Dongeng Bandung #3 : Bandoeng Waktoe Itoe

Oleh: Dongeng Bandung

Perpustakaan dan Toko Buku “Rasia Bandoeng”, Minggu, 29 Juni 2025

Kira-kira sepuluh tahun belakangan ini di Bandung banyak bermunculan kelompok-kelompok penyelenggara wisata kota dengan moda utama berjalan kaki atau walking tour. Tema bahasannya relatif sama, sejarah kota Bandung. Semua berlomba membuat bentuk promosi atau kemasan yang dianggap menarik atau dianggap istimewa. Kemasannya mungkin sedikit berbeda, ada yang ditambah dengan kendaraan untuk menjangkau tempat-tempat yang relatif agak jauh, atau kadang menggunakan Bandros, ada yang menambahkan porsi kunjungan lebih banyak tempat-tempat kuliner, ada yang merancang rute panjang, ada juga yang pendek-pendek saja, kadang hanya kunjungan ke satu gedung atau satu lokasi spesifik saja. Meriah betul.

Puncak perkembangan kegiatan ini terjadi justru pada masa pandemi Covid-19 lalu. Ketika kota dilanda bukan hanya oleh virus, tapi juga oleh berbagai peraturan pembatasan kegiatan luar ruangan. Pengumuman demi pengumuman bermunculan: jaga jarak, work from home (WFH), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang terdiri dari beberapa level, dan seterusya. Berbagai pembatasan ini membuat orang lebih aktif dengan gadget dan media sosial. Banyak akun media sosial baru dengan bahasan seputar sejarah populer, termasuk di Bandung. Ketika pandemi surut, akun-akun ini menjelma nyata dan turun ke lapangan meramaikan kegiatan sejarah populer Kota Bandung.

Cakupan wilayah kegiatan kelompok-kelompok penyelenggara wisata ini tidak Cuma di dalam kota Bandung saja, tapi juga merambah ke kawasan sekitarnya, Cimahi, Cililin, Ciwidey, Pangalengan, Jatinangor, Lembang, Subang, Sumedang, Garut, dst. Lebih kurang sedikit lebih luas dari apa yang dulu disebut sebagai Bandung Raya.

Sebagian dari kelompok-kelompok ini mampu mengadakan kegiatan sampai beberapa tahun, sebagian lainnya bertumbangan dalam waktu singkat. Ada juga yang mengatur jeda waktu kegiatannya agar bisa bertahan lebih lama, atau mengubah dan menggabungkan kegiatannya dalam bentuk-bentuk lain, misalnya dengan aktivasi media sosial. Dengan perkembangan AI sekarang ini, banyak juga yang membuat video-video suasana tempo dulu dengan modal sebuah atau beberapa file foto digital yang hasilnya benar-benar seperti rekaman video tempo dulu. Bila tidak jeli menontonnya, orang bisa tersesat menganggapnya sebagai rekaman asli,

Berbarengan dengan perkembangan kegiatan yang barusan dibicarakan, berkembang juga penerbitan buku-buku sejarah populer, khususnya yang berkaitan dengan Bandung. Entah sudah berapa banyak buku sejarah populer Bandung yang terbit dalam rentang waktu sepuluh tahun belakangan ini. Sebagian besar sudah tersedia di rak-rak buku Perpustakaan Rasia Bandoeng, sisanya masih dalam proses pencarian dan pengumpulan.

Dari sekian banyak kelompok itu, ada satu yang namanya cukup menarik perhatian, “Bandoeng Waktoe Itoe.” Dari lalu lintas media sosial, sepertinya relatif sama dengan kelompok lain yang sudah lahir dan aktif lebih dulu. Kesan berbeda justru kami dapatkan ketika membaca bukunya di Perpustakaan Bunga di Tembok di kantor media Bandung Bergerak.

Sampul buku Bandoeng Waktoe Itoe karangan Ojel Sansan Yusandi (ProPublic.Info, 2022).

Menilik nama Ameng Layaran yang digunakan sebagai editor sudah mengundang pikiran tertentu. Nama ini tentu dikenal oleh para para pembaca artikel Bujangga Manik’s Journey throug Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source karangan J. Noorduyn (aslinya termuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 138 No.4, 1982) atau terjemahannya yang dibuat oleh Iskandarwassid pada tahun 1984, Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuno (KITLV-LIPI, Jakarta). Nama ini bisa jadi petanda isi buku Bandoeng Waktoe Itoe.

Masuk ke isi buku. Nyatalah bahwa ada perbedaan yang mendasar antara isi buku ini dibanding dengan poster-poster kegiatan Bandoeng Waktoe Itoe yang cukup sering melintas di media sosial. Menilik kegiatannya di lapangan, tak ubah seperti kelompok lainnya, kunjungan ke bangunan-bangunan kolonial Bandung dan sekitarnya, yang utamanya dari abad ke-20, tetapi cerita dalam bukunya malah mundur seratus atau bahkan empat ratus tahun lebih ke belakang. Rasanya tidak banyak angkatan sekarang ini yang punya minat khusus ke periode ini.

Setelah babak pendahuluan, penceritaan dalam buku Bandoeng Waktoe Itoe diawali dengan judul bab “Bandung Sebelum Bandung,” yang isinya kurang lebih merupakan ringkasan sejarah (populer) geologi Bandung dengan menggamit beberapa detail seperti Gunung Sunda, Situ Hyang, dan Patuha.

Kemudian dilanjutkan dengan bab berisi periode yang disebut sebagai “Tatar Ukur.” Di sini disinggung nama-nama seperti Ukur, Timbanganten, Batulayang, Cihaurbeuti, Sindangkasih, Sagaraherang, Parakanmuncang, Sumedang, dst, diakhiri dengan keterlibatan Dipati Ukur dalam upaya penyerangan Batavia. Bab selanjutnya membicarakan pembentukan Kabupaten Bandung, masa Priangan di bawah VOC, dan bupati-bupati Bandung sejak Tumenggung Wirangun-angun sampai Wiranatakusumah II.

Setelah pembahasan proyek Jalan Raya Pos dan perpindahan ibu kota Kabupaten Bandung dari tepi Citarum ke sisi Cikapundung, selanjutnya adalah pemerincian mengenai Alun-alun dan keadaan lingkungan di sekitarnya. Buku ini pun ditutup dengan bab berjudul “Mengintip Kehidupan Bupati-bupati Bandung.”

Nama Ojel Sansan Yusandi kami kenal melalui publikasi promo-promo kegiatan Bandoeng Waktoe Itoe. Ya kenal virtual saja. Sekali waktu sempat bertemu dalam sebuah kegiatan pembuatan film dokumenter bareng Kimun666 di Atap Class, tapi tidak sempat mengobrol. Jadi obrolan pertama praktis baru berlangsung dalam kesempatan Dongeng Bandung #4 di sekretariat Komunitas Aleut.

Dari obrolan awal, kami dapatkan keterangan bahwa Ojel, yang nama aslinya Yusandi ini, tidak berlatar pendidikan sejarah, melainkan bahasa Indonesia. Baru sekarang ini ia menempuh pendidikan sejarah untuk S2 di UIN Bandung. Sempat menulis cerpen dan naskah drama untuk buku antologi berjudul Perlahan Dalam tahun 2004. Kemudian aktif dalam lingkaran pergaulan di dunia musik, dan dari sana menuliskan buku pertamanya, Portraits of Bad Religion (2009) dan setelah itu membentuk band Veskil. Tahun 2010, Ojel menerbitkan novel pertamanya, Mega Mendung di Priangan (Kayu Manis Utami, 2014), dilanjutkan dengan novel kedua, Batavia Membelah Tirtayasa (Kayu Manis Utami, 2017), dan terakhir, novel Kala Murka (ProPublic.Info, 2020). Buku terakhirnya adalah Bandoeng Waktoe Itoe – Jilid I: Dari Tepi Citarum ke Sisi Cikapundung (ProPublic.Info, 2022) yang menjadi bahan dongengan hari ini.

Dalam Dongeng Bandung edisi ke-3 ini, Ojel lebih kurang menceritakan kembali apa-apa yang sudah dituliskannya dalam buku Bandoeng Waktoe Itoe. Penceritaannya lancar dengan jeda minimum dan berlangsung sekitar 100 menit tanpa minum ataupun udud. ###

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *