Bandoengsche Kunstkring, Bagian-4: Rabindranath Tagore

Oleh Irfan Pradana

Rabindranath Tagore (Les Prix Nobel 1913)

Kedatangannya kala itu menjadi perbincangan luas, khususnya di kalangan para Nasionalis. Perjumpaannya dengan Ki Hajar Dewantara disebut-sebut sebagai momen bersejarah bagi perkembangan pendidikan di Hindia Belanda. Ia adalah Rabindranath Tagore, pemenang penghargaan Nobel di bidang sastra tahun 1913. Tagore mengunjungi Hindia Belanda di tahun 1927 atas usaha dari Bond van Kunstkringen, termasuk Bandoengsche Kunstkring di dalamnya.

Rabindranath Tagore, atau sering disebut Gurudev, adalah seorang sastrawan Bengali yang menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah modern India dan dunia. Lahir pada 7 Mei 1861 di Kolkata (saat itu Calcutta), India, Tagore berasal dari keluarga Brahmin yang kaya dan terpelajar. Ayahnya, Debendranath Tagore, adalah seorang pemimpin spiritual dan reformis sosial, sementara ibunya, Sarada Devi, meninggal dunia ketika Tagore masih muda. Keluarga Tagore dikenal sebagai pusat intelektual dan budaya, yang mempengaruhi perkembangan awal Rabindranath.

Tagore tidak pernah menempuh pendidikan formal secara konsisten. Sebagai gantinya, ia belajar di rumah dengan bimbingan guru privat dan melalui pengalaman langsung. Pada usia 17 tahun, ia dikirim ke Inggris untuk belajar hukum, tetapi ia lebih tertarik pada sastra dan seni. Pengalaman ini memberinya wawasan tentang budaya Barat yang memberikan pengaruh besar pada karya-karyanya kemudian hari.

Tagore adalah penulis produktif yang menciptakan ribuan puisi, cerita pendek, novel, dan esai. Karyanya yang paling terkenal adalah kumpulan puisi “Gitanjali”, yang membuatnya meraih Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1913. Ia tercatat sebagai orang non-Eropa pertama yang menerima penghargaan ini.

Tagore mendirikan sekolah eksperimental di Santiniketan pada 1901, yang lalu berkembang menjadi Universitas Visva-Bharati. Sekolah ini menekankan pembelajaran holistik, harmoni dengan alam, dan integrasi budaya Timur dan Barat.

Rabindranath Tagore disebut sebagai tokoh penting dan berpengaruh karena kemampuannya untuk menyatukan seni, sastra, pendidikan, dan filosofi dalam satu visi yang holistik. Karyanya melampaui batas geografis dan budaya, menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia. Ia adalah simbol kebangkitan budaya India dan Asia pada awal abad ke-20.

Tagore meninggal pada 7 Agustus 1941, tetapi warisannya tetap hidup melalui karya-karyanya yang terus dibaca, dinyanyikan, dan dipelajari. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh terbesar dalam sejarah sastra dunia dan sebagai duta budaya India yang membawa pesan perdamaian, kebebasan, dan kemanusiaan.

Tur Kebudayaan Dunia

Pasca mendapatkan penghargaan Nobel, Tagore mendapat banyak undangan ceramah di berbagai negara. Selain Hindia Belanda, negara yang dikunjungi Tagore antara lain, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Cina, Argentina, Jerman, Prancis, Swiss, Italia, Rumania, Singapura dan Malaysia. Perjalanannya didanai oleh magnat bisnis dan filantropis India, Jugalkishore Birla, dan Narayandas Bajoria. Kunjungannya ke Hindia Belanda diorganisir oleh Bond van Kunstkringen (Bashabi, Fraser. 2019. Rabindranath Tagore: Reaktion Books)

Jauh sebelum kedatangannya, karya-karya Tagore telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Salah seorang tokoh lokal yang kerap menerjemahkan karya Tagore adalah Noto Soeroto. Noto Soeroto yang berasal dari keluarga Pakualaman memang menaruh minat yang besar terhadap bidang kebudayaan, khususnya sastra. Puncak kekaguman Noto kepada Tagore ia tuangkan dengan menulis buku berjudul “Rabindranath Tagore’s opvoedingsidealen, berisikan ide-ide pendidikan yang diusung oleh Tagore pada tahun 1921.

Raden Mas Noto Soeroto (Tropenmuseum) & Buku Rabindranath Tagore’s Opvoedingsidealen

Surat-Surat dari Jawa

Letters from Java” karya Rabindranath Tagore pertama kali diterbitkan dalam bahasa Bengali pada tahun 1928, dengan judul “Jabajatri” (yang berarti Perjalanan ke Jawa). Buku ini merupakan kumpulan surat dan catatan perjalanannya selama kunjungan ke Hindia Belanda pada tahun 1927. Karya ini dialihbahasakan pada tahun 2017 oleh Direktorat Sejarah Direktorat jenderal Kebudayaan. Melalui dokumen ini kita bisa menyusuri jejak perjalanan Tagore, termasuk ke Jawa dan Bali.

Tagore tiba di Batavia pada 22 Agustus 1927 (De Telegraaf, 22 Agustus 1927). Ia datang menggunakan kapal Planacius. Kedatangannya disambut oleh wakil konsul Inggris dan Bond Kunstkring. Tagore beserta rombongan akan tinggal di Batavia selama 3 hari di hotel des Indes, kemudian berangkat ke Bali. Selama di Hindia Belanda, kegiatan Tagore akan didampingi oleh Dinas Purbakala atau Oudheidkundigen Dienst.

Sebelum tiba di Bali, rombongan Tagore sempat singgah dan beristirahat di Surabaya. Mereka menetap sebentar di hotel Oranje. Setibanya di Bali, Tagore menangkap kontrasnya suasana Bali dengan kota-kota besar yang sempat ia singgahi seperti Batavia dan Surabaya. Segala sesuatunya berjalan lebih lambat, terlebih di sini tidak ada rel kereta api. Menurutnya orang di sini juga hidup dari generasi ke generasi, mempertahankan keberlebihan upacara tradisional mereka, kaya dalam bentuk dan warna, nyanyian, dan tarian.

Di tengah perjalanan menuju Karangasem rombongan mobil Tagore berhenti di daerah Bangli. Saat itu tengah digelar acara pemakaman seorang bangsawan. Kerumunan orang memadati area ritual. Para Brahmana, mengenakan jubah upacara, duduk di atas panggung tinggi, dikelilingi tumpukan bunga, buah, dan kain. Sebagian dari mereka sibuk menyiapkan persembahan, sementara yang lain melantunkan mantra disertai mudra yang tepat. Alunan musik mengiringi dengan beragam instrumen, dan di bawah tenda. Meskipun ramai, tidak ada kesan berantakan atau kekacauan—keindahan perayaan tetap murni, tanpa gangguan materi atau keributan penonton.

Selama di Bali, Tagore singgah di beberapa tempat, antara lain Karangasem, Buleleng, Tampak Siring, Badung, Gianyar, dan Ubud. Di Bali Tagore menemukan bentuk Hinduisme yang berbeda dari apa yang selama ini ia lihat di India. Dalam satu suratnya, dia menulis bahwa Hindu dalam bentuk murninya tak ditemukan di Bali, tetapi dirasakan dalam wujud yang lain.

Usai berkeliling Bali, rombongan Tagore kembali lagi ke pulau Jawa. Mereka transit sejenak di Surabaya dan melakukan beberapa kegiatan, di antaranya memberikan ceramah berjudul “Apa itu Seni” di hadapan Surabaya Kunstkring. Dari Surabaya Tagori kemudian melanjutkan perjalanan ke Surakarta menggunakan kereta dari stasiun Gubeng. Di Surakarta mereka disambut oleh Samuel Koperberg, dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, dan perwalkilan dari Mangkunegara VII.

Selama di Surakarta, Tagore dijamu oleh Raden Mas Soerjosoeparto, alias Mangkunegara VII. Tagore tinggal di istana Mangkunegaran dan disambut dengan tarian tradisional. Keesokan harinya Tagore mengunjungi istana Susuhunan. Mangkunegara VII punya hubungan yang sangat dekat dengan Noto Soeroto. Keduanya merupakan teman bermain semenjak belia. Di atas sempat dituliskan kalau Noto Soeroto kerap menerjemahkan karya-karya Tagore ke dalam Bahasa Belanda. Hasil terjemahan itu kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Jawa oleh Mangkunegara VII.

Rabindranath Tagore bersama Mangkunegara VII (KITLV 17695)

14 September 1927 Mangkunegara mengadakan jamuan makan malam untuk menghormati sang Tagore. Ia mengundang 32 orang tamu kehormatan; termasuk dua orang putra Susuhunan. Diadakan sendratari klasik, kebanyakan ditarikan oleh para pemuda dari keluarga

Bangsawan. Keesokan harinya ia kembali memberikan ceramah di Kunstkring.

Kunjungan Tagore ke Surakarta begitu berkesan. Ia menyaksikan penampilan wayang Ramayana dan Mahabarata dengan pendekatan Jawa yang berbeda dengan yang dilihatnya di Bali. Tagore seolah memiliki tempat spesial di Surakarta, bahkan namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Surakarta dan masih bisa kita temui hingga saat ini.

Setelah menghabiskan waktu di Surakarta, Tagore dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Sebelum tiba, ia menyempatkan untuk singgah di kompleks Candi Prambanan. Saat itu pemerintah tengah berusaha merestorasi Candi Prambanan. Namun karena tingkat kesulitan yang tinggi, proyek ini berjalan lambat. Dr. F. F. Bosch, seorang kepala departemen Arkeologi dan Dr. Van Stein Callenfels, seorang insinyur yang bertanggungjawab untuk restorasi

(Prambanan) menemani dan menunjukan sekeliling Prambanan untuk Tagore. Tagore kaget saat menemukan relief Ramayana terpahat lengkap. Ia bahkan tidak bisa menemui hal serupa di India.

Selama agendanya di Yogyakarta, Tagore akan mengunjungi Pura Pakualaman. Muallimin Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Candi Borobudur. Kehadirannya di Taman Siswa banyak dicatat sebagai peristiwa bersejarah bagi republik sebab di sanalah Tagore berjumpa dengan salah satu pendiri republik, Ki Hadjar Dewantara.

Pertemuan dua tokoh pendidikan itu menghasilkan bentuk kerjasama penting antara Taman Siswa dan Santiniketan, sekolah yang diasuh oleh Tagore. Taman Siswa mengirim para santrinya untuk meneruskan pendidikan ke Santiniketan, mereka di antaranya adalah Ki Soebroto, Ki Rusli, dan S. Harahap. Saat pulang mereka akan ditempatkan sebagai pamong atau guru di Taman Siswa.

Sementara itu Tagore juga mengirim para muridnya di Santiniketan ke Taman Siswa. Umumnya mereka dikirim untuk mempelajari tarian dan membatik. Bahkan awalnya Tagore ingin mengirim sang cucu, Quinny, namun sayangnya ia jatuh sakit sehingga digantikan oleh Mrinalini, anak dari Ammu Swaminathan, seorang aktivis perempuan India. Rencananya mata pelajaran ini juga akan diajarkan di Santiniketan.

Dan Bandung

Usai mengunjungi Borobudur, Tagore kembali ke Yogyakarta dan berangkat menuju Bandung. Berikut rangkuman agenda kegiatan Tagore selama di Bandung yang ditulis dalam buku “Surat-surat dari Jawa”.

Di Bandung Rabindranath dan rombongannya tinggal sebagai tamu tuan dan nyonya Demont. Begini kesaksian Tagore yang ia tuliskan dalam salah satu suratnya.

“Kami tiba di tempat indah di ketinggian lima ribu meter di atas permukaan laut. Udara di sana cukup sejuk, kami menjadi tamu bagi seorang tuan Belanda yang beristrikan orang asal Wina. Mereka memiliki rumah kecil di puncak bukit, dengan taman yang indah. Kami dapat memandang kota Bandung di atas barisan ungu. Saya dipenuhi rasa bahagia saat saya beristirahat di tempat terpencil ini setelah perjalanan kami yang cukup melelahkan.”

Tanggal 25 September, Tagore memberikan ceramah dengan judul serupa dengan yang ia sampaikan di Surakarta, yakni  “Apa Itu Seni”. Ceramah ini dilangsungkan di Societeit Concordia dan dipromotori oleh Bandoengsche Kunstkring.

Keesokan harinya dengan menaiki mobil, Tagore pergi ke sebuah desa bernama Lembang dan mengunjungi Kampus Pelatihan Guru Keagamaan Gunung Sari (Kweekschool Gunung Sari). Pembacaan doa di sekolah tersebut dilakukan dengan membacakan doa semua agama. Tagore diminta untuk berbicara di hadapan para murid. Pada sore harinya, komunitas India setempat mengadakan penyambutan bagi Sang Pujangga.

Pada 27 September, tiga orang pemuda mendatangi Tagore. Salah seorang dari mereka adalah Soekarno, yang di kemudian hari menjadi Presiden Indonesia. Mereka tampaknya sadar akan skenario politis India dan cukup akrab dengan tulisan Gandhi, Chittaranjan Das, Motilal Nehru, dan tokoh pemikir India lainnya.

Tagore meninggalkan Bandung menuju Batavia pada keesokan harinya. Di Batavia Tagore beristirahat selama 2 malam. Meski begitu ia tetap menyempatkan untuk mengunjungi museum dan membacakan puisi di malam harinya. 30 September Tagore meninggalkan Batavia menuju Singapura menggunakan kapal Mijer.

Sekian kisah mengenai salah seorang tokoh besar yang mampu didatangkan oleh Bandoengsche Kunstkring. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedatangan Rabindranath Tagore adalah buah kerja keras yang dilakukan oleh perkumpulan Kunstkring pada saat itu. Hasilnya di setiap kota yang disinggahi, Tagore selalu memiliki agenda memberikan ceramah di Kunstkring setempat. Hal itu merupakan cerminan betapa berpengaruhnya peran Kunstkring dalam bidang pemajuan kebudayaan Hindia Belanda. ***

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *