yang lebih kecil daripada mereka, sekurang-kurangnya bila binatang-binantang itu, seperti ajak-ajak tadi, menyerang dalam suatu gerombolan. Ini juga menerangkan adanya sejumlah besar kulit-kulit penyu dan kerangka yang menutupi medan pertempuran margasatwa ini. Bagian daging dan usus yang ditinggalkan oleh ajak-ajak, harimau, tutul, dan buaya setelah mereka menghancurkan kulit perutnya dan menyobek-nyobek isinya waktu malam. Selalu macam-macam binatang itu kita lihat tinggi di udara melayang-layang di atas daerah ini. (Dari tulisan Junghuhn dalam Pulau Jawa, Jilid 1, hal 265 dan 266, kita tahu presis bilamana peristiwa itu terjadi, ialah pada malam 14/15 Mei 1846 di pantai selatan Jawa, dekat Ujung Kulon, di tepi Cihalejetan, antara Tanjung Panggorak dan Tanjung Sodong). ***

____________________

Tulisan Dongeng Bandung #1 bagian pertama bisa dibaca di sini.

You may also like...

1 Response

  1. June 24, 2025

    […] Catatan: Ada tulisan lain yang berkaitan dengan Dongeng Bandung #1 dengan bahasan masih mengenai Franz Junghuhn. Bisa dibaca di sini. […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *