Catatan Perjalanan Cikajang Bagian 2: Baron Baud, Karel Frederik Holle, Prasasti Cikajang

Oleh: Komunitas Aleut

Willem Abraham (Baron) Baud

Seluruh kompleks pabrik dan bangunan-bangunan yang tergambar dalam foto itu telah hilang musnah dalam waktu kurang dari 100 tahun. Begitu juga nama pemiliknya, Baron Baud, hanya terdengar samar saja.

Berdasarkan situs online genea.org, Baron Baud, atau lengkapnya, Willem Abraham Baud (1816-1879) adalah putra Jean Cretien Baud yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada periode 1833-1836. Ibunya bernama Wilhelmina Henriette Senn van Basel (1798-1831). Baud merupakan anak pertama dari pasangan ini, adik-adiknya berjumlah 10 orang.

Dalam buku Rumah Bambu; Koleksi Budaya Tani Tradisional Parahyangan karya H. Kuswandi Md, SH, diceritakan bahwa Baron Baud memulai karir perkebunannya dengan membuka perkebunan karet di daerah Bolang, Jasinga. Setelah menuai hasil, ia membuka kebun-kebun lainnya seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Keberhasilan usaha Baron Baud ternyata menimbulkan perselisihan dengan adik-adiknya, bahkan ada yang ingin menguasai perusahaannya, Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud.

Setelah sebuah pertengkaran hebat dengan saudara-saudaranya, Baron Baud yang sedang sangat marah pergi ke Buitenzorg dan menemui seorang pegawai catatan sipil bernama Meertens untuk membuat surat adopsi anak perempuan hasil hubungannya dengan seorang Nyai. Anak ini diberi nama Mimosa, mengambil dari nama tumbuhan yang biasa ditanam di bawah pohon karet untuk menjaga agar tidak tumbuh alang-alang di sekitarnya. Mimosa tetap tinggal di kampung bersama ibunya yang telah menikah lagi dengan seorang kusir kereta kuda.

Ketika Baron Baud meninggal, saudara-saudaranya kembali mengutik-utik soal harta kekayaan Baron Baud. Meertens yang membuatkan surat adopsi Mimosa segera mencarinya dan berhasil menemukannya serta membujuknya untuk ikut ke Batavia. Mimosa kala itu masih seorang gadis kecil sehingga tidak mungkin mengurus harta kekayaan warisan Baron Baud. Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu menyarankan agar dilakukan perwalian dan ditunjuklah Horra Siccerna, seorang mantan Raad van Indie sebagai wali untuk Mimosa.

Mimosa kemudian pergi ke Belanda dan setelah dewasa menikah dengan seorang warga Denmark bernama Baron von Klitzing yang kemudian mengelola perusahaan warisan Baron Baud. Sebelum Perang Dunia II Mimosa meninggal dunia dan dimakamkan di Jatinangor, di sebelah makam ayahnya, Baron Baud. Anak Mimosa dari Baron von Klitzing pernah datang ke Indonesia pada tahun 1957 untuk mengurus perusahaan dan perkebunan warisan dari kakeknya.

Demikian kutipan dari buku Rumah Bambu, tidak ada informasi lainnya atau lanjutan yang lebih detail soal nasib perusahaan peninggalan Baron Baud. Kenangan masa lalu yang tersisa darinya mungkin hanya sebuah menara di kompleks ITB Jatinangor sekarang, orang menyebutnya Menara Loji. Sampai beberapa tahun lalu, orang masih dapat menyaksikan dua bongkah struktur tembok berbentuk makam dengan nisan yang sudah hilang. Entah, apakah saat ini dua makam itu masih ada di tempatnya atau juga sudah hilang tergusur pembangunan kawasan baru di sana?

Peta daerah Tandjoengsari berskala 1:20.000 dari arsip KITLV dengan nomor kode D G 15,10. Diterbitkan oleh Topographisch Bureau Batavia tahun 1909.

Menambahkan informasi di atas, dapat dilihat dalam cuplikan peta di atas bahwa di sekitar Menara Loji saat ini dahulu terpusat kegiatan perkebunan Jatinangor. Di situ terletak rumah administratur, pabrik, pasar, dan juga makam, yang berdasarkan cerita yang beredar, adalah makam Baron Baud.

Karel Frederik Holle (1829-1896)

Dengan perasaan agak kacau karena tidak berhasil menemukan jejak yang cukup berharga dari Pabrik Pamegatan, kami beranjak menuju tempat berikutnya, yaitu Perkebunan Cisaruni, untuk melihat replika monumen Karel Frederik Holle.

Pada tanggal 25 September 1843, Karel Frederik (KF) Holle, bersama saudara-saudaranya, yaitu Adriaan Walraven Holle, Albert Holle, Herman Holle, Albertine Holle dan Caroline Holle, turut kedua orangtuanya, pasangan Pieter Holle dan Alexandrine Albertine berlayar di atas kapal “Sara Johanna” yang di nakhodai oleh pamannya, Guillaume Louis (Willem) Jacques  van der Hucht, dari Belanda ke Pulau Jawa. Mereka tiba di Batavia tanggal 23 Februari 1844 setelah mengarungi lautan selama lima bulan penuh.

Rombongan ini adalah angkatan pertama dari keluarga ini yang kelak akan memberikan pengaruh besar dalam bidang perkebunan di Hindia Belanda. Janji kehidupan baru di negeri baru, Hindia Belanda, tidak semanis bayangan. Mereka memulai usahanya dengan membuka perkebunan di Parakansalak. Usaha yang sangat berat. Di tahun-tahun pertama, ada banyak anggota keluarga mereka yang meninggal dunia karena berbagai masalah kesehatan,termasuk istri dan beberapa anak van der Hucht, begitu juga dengan ayah Karel Frederik Holle. Kematian ayahnya membuat KF Holleh bersaudara diasuh oleh van der Hucht dan mengirimkan mereka ke Batavia untuk mendapatkan pendidikan privat bersama anak-anak gubernur jenderal JJ Rochusen.

Pada usia 18 tahun, KF Holle bekerja sebagai klerk di Kantor Residen Cianjur (1846-47), kemudian dipindahkan ke Directie van de Cultures dan akhirnya ke Directie van Middelen en Domeinen di Batavia (1847-1856). Pada tahun 1857, KF Holle diangkat menjadi administratur perkebunan teh di Cikajang. Di sini ia bekerja selama lima tahun sebelum akhirnya membuka perkebunan sendiri di lereng Gunung Cikuray. KF Holle seorang yang sangat cerdas dengan minat keilmuan yang luas. Di bidang perkebunan ia merintis sebuah model manajemen baru dengan melakukan pembinaan pada masyarakat sekitarnya.

Dengan bantuan keuangan dari NP van den Berg, direktur utama De Javasche Bank di Batavia, KF Holle membuka perkebunan yang dinamainya Waspada sebagai padanan dari kata Perancis, Bellevue. Kedekatannya dengan kalangan pribumi membuatnya sangat dikenal dan disukai oleh masyarakat sekitarnya. Perhatiannya terhadap kesejahteraan masyarakat sangat besar, ia menyediakan rumahnya di Waspada sebagai tempat belajar warga. Bahkan, Hasan Mustapa yang pernah menjadi Penghulu Besar Aceh dan Bandung pun di masa kecilnya sempat bersama warga lainnya belajar di rumah KF Holle. Hasan Mustapa sangat mengagumi KF Holle yang disebutnya selalu membela kepentingan rakyat kecil.

Karel Frederik Holle, theeplanter te Garoet KITLV 12544 (1892)

KF Holle memiliki banyak minat yang dikembangkannya sendiri, di antaranya bidang-bidang pendidikan, bahasa dan sastra, filologi, sampai arkeologi. Konon kefasihannya berbahasa Sunda melampaui kebanyakan orang Sunda sendiri, bahkan ia adalah inisiator dalam mempertahankan penggunaan bahasa Sunda yang saat itu banyak tergantikan oleh bahasa Jawa sebagai bahasa resmi. Ia menerbitkan banyak buku bacaan bahasa Sunda untuk pelajaran sekolah dan mengumpulkan cerita-cerita rakyat.

Dalam bidang filologi, ia menerjemahkan naskah yang kini dikenal dengan nama Amanat Galunggung yang aslinya ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda kuno. Ia juga meneliti prasasti Kabantenan di Bekasi, Batu Tulis di Bogor, Geger Hanjuang di Tasikmalaya, prasasti Kawali, dan mempelajari serta menyalin sebuah peta tua yang sekarang dikenal dengan nama Peta Ciela. Dalam bidang pertanian, ia memberikan pelajaran tentang cara bersawah secara terasering, penanaman padi yang diberi garis caplak, dan membawa berbagai jenis sayuran serta benih kacang merah yang belakangan disebut sebagai kacang hola. Ia menerbitkan majalah berbahasa Sunda bernama Mitra Noe Tani yang dibagikan kepada para petani di Sumedang.  Di luar buku-buku, tulisan-tulisannya dalam berbagai bidang berjumlah lebih dari 200 buah.

Di  Bandung, KF Holle juga terlibat dalam pendirian Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers yang seluruh pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah Hindia Belanda. Artikel di Java-bode edisi 26 Mei 1866 menyebutkan bahwa Holle telah melakukan perencanaan dan mencurahkan seluruh waktu dan tenaganya dengan tanpa pamrih dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai pendiri sekolah itu. Di bagian akhir, tulisan ini juga menyampaikan harapan semoga dengan berdirinya sekolah ini, telah tiba suatu periode baru bagi peradaban masyarakat Sunda. Holle sendiri menyampaikan pidatonya dalam bahasa Sunda dengan sangat fasih, sementara Bupati saat itu berpidato dalam bahasa Melayu.

Seminggu kemudian, koran yang sama memuat klarifikasi dari KF Holle, yang intinya menyatakan bahwa ia tidak berhak atas semua pujian dan penghargaan atas pendirian Kweekschool dan bahwa seluruh rencana pendirian itu sepenuhnya berasal dari pemerintah.

Masih ada banyak macam pekerjaan yang dilakukan oleh KF Holle di Hindia Belanda, terutama di Garut dan Jawa Barat, tapi akan terlalu banyak menghabiskan halaman bila semua harus ditulis di sini. Apa yang sudah disampaikan di sisni sebenarnya hanya untuk mengatakan bahwa ke sebuah tempat yang memiliki hubungan sangat erat orang seperti itulah kami datang berkunjung hari ini.

Mula-mula kami mampir ke lokasi Pabrik Teh Cisaruni yang sudah beberapa kali dikunjungi oleh Komunitas Aleut angkatan-angkatan sebelumnya. Di sini kami mendatangi sebuah monumen, sebetulnya merupakan sebuah replika, yang didedikasikan untuk KF Holle atas segala jasanya selama ini. Monumen aslinya sebenarnya didirikan di salah satu sudut di Alun-alun Garut, di sebelah babancong, namun monumen ini konon hancur pada masa pendudukan Jepang. Lalu pada tahun 2001 Yayasan Keluarga Teh van der Hucht membuat replikanya dan didirikan di depan Pabrik Teh Cisaruni, Cikajang. Nah, cerita yang ini sebenarnya masih merupakan dugaan saja, yaitu bahwa perkebunan teh Cisaruni saat ini, yang dulu bernama Giriawas, adalah perkebunan milik pemerintah kolonial tempat KF Holle dulu bekerja sebagai administratur selama lima tahun.

Kiri: Monumen Holle di Alun-alun Garut (KITLV-103922, 1910). Kanan: Replika Monumen Holle di Cisaruni, Komunitas Aleut, 2025.

Di sekitar monumen Holle ini masih ada beberapa tinggalan masa kolonial, di antaranya sebuah kolam yang sudah tidak berfungsi dan berbentuk agak mirip dengan kolam di depan stasiun radio Malabar, selain itu juga ada sebuah menara yang tidak kami ketahui fungsinya. Apa mungkin sama fungsinya dengan menara loji di Jatinangor?

Bonus Perjalanan

Sebelum melanjutkan cerita ini, sebenarnya ada satu hal yang kami rasa cukup lucu yang kami temui sebelum memasuki area Pabrik Teh Cisaruni. Di google maps ada tertera nama Gedung Sate Cikajang dan karena ingin tahu apa maksudnya, kami pun menyusuri jalur jalan ke sana. Sampai di lokasi agak kaget juga karena ternyata di sini ada replika Gedung Sate Bandung. Kami tidak menemukan plang nama di depan gedung ini, apakah masih merupakan bagian dari gedung Kantor Desa Giriawas yang terletak di sebelahnya? Tentu Gedung Sate versi Cikajang ini tidak 100 persen sama dengan aslinya, tapi sekilas memang ada kemiripannya. Di sini kami sertakan fotonya, ya hitung-hitung bonus perjalanan.

Gedung Sate Cikajang. Foto: Komunitas Aleut.

Sebelum berbelok ke arah Waspada, tak jauh dari Alun-alun Cikajang, kami melihat dua buah monumen bersanding yang letaknya tidak terlihat dari arah kami datang (selatan), karena berada di balik tembok sebuah gedung. Hanya karena lirik-lirik saja kami dapat melihat keberadaan monumen ini dan memutuskan untuk mampir melihat. Monumennya masih bersih, sepertinya baru dibersihkan dan dicat ulang. Pada tugu pertama tertera tulisan “Tugu Keamanan Bratayuda/Kurusetra 1-8-1962,” sedangkan pada tugu kedua, tulisannya “Lapangan Panglima Adjie (Pangdam VI/SLW ke-8) Didirikan di: Tjikadjang, Tgl: 1-8-1962”.

Dari pencarian cepat, baik secara online maupun di perpustakaan Aleut, tidak kami temukan informasi apa pun mengenai latar belakang monumen ini. Informasi yang muncul umumnya lebih berhubungan dengan lapangan bola yang legendaris karena telah banyak menghasilkan pemain-pemain sepak bola ternama, baik untuk Persigar Garut, Persib Bandung, maupun untuk tim nasional.

Tugu Keamanan Bratayuda/Kurusetra III 1-8-1962. Foto: Komunitas Aleut.

Prasasti Cikajang

Selanjutnya kami bergegas menuju tempat berikutnya yang masih berhubungan dengan KF Holle, yaitu lokasi batas kebun Waspada yang ditandai oleh sebuah prasasti yang dibuat oleh KF Holle sendiri. Mengenai prasasti ini, informasi paling awal yang kami temui adalah dari buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto (Granesia, 1984). Katanya, “Ada sedikit catatan tentang kelakuan  konyol Karel F. Holle tatkala menjabat sebagai penguasa Perkebunan Teh di lereng Gunung Cikuray Garut. Untuk menentukan batas-batas tanah perkebunannya, iseng-iseng Holle mengukir batu prasasti dengan huruf aksara kuno sebagai pengganti patok kadaster. Bisa dibayangkan orang yang menemukan prasasti itu kemudian, menyangka sebagai situs peninggalan sejarah.” Tapi ternyata kelakuan ini bukan iseng-iseng belaka.

Tahun 1964 seorang peneliti bahasa bernama Jacobus Noorduyn mendapatkan kabar mengenai penemuan sebuah prasasti di lereng Gunung Cikuray. Dengan segera ia menyusun sebuah perjalanan menuju lokasi penemuan itu. Dari Jakarta ia ke Bandung dan mencari pinjaman sebuah mobil Landrover beserta sopirnya. Ikut dalam perjalanan yang direncanakan akan berlangsung satu hari itu, arsitek Suhamir yang sedang sakit agak berat, R. Machdar, seorang peneliti kesundaan, dan N. Titus, penerjemah Alkitab ke dalam bahasa Sunda.

Perjalanan dimulai dengan mengunjungi Kampung Naga yang baru didirikan kembali setelah dibakar oleh para pengikut Darul Islam. Dari situ, kembali ke Garut dan langsung ke Cikajang, lalu ke lereng baratdaya Gunung Cikuray. Menjelang sore mereka sudah berada di hadapan prasasti berbentuk batu datar berukuran sekitar 1,5 x 1,5 m. Digambarkan pada permukaan batu itu dipahatkan garis-garis yang melintang di seluruh permukaan serta tiga baris huruf Sunda kuno.

Noorduyn merasa heran kenapa keberadaan batu prasasti ini tidak dilaporkan lebih awal, mengingat letaknya tidak jauh di belakang sebuah gedung milik Perkebunan Cikajang. Ia teringat pada Karel Holle, seorang yang diketahuinya sangat dekat dengan masyarakat lokal, dan menguasai dengan baik bahasa dan kebudayaan Sunda, yang setelah bekerja sebagai manajer di Perkebunan Cikajang, membangun kebunnya sendiri di atas Kampung Ciburuy dan menamainya Waspada.

Noorduyn menduga bahwa dengan latar belakang pengetahuan dan peminatan pada kebudayaan Sunda yang begitu besar, jangan-jangan prasasti Cikajang ini dibikin oleh Holle sendiri. Noorduyn kemudian mengingat satu publikasi dari Rob Nieuwenhuys berisi surat-surat seorang ahli bahasa yang sangat terkenal bernama Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894) yang salah satu isinya bercerita tentang kunjungannya ke Waspada berdasarkan undangan Holle.

Saat itu Holle mengatakan bahwa ia menemukan sebuah batu bertulis dengan aksara Jawa kuno, lalu mereka pun pergi ke lokasi batu tersebut. Van der Tuuk mengenali aksara Kawi yang digunakan dan baru mengetahui bahwa Holle membuatnya sebagai sebuah penghargaan dan penghormatan untuk van der Tuuk. Noorduyn kemudian menyusun berbagai fakta dengan agak detail serta mengajukan berbagai pertimbangan untuk dapat memperkirakan bahwa kunjungan van der Tuuk ke Waspada tersebut berlangsung antara tahun 1873-74.

Sekarang keterangan mengenai batu prasasti dan lokasinya yang disusun oleh Machi dan Supandi dari Puslit Arkenas Jakarta berdasarkan permohonan investigasi dari Noorduyn yang dilaporkan pada 22 November 1988. Batu prasasti tersebut berlokasi di sebelah timur jalan setapak, sejajar dengan aliran Sungai Cikuray yang mengalir selatan-utara. Lokasi ini sekarang merupakan bagian dari Desa Cigedug, Kecamatan Bayongbong. Wilayah di seberang sungai merupakan bagian dari Perkebunan Pamegatan, Kecamatan Cikajang.

Tanah di bagian selatan dan utara lokasi batu lebih tinggi sekitar 1 m dan berupa ladang, sedangkan tanah di sebelah timur merupakan bagian dari terasering setinggi 15 meter. Panjang batu 175 cm dari barat ke timur dan 170 cm dari utara ke selatan. Tebal batu di bagian barat adalah 5 cm, sedangkan di bagian timur 10 cm. Tinggi huruf-huruf 10 cm untuk baris pertama, 14 cm baris kedua, dan antara 17-20 cm di baris ketiga. Ketiga baris huruf mengurut dari utara ke selatan.

Walaupun tidak dengan mudah, Noorduyn berhasil membaca rangkaian huruf itu: bhagya bhagya ka nu ngaliwat, mungkin artinya kira-kira selamat datang bagi yang melintas. Akhirnya, Noorduyn menyimpulkan bahwa batu prasasti ini memang dibuat oleh KF Holle sebagai sebuah kejutan untuk tamunya, van der Tuuk, yang juga memiliki ketertarikan pada aksara Sunda kuno.

Walaupun prasasti ini bukan prasasti kuno sebagaimana yang umumnya kita kenal, tetap saja sudah selayaknya untuk segera dicagarkan mengingat usianya yang sudah lebih dari 100 tahun, memiliki keterkaitan sejarah dari banyak segi, entah itu sejarah perkebunan, ketokohan KF Holle, perhatian terhadap pemeliharaan kebudayaan dan bahasa Sunda, dan seterusnya. Ada sangat banyak alasan yang dapat diajukan agar pemerintah setempat dapat segera mencagarkan Prasasti Cikajang ini.

Gambar batu prasasti dan salinannya dari Puslit Arkenas Indonesia yang dimuat dalam artikel J. Noorduyn, “Holle, van der Tuuk, and Old Sundanese Epigraphy: The Cikajang and Kawali Inscriptions”. Dimuat dalam Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 1988.
Batu prasasti dan keadaan lingkungannya pada saat kunjungan Komunitas Aleut, 8 April 2025.

Saat Komunitas Aleut berkunjung ke lokasi batu prasasti, kami ditemani seorang warga yang berbaik hati mengantarkan menyusuri jalan setapak yang menurun hingga mendekati aliran sungai. Beliau bercerita bahwa lokasi batu ini sudah berubah, dipindahkan beberapa meter dari tempat aslinya oleh sekelompok orang yang katanya mau mencari harta karun. Mungkin akibat kegiatan itu juga sekarang ada bagian batu prasasti yang terbelah.

Di lokasi asli bekas batu itu berada sekarang jadi lubang galian yang bagian atasnya sudah tertutup alang-alang tebal. Menurutnya, lubang galian itu cukup dalam, mungkin sampai 20 meter. Beliau tidak dapat memastikan kapan penggalian itu terjadi, hanya mengatakan belum terlalu lama, mungkin di sekitar terjadinya wabah covid-19. Beliau juga menambahkan bahwa ketujuh orang penggali yang datang dari Garut Selatan berdasarkan pesanan seseorang dari Jawa itu semuanya sudah meninggal dunia, termasuk sang pemesan. Kami pun berjalan kembali ke jalan raya. Bila datangnya tadi harus menempuh turunan cukup curam dan panjang, dan licin, sekarang kebalikannya, kami harus mendaki beberapa puluh meter sebelum mencapai jalan besar di atas. Sangat terasa menguras tenaga dan memeras keringat. Setiba di atas, di sebuah warung, kami sempatkan beristirahat sebentar. Warga di sekitar warung tidak ada yang mengatakan apapun tentang keberadaan batu prasasti.

Bagian 1

Bagian 3

You may also like...

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *