Jagarnaek, Tenger Agoeng, dan Makam Tenger Agoeng

Oleh: Aditya Wijaya

Tengger Agoeng dalam peta karya Junghuhn 1855. Wikicommons.

Hari Minggu, 27 Agustus 2023.

Keramaian kota perlahan menghilang berganti kesunyian dan ketenangan setelah kami melewati Kampung Jagarnaek. Dua sepeda motor perlahan melaju ke utara, melewati jalanan berbatu kerikil dengan tanah merah yang gersang. Di saat seperti itu, saya serasa mengendarai motor dalam kompetisi balap trail; ban motor melibas tanah merah yang gersang, menghasilkan kepulan debu tebal.

Di kanan kiri jalan terhampar perkebunan teh Jagarnaek. Konturnya tidak seperti di kawasan Bandung Selatan yang berbukit-bukit. Di Jagarnaek semuanya terlihat datar meski ada satu dua perbukitan kecil. Rasanya lingkungan di kawasan Jagarnaek tidak banyak berubah, masih seperti dua abad yang lalu. Saya langsung teringat sebuah tv series berjudul “1883,” berlatar tahun 1883, membayangkan bagaimana kehidupan yang terjadi dua abad lalu di Jagarnaek.

Jagarnaek saat ini merupakan kampung yang terletak di Desa Cisaat, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang. Jagarnaek ini termasuk bagian dari kawasan perkebunan P&T Lands atau Pamanoekan & Tjassem kepunyaannya keluarga Hofland. Ada yang menarik dengan penamaan Jagarnaek; rasanya nama ini memiliki hubungan penting dengan Peter William Hofland yang dilahirkan di Jaggernaikpoeram, India. Dahulu Jaggernaikpoeram – atau saat ini Kakinada – Andhra Pradesh, India, merupakan kota pelabuhan perdagangan penting saat Inggris dan VOC berkuasa.

Jaggernaikpoeram di India. Wikipedia.

Dari Jagarnaek kami teruskan ke Tenger Agoeng melewati beberapa perkampungan dengan jalanan yang tidak terlalu besar untuk dilewati oleh dua mobil. Perbedaan ketinggian bisa kita rasakan saat mengendarai motor, karena menuju Tenger Agoeng harus melewati daerah yang berlembah.

Gezicht op de koffieonderneming Tenger Agoeng in de Pamanoekan en Tjiasemlanden (KITLV)

TENGER AGOENG

Saat itu saya dan rekan-rekan tidak membayangkan bahwa Tenger Agoeng dahulunya merupakan kawasan yang cukup penting. Setelah ngulik sana sini di internet, saya kira Tenger Agoeng pernah menjadi tempat yang penting dan istimewa bagi Peter William Hofland dan keluarga. Di tempat inilah P.W. Hofland dan keluarga tinggal untuk meneruskan perjuangan mereka mengelola P&T Lands yang terkenal itu.

Kondisi Tenger Agoeng saat ini tidak mencerminkan kemegahan dan keistimewaan yang tergambarkan dari tulisan Jan Ten Brink atau foto-foto lama yang beredar di situs KITLV. Dalam buku yang ditulis oleh Jan Ten Brink yang berjudul “Op de Grenzen der Preanger”, di salah satu bagian buku tersebut digambarkan pendopo Tenger Agoeng milik Johannes Theodorus Hofland salah satu anak dari P.W. Hofland. Di Pendopo Tenger Agoeng saat itu sedang dilaksanakan pendistribusian barang-barang linier seperti pakaian untuk para buruh kebun atau saat itu disebut boedjang. Pendistribusian barang-barang tersebut diadakan oleh J.T. Hofland untuk menjaga nasib para buruh agar bisa sejahtera. Barang-barang yang didistribusikan merupakan pakaian-pakaian yang dijual dengan harga murah agar para buruh bisa mendapatkan pakaian yang layak dan menghindari permainan monopoli yang dilakukan oleh perusahaan atau pasar Tiongkok. J.T. Hofland saat itu menjabat sebagai kepala administratur distrik Batu Sirap dan Sagala Herang.

Berikut ini kutipan dari buku Jan Ten Brink “Op de Grenzen der Preanger”. Saya lakukan penerjemahan sederhana saja melalui chrome yang membuat alih bahasa dalam kutipan ini terasa belum sempurna. Kutipan ini menggambarkan suasana saat para buruh perkebunan berkumpul di Pendopo Tenger Agoeng dalam rangka pendistribusian pakaian.

“Sekitar dua ratus buruh harian Sunda, laki-laki, perempuan dan anak-anak, tersebar di tangga pendopo, di bawah naungan beranda, dan di seluruh halaman. Itu adalah pemandangan yang penuh warna dan aneh. Sekilas seluruh penonton budjang tampak terdiri dari pengulangan-pengulangan yang berjenis sama. Wajah kasar, jubah abu-abu usang, adalah satu-satunya hal yang terlihat saat pertama kali melihat sekeliling. Pengamatan yang lebih teliti segera mengajari saya bahwa rona coklat-kuning, yang tampaknya dituangkan ke seluruh kerumunan, menawarkan kekayaan corak dan variasi warna-warni, yang tampak berlipat ganda setiap saat.

Di latar depan sekelompok perempuan berjongkok, beberapa membawa bayi telanjang dalam gendongan; beberapa dengan rambut acak-acakan dan lebat di sekitar wajah bulat yang menghadap ke tanah dengan malu-malu; beberapa dengan rambut diikat rapi dan tudung usang namun dicuci cerah; beberapa di antara mereka akhirnya mengenakan sarung yang ditarik sembarangan ke dada mereka sebagai satu-satunya pakaian mereka, dan terlihat jelas tanda-tanda kerusakan pada makhluk kurus itu.”

Huis in de omgeving van onderneming Tenger Agoeng in de Pamanoekan en Tjiasemlanden (KITLV)

Jika Bandung memiliki Bosscha, seorang filantropis, maka Subang saat itu memiliki P.W. Hofland. Saya kutipkan tulisan dari “Short history of the Pamanoekan and Tjiassemlands”.

“P.W. Hofland membawa periode kemakmuran besar ke Tanah P&T, terutama dalam hal budidaya kopi. Ia bukan hanya seorang petani yang baik, tetapi juga memiliki pandangan yang baik terhadap sarana transportasi di propertinya. Di bawah pengawasannya, berbagai jalan dan jembatan diperbaiki. Selain itu, ia meringankan beban heerendienst (kerja paksa) pada penduduk. Ia mendirikan pasar, tempat penduduk bisa membeli barang lebih murah daripada dari pedagang Tionghoa. Ia juga mendirikan Sekolah Desa yang mengajarkan bahasa Melayu dan aritmetika.”

Schoolgebouw op de onderneming Tenger Agoeng in de Pamanoekan en Tjiasemlanden (KITLV)

Kemeriahaan Tenger Agoeng dahulu tampaknya tidak bisa kita rasakan lagi sekarang. Jejak-jejak masa lalu itu hilang tak berbekas. Rumah-rumah yang megah lenyap tergilas waktu. Hanya tinggal tersisa tulisan dari Jan Ten Brink, seorang pelancong Tenger Agoeng di masa lalu dan juga sisa peninggalan dari kompleks permakaman orang-orang yang pernah hidup di Tenger Agoeng, salah dua yang dimakamkan di sana adalah istri dan anak dari J.T. Hofland.

MAKAM TENGER AGOENG

Setelah bertempur dengan belokan-belokan tajam dan lembah-lembah yang curam kami berbelok kanan ke arah utara. Di lokasi ini terdapat tempat penyimpanan bambu yang diletakkan bertumpuk begitu saja di sisi kanan kiri jalan. Jadi jalan yang kami lewati hanya pas untuk satu motor saja, itupun harus hati-hati, karena bila tidak fokus kaki akan tersenggol bambu, kan tidak lucu ya..

Tak lama kami melihat makam-makam warga lokal yang terletak di kanan jalan. Penempatannya dilakukan menyesuaikan dengan kondisi jalan yang sempit. Makam-makam itu berupa batu-batu tipis dan batu panjang yang menjadi penanda makamnya. Melihat dari bentuknya, rasanya makam-makam ini merupakan makam tua. Tapi apakah lebih tua dari makam orang-orang Belanda yang dahulu meninggali Tenger Agoeng? Ataukah posisi makam Belanda atau kerkhof itu sebenarnya mengikuti permakaman warga lokal yang sudah ada sebelumnya? Aku tidak tahu, hehe. Lalu kami tiba di lokasi makam Tenger Agoeng atau kerkhof atau makam Belanda yang jadi tujuan utama. Kami parkirkan motor di belakang alang-alang yang sudah sangat tinggi, di depannya terhampar sawah yang cukup luas. Dari sini sudah bisa terlihat makam dari istri dan anak J.T. Hofland.

Makam Istri J.T. Hofland dan anaknya (Genealogische en heraldische gedenkwaardigheden betreffende Europeanen op Java)

Makam istri dan anak J.T. Hofland tersebut tampak berbeda dibanding makam-makam lain di sekitarnya. Kondisinya lumayan baik dan megah, struktur dari makam tersebut masih utuh, meskipun patung yang dahulu bertengger di atas makam sudah raib, hilang entah ke mana.

Kami mencoba melihat makam tersebut dari dekat. Tertulis di bagian selatan makam:

  1. Hier rust / Maria Elisabeth / van Lawick van Pabst / geboren den 25 Mei 1842 / overleden den 17 November 1871 / echtgenoote van / Johannes Theodorus Hofland.
  2. Hier rust / Francis Theodore Hofland / geboren den 29 Mei 1860 / overleden den 29 Augustus 1860.

Pada salah satu sudutnya terlihat seperti adanya suatu bagian yang bisa digeser keluar dan masuk entah untuk apa. Dengan struktur makam yang permanen tapi ada satu bagian yang bisa digerakkan, rasanya makam ini spektakuler. Bentuk makam ini harusnya memiliki arti tertentu, hanya satu bagian yang bisa saya artikan yaitu simbol karangan bunga (krans) yang memiliki arti tanda dukacita, untuk mengingat kematian. Bentuk lingkaran dari rangkaian bunga tersebut melambangkan keabadian.

Selain makam ini sebenarnya ada makam-makam lain seperti yang tertulis dalam buku “Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigheden Betreffende Europeanen op Java”. Tetapi makam-makam tersebut sudah tidak dapat diidentifikasi karena marmer-marmer penanda makamnya hilang. Makam-makam ini strukturnya sudah rusak, bata penyusunnya dalam kondisi buruk, cuil di sana sini. Alang-alang liar yang tinggi juga menutupi kompleks permakaman.

Makam-makam ini merupakan suatu kepingan jejak-jejak masa lalu yang tersisa di Tenger Agoeng. Tinggal tugas orang-orang sekarang ini untuk menjaga agar jejak terakhir dari keramaian Tenger Agoeng ini tidak musnah. Tenger Agoeng, sebuah kawasan yang digambarkan di dalam peta karya Junghuhn sekitar abad 19 – dengan ukuran font yang cukup besar – menandakan  kawasan ini penting saat itu. Cukup sekian dulu saja surat, eh tulisan, saya ini. Semoga bermanfaat bagi para pembaca dan berkenan di hati, terima kasih dan salam. ***

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *