Dongeng Bandung #1 (1) : Junghuhn dan Kang Malik

Oleh: Dongeng Bandung

Perpustakaan dan Toko Buku “Rasia Bandoeng”, Kamis, 19 Juni 2025

Malam itu kami kedatangan seorang teman. Teman yang secara virtual sudah kami kenal cukup lama, tapi dalam dunia nyata, malam ini adalah kali pertama kami saling berjumpa. Namanya yang kami kenal, Kang Malik Ar Rahiem, sesuai dengan yang biasa tertera pada buku-bukunya. Dibandingkan dengan kebanyakan teman-teman yang hadir, badannya agak lebih besar dan lebih tinggi. Sejak masih di pagar, dan seterusnya, Kang Malik selalu terlihat riang, sekaligus menandakan bahwa malam ini akan berlangsung menggembirakan.

Belakangan, Kang Malik menjadi cukup populer di antara kami. Tulisan-tulisannya, baik di blog (yang saat ini sedang tidak aktif), atau dari buku-bukunya, serta beberapa video pendek yang sering beredar di sana-sini, sering menjadi bagian dari perbincangan kami. Tidak selalu karena aspek keilmuannya – yang memang tidak selalu mudah juga kami pahami – tapi lebih sering karena banyaknya nama yang biasa disebutkannya: nama-nama tokoh, baik penulis, pejalan, atau peneliti, di masa lalu yang pernah singgah, tinggal, atau bekerja, di wilayah Priangan. Dari semua itu, yang terpenting bagi kami adalah nama-nama tempat. Setiap nama tempat yang disebutkan, selalu seperti yang memanggil-manggil untuk kami kunjungi. Begitulah yang terjadi, ada paruh-paruh waktu belakangan ini kami momotoran ke tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya dan kebetulan disebutkan oleh Kang Malik. Misalnya momotoran ke Cililin seperti yang bisa dibaca di sini atau ini.

Jalur jalan yang harus ditempuh menuju Gunung Buleud, Cililin. Foto: Komunitas Aleut.
Puncak Batu Nini atau Batu Candi di Gunung Buleud (Bulut) ketika Momotoran Cililin pada tahun 2024 lalu. Foto: Komunitas Aleut.

Entah bagaimana mulanya, masih di awal obrolan, Kang Malik bercerita tentang sebuah tempat bernama Garung, sebuah tempat terpencil di dekat pantai selatan Garut. Dalam buku Licht- und Schattenbilder aus dem Innern von Java (Franz Junghuhn, 1854) yang diterjemahkan oleh Kang Malik Ar Rahiem menjadi buku Cahaya dan Bayang-bayang dari Jawa (Muhammad Kang Malik Ar Rahiem, 2025), nama tempat Garung itu diterangkan begini: Desa kecil, terletak di selatan Kabupaten Garut, sekitar 20 km arah utara dari Cagar Alam Leuweung Sancang di pantai selatan Garut. Desa ini terletak di sisi barat Ci Kaengan.

Dalam buku ini, Junghuhn membuka tulisannya dengan sebuah babak berjudul “Garung”: Kami tiba di Garung setelah perjalanan yang sangat melelahkan melewati gunung dan lembah. Bawaan kami terbagi menjadi beberapa koper kulit yang tidak begitu berat, sehingga bisa dipikul di pundak atau di kepala dengan satu tangan. Para kuli, orang-orang Jawa dari Gintung yang berangkat tadi pagi, masih tertinggal di belakang. Padahal mereka berangkat lebih awal dari kami karena membawa barang-barang. Ketika kami menyusul mereka, mereka sedang tidur-tiduran di rumput, berteduh di bayang pohon bambu. Beberapa dari mereka sedang tidur siang, ada yang pintar menggunakan koper kulit sebagai bantal. Beberapa yang lain sibuk melinting rokok dengan tembakau dan daun jagung.

Buku Cahaya dan Bayang-bayang  dari Jawa yang baru saja menjadi koleksi perpustakaan kami. Buku Franz Junghuhn: Berkelana di Pulau Jawa (1835-1839) sementara ini masih berstatus wishlist.

Dalam konteks kekinian, kami mengenal wilayah di sekitar Leuweung Sancang ini masih termasuk daerah Pameungpeuk, Garut, dan penyebutan ke arah utara dalam keterangan itu mengingatkan kami satu perjalanan momotoran dari Sancang ke Cikajang melalui Maroko dan Toblong. Dalam peta karya Junghuhn, Karte der Insel Java. Geologische Ausgabe. Drittes Blatt (1855) yang cuplikannya dimuat juga dalam bukunya Kang Malik yang disebut di atas tercatat nama Garung (Garoeng), letaknya di bawah (selatan) Toblong. Mengacu pada perjalanan kami di jalur Maroko itu, kami sempat beristirahat di sebuah kampung sebelum mencapai Toblong. Dengan membandingkan peta lama dan peta masa kini, tak jauh di sebelah utara dari tempat kami beristirahat itulah letaknya Garung dahulu.

Kiri, rumah/warung tempat beristirahat dan di belakang perbukitan itu terletak Toblong. Kanan, sedikit lagi dari jalur jalan ini ada belokan ke kiri, di situlah letaknya Garung. Foto: Komunitas Aleut.

Obrolan dengan Kang Malik berlangsung cepat dan gesit. Pindah-pindah topik seperti letupan air kawah, loncat sana loncat sini. Selain Junghuhn, sang pemuja alam beserta buku-bukunya, nama-nama lain bermunculan dengan cepat dan padat seperti suasana lalu lintas Kota Bandung sekarang ini: Rothpletz, Bandi, Verbeek, Koenigswald, Brumund, Roo De La Faille, Salomon Muller dan van Oort, Payen, Nieuwenhuys, dan lain sebagainya. Salah satu yang paling mengesankan adalah cerita mengenai catatan harian Auguste Antoine Joseph Payen (1792-1853), seorang pelukis sekaligus naturalis dari Belgia yang bekerja untuk Kerajaan Belanda dan pernah tinggal di Bogor, Cianjur, dan Bandung. Berbagai kisah tentang Payen, termasuk tentang lokasi bekas rumahnya di Bandung sudah dikenal dengan cukup baik oleh para peminat sejarah populer Kota Bandung. Dari obrolan loncat-loncat cepat ini, sepertinya cerita mengenai Franz Wilhelm Junghuhn selalu saja terseret ikut hadir.

Di balik keterkenalan nama Junghuhn bagi para peminat sejarah, dengan contoh-contoh kisah tentang kina atau makamnya di Lembang yang masih terus dikunjungi para peminat sejarah, Kang Malik merasa masih ada sesuatu yang kurang, yaitu bahwa masih sangat banyak orang tidak atau belum membaca tulisan-tulisannya, terutama magnum opusnya, Java: Seine Gestalt Pflanzendecke und Innere Bauart yang terdiri dari tiga jilid. Buku ini menjadi sangat penting bukan hanya karena mencatat dan menjelaskan fenomena-fenomena alam saja, tapi juga memikirkan secara mendalam tentang alam Jawa dan keterkaitannya dengan pertanyaan paling mendasar yang selalu ditanyakan oleh setiap manusia, siapa dirinya dan darimana ia berasal. Bagi Kang Malik, Junghuhn adalah penjelajah alam terbesar di Pulau Jawa, dan oleh karena itu semua karya-karyanya – yang hanya ditulis dalam bahasa Jerman dan Belanda – perlu diterjemahkan agar dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas lagi.

Ketika malam semakin larut, pembicaraan malah masuk ke soal teknis tentang penerjemahan, penulisan, dan penerbitan. Masih ada banyak draf buku yang antre. Yang setengah jadi, hampir jadi, atau sudah jadi, tapi masih belum diterbitkan, mungkin menunggu waktu yang tepat, yang paling nyaman, untuk mewujudkannya. Hampir lima jam kami ngobrol dengan intense tanpa jeda. Sebelum undur diri, kami masih sempat membicarakan rencana dalam waktu dekat ini untuk bersama-sama turun dan belajar di lapangan. Dari beberapa kemungkinan yang dibahas, masih belum dapat dipastikan yang mana yang akan bisa dilaksanakan nanti. Yang manapun yang akan dijalankan, kami akan dengan senang hati mengikutinya.

Hatur nuhun, Kang Malik.

_______________________

Catatan: Ada tulisan lain yang berkaitan dengan Dongeng Bandung #1 dengan bahasan masih mengenai Franz Junghuhn. Bisa dibaca di sini.

You may also like...

1 Response

  1. June 24, 2025

    […] Tulisan Dongeng Bandung #1 bagian pertama bisa dibaca di sini. […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *