Catatan Perjalanan Cikajang Bagian 1: Kamojang, Pamegatan

Oleh: Komunitas Aleut

Mumudikan

Salah satu pengalaman perjalanan nebeng mudik dan arus balik tahun 2015. Foto diambil di jalur turunan gunung di antara Guci, Tegal dan Bumiayu. Engga ketemu keterangan lokasi persisnya. Foto: Komunitas Aleut.

Setiap momen Lebaran, biasanya sebagian penggiat Komunitas Aleut yang tinggal di Bandung dan tidak punya tempat mudik di luar kota, suka ikut-ikutan mudik ke mana saja yang dianggap bakal memberikan pengalaman perjalanan yang menyenangkan. Nebeng kampung temen. Yang dicari adalah pengalaman merasakan kepadatan jalan, kemacetan panjang, melibatkan diri dalam berbagai kesibukan dan keruwetan dalam perjalanan bersama banyak orang yang ketemu di jalan. Orang-orang yang sama sekali tidak kami kenal.

Setiap Lebaran, memberikan dua kali pengalaman seperti ini, yaitu saat larut dalam arus mudik, dan dalam perjalanan kembali ke Bandung saat arus balik. Pilihan perjalanan ini bisa pendek, seperti ke Garut, Tasikmalaya, atau ke Cianjur, tapi bisa juga panjang, seperti ke Banten Selatan, Pangandaran, sampai ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Semua dilakukan dengan menggunakan motor-motor biasa, motor perkotaan, motor matic. Jadi tidak ada yang menggunakan motor-motor spesialis ini-itu.

Entah sejak kapan kebiasaan ini hadir di Komunitas Aleut, konon sih sudah sejak komunitas ini didirikan, kurang lebih dua puluh tahunan. Dalam arsip Komunitas Aleut ada cukup banyak catatan perjalanan mengikuti arus mudik dan arus balik ini. Ternyata pernah sampai menyusuri garis perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, mulai dari Brebes di Utara sampai Cilacap di selatan. Untuk ke Brebes, tentu saja harus dimotori dulu dari Bandung lewat Sumedang, Tomo, Majalengka, Jatiwangi, Palimanan, dan Cirebon. Begitu pula saat jalur kembali, dari Cilacap menempuh jalur jalan Kalipucang, Padaherang, Banjar, Singaparna, Mangunreja, Cilawu, Garut, dan akhirnya Bandung. Sepertinya ini jalur yang memutar-mutar. Entah seperti apa perjalanan saat itu, dalam situasi arus balik dan menempuh jalur yang memutar-mutar. Entah apa pula yang dipikirkan rekan-rekan Aleut saat itu.

Lebaran tahun ini, agak berbeda, karena hampir semua penggiat berpencaran pulan ke kampungnya masing-masing. Ada yang ke Ciwidey, Cianjur, Pangandaran, sampai ke Sumatra. Kami baru dapat berkumpul kembali di akhir minggu pertama bulan April, dan pada saat itu menyepakati untuk melaksanakan satu rencana tertunda, yaitu mencari beberapa jejak Karel Frederik Holle di wilayah Cikajang. Seperti biasa, tentu Holle bukanlah satu-satunya tujuan kami, selalu ada sampingan lainnya. Dalam catatan kami ada nama Baron Baud dan Perkebunan Pamegatan, Moh. Moesa dan Lasminingrat, sampai ke Hasan Arif, dll.

Sebenarnya sebagian tempat dan nama-nama yang jadi tujuan perjalanan kami hari ini sudah beberapa kali dikunjungi oleh rekan-rekan Aleut angkatan sebelumnya, kali ini kami hanya ingin memastikan beberapa hal sambil melihat perkembangannya saat ini. Di luar kunjungan pengulangan ini, ada juga beberapa hal yang memang baru didatangi oleh angkatan sekarang.

Kamojang Hill Bridge

Perjalan kami mulai pagi hari, langsug menuju Jembatan Kamojang, di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Membaca di wikipedia, jembatan kuning ini dibangun tahun 2016 dengan panjang 138 meter dan ketinggian 1180 mdpl. Di bawah, mengalir Sungai Ibun. Sejak dibangun sempat berulangkali menjadi viral, baik karena keindahan pemandangannya, maupun karena banyaknya peristiwa kecelakaan yang terjadi di sekitar jembatan ini. Dari arah kami datang, Majalaya, tanjakan di bagian akhirnya luar biasa curam dan panjang pula, motor kawan kami sempat kepayahan untuk naik. Dari arah sebaliknya, berupa turunan panjang yang konon saat hujan sering licin, dan katanya faktor ini yang menjadi sebab terjadinya sejumlah kecelakaan.

Read more: Catatan Perjalanan Cikajang Bagian 1: Kamojang, Pamegatan

Di area sekitar jembatan cukup banyak warung, dan hari ini terlihat sebagian besar dipenuhi oleh pengunjung. Setelah bergabung lagi dengan kawan-kawan yang terhambat oleh tanjakan, kami memilih untuk beristirahat di tempat yang agak tinggi setelah melewati jembatan, agar mendapatkan pemandangan yang lebih luas. Di sini dengan susah-payah kami coba mengidentifikasi beberapa gunung yang terlihat di sebelah utara.

Kawan-kawan Aleut sering menyebutnya sebagai Jambatan Bridge, entah bagaimana awal mula ceritanya bisa memberikan nama seperti itu. Foto: Komunitas Aleut.

Di sini kami hanya berhenti untuk secangkir kopi saset saja, lalu lanjut perjalanan langsung ke arah Cikajang. Di kawasan PLTP kami berhenti sebentar karena melihat sebuah tugu bambu runcing yang didirikan di atas tembok batu bata. Tugu ini juga merupakan gerbang masuk ke bagian dalam. Di sebelah bambu runcing terdapat sebuah prasasti yang sudah sangat samar tulisannya. Walaupun sudah melakukan beberapa cara, kami tidak berhasil membacanya, selain secara ragu mengidentifikasi angka 48. Di baliknya, di bagian dalam, ada prasasti sejenis, juga sudah tidak dapat lagi dibaca isinya. Bagian dalam dipenuhi oleh alang-alang. Kami tidak dapat menduga apa sebenarnya yang ada di dalam ini.

Saat bertanya kepada seorang petani yang lewat, barulah kami dapatkan informasi bahwa tugu ini merupakan bagian dari Taman Makam Pahlawan Tak Dikenal. Di bagian dalam itu sebenarnya ada makam-makam yang sekarang sudah tidak terurus dan tertutupi oleh alang-alang tinggi. Cerita mengenai makam ini belum kami temukan dalam buku. Tapi ada dua postingan di instagram atas nama dewilaksanaibun2016 yang  menggambarkan kegiatan kerja bakti membersihkan dan merapikan taman makam dengan caption singkat “Taman Makam Pahlawan Tidak dikenal yg berada di #kamojang.” Lalu ada sebuah video di youtube atas nama Iptu Carsono SH dengan judul “Tomb of an Unknown Hero – KAMOJANG # Tracing the Tombs of an Unknown Hero in Kamojang Ibun.Dalam bentuk tulisan hanya kami temukan dari Tribun Jabar dalam tulisan berjudul “Ziarah ke Taman Makam Pahlwan Tidak Dikenal di Kamojang Bandung, Makam Lima Tentara Siliwangi,” ditulis oleh Nappisah dan diunggah tanggal 18 Agustus 2024.

Komunitas Aleut saat mampir ke Taman Makam Pahlawan Tidak Dikenal, Kamojang, 8 April 2025. Foto: Komunitas Aleut.

Ringkasnya, Taman Makam Pahlawan Tidak Dikenal ini memang merupakan makam empat (dalam cerita lain disebutkan lima) orang tentara pada masa Hijrah Siliwangi ke Yogyakarta. Empat atau lima tentara ini mungkin anggota sebuah pasukan yang teringgal dari rombongannya dan menjadi korban serangan DI/TII. Para korban kemudian dimakamkan di lokasi peristiwa itu secara sederhana. Baru beberapa tahun kemudian Pertamina memberikan bantuan untuk memperbaiki kondisi makam dan menjadikannya sebuah taman makam yang layak. Sayang, saat kami datangi kondisi taman makam ini sedang kurang baik. Setelah membuat beberapa foto dokumentasi, kami lanjutkan perjalanan.

Pamegatan

Walaupun cukup ramai, perjalanan lancar-lancar saja, tidak ada kepadatan luar biasa kecuali di sekitar pasar-pasar yang sehari-harinya pun memang selalu padat dan macet. Sepanjang jalan antara Bayongbong-Cisurupan, jauh di sebelah kanan selalu terlihat pemandangan kawasan pergunungan Papandayan dengan rekahan kawahnya yang mengepul. Di hari yang cerah seperti ini, pemandangan yang sebetulnya cukup sering kami lalui ini terlihat lebih indah dari biasanya. Udara cukup segara walaupun panas terasa sangat menyengat.

Di jalur ini kami tidak berhenti lagi sampai ke satu titik yang selama ini kami kenali sebagai lokasi Pabrik Teh Pamegatan milik Baron Baud. Pamegatan hanyalah satu dari 14 perusahaan perkebunan yang dimiliki oleh Baron Baud, beberapa lainnya terletak di Cikasungka, Bogor, di Ciumbuleuit, dan di Jatinangor. Kami mendatangi tempat ini membawa rasa penasaran oleh lokasi perkebunan Pamegatan yang sebenarnya, karena kami menemukan sebuah peta yang mencantumkan lokasi pabrik dan perkebunan teh Pamegatan lebih jauh ke selatan.

Kompleks Pabrik Teh Pamegatan yang saat ini terlihat agak terbengkalai. Di dalam area ini masih terdapat beberapa bangunan lama di bagian depan dan ada bangunan baru agak jauh di belakang. Foto: Komunitas Aleut.

Dari keterangan angkatan lama, disebutkan bahwa memang di sinilah lokasi Pabrik Teh Pamegatan, hal ini pun pernah dikonfirmasi oleh sahabat kami alm. Pak Kuswandi, walaupun hanya secara lisan dan selewatan. Kepada seorang petani yang sedang lewat bermotor sambil membawa karung-karung rumput, kami coba cari keterangan. Ternyata beliau juga membenarkan dan menyebutkan bahwa keberadaan pabrik ini kemudian membuat nama kampung di sini menjadi Kampung Pabrik. Beliau juga mengetahui keberadaan perkebunan dan pabrik Pamegatan yang letaknya jauh di selatan itu dan menyebutkan bahwa nama kampung Pamegatan memang asalnya di sana. Tetapi kenapa ada dua nama Pamegatan, atau apakah pabrik ini merupakan pindahan dari pabrik yang di selatan itu, beliau tidak dapat menjelaskan. Kami pun belum dapat menyimpulkan secara tegas.

Dari sini, kami beranjak menuju lokasi Pamegatan yang di selatan itu, jaraknya sekitar 8 kilometer. Dengan bekal peta yang sudah disiapkan oleh salah satu rekan, menjadi tidak sulit untuk menemukan lokasi ini. Dari jalan raya utama Cikajang, belok ke kanan dan menyusuri jalan desa sekitar satu kilometer, lalu ketemulah dengan lokasi yang dicari. Tempat inilah yang selalu disebut sebagai Pamegatan (dan perkebunannya) di banyak peta lama.

Lokasi ini berupa satu kawasan terbuka dengan sedikit rumah saja di dekat jalan raya tempat kami masuk. Di dalam, hanya ada ladang-ladang, dan bukit-bukit kecil. Lebih ke belakang, sudah lereng pergunungan yang berdasarkan peta-peta lama bernama Gunung Mandalagiri dengan ketinggian 1813 mdpl.

Peta AMS lembar Garoet. Java, Madoera, en Bali 1:250.000 edisi ke-4. US Army Map Service, Washington DC, 1944.

Di sebuah warung di sisi jalan setapak, sedang berkumpul banyak bapak-bapak pekerja ladang. Sepertinya sedang ada pengangkutan sayuran, dan mungkin sebagian lagi sedang menumpang istirahat siang. Hampir semua bapak ikut ramai berkomentar dan menduga-duga jawaban atas semua pertanyaan kami. Hanya ada seorang ibu di sini, pemilik warung tersebut, yang juga ikut antusias melihat foto-foto yang kami tunjukkan dari layar smartphone.

Membandingkan foto lama yang kami temukan di situs KITLV dengan pemandangan nyata di depan kami, memang jelas ada kesesuaian. Dari situ dan dengan bantuan seorang bapak usia 60-an yang lahir di Pamegatan, kami dapat mengidentifikasi lokasi pabrik, yaitu lahan kosong persis di sebrang warung dan di depan tempat kami semua berdiri. Agak di belakang, lahan ini sedikit lebih tinggi dan seluruhnya sudah dijadikan ladang. Ke belakang lagi, mendaki bukit kecil, juga seluruhnya sudah berupa ladang. Ketika kami mention nama Baron Baud, ternyata sebagian masih dapat mengenali nama itu, walaupun tidak memiliki informasi apa-apa tentangnya.

Theeonderneming Pamegatan bij Garoet. KITLV 8021. Circa 1930.
Lahan bekas berdirinya Pabrik Teh Pamegatan yang sudah tidak menyisakan apapun selain secuil sisa fondasi bangunan di sana-sini. Foto: Komunitas Aleut.

Di lereng bukit kecil ini masih ada fondasi bekas pipa, dan di bagian puncaknya juga konon masih ada sisa bak kolam. Kami tidak naik ke atas, karena akan cukup melelahkan. Kami hanya pergi berjalan menyusuri ladang menuju satu tempat yang disebut sebagai bekas gedung atau rumah, dan bekas makam yang sudah dibongkar. Di sini kami temukan 1-2 sisa fondasi. Selain semua yang sudah disebutkan ini, sama sekali tidak ada sisa atau peninggalan lain dari Perkebunan Teh Pamegatan. Sama sekali sudah hilang. Dalam bentuk cerita pun sangat minim, itu pun seringkali kurang meyakinkan. Foto lama dari situs KITLV itu mencantumkan keterangan tahun 1930.

Bagian 2

Bagian 3

You may also like...

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *