
Van der Meer dan Sukarno. Arsip Yayasan Teh dan Arsip Keluarga Hindia Belanda, Van der Hucht dkk (SITFA).
Tulisan ini merupakan lanjutan tulisan dari “Arsitek Rumah Bosscha” dua tahun lalu.
Rasa penasaran tentang Rumah Bosscha akhirnya menemukan jawaban melalui tesis magister Wijnt van Asselt Herinneringen bij de thee (2021). Ia menelusuri dinamika antara budaya ingatan dan sejarah kolonial keluarga teh Kerkhoven di Jawa Barat.
Dalam arsip SITFA: “Salah satu temuan menariknya berasal dari seorang keturunan Indo-Eropa Karel Albert Rudolf Bosscha, administrator Malabar. Ia mengaku lebih merasa sebagai cucu Bosscha daripada sebagai turis. Ketika berkunjung ke Malabar, ia merasa terganggu melihat para wisatawan berada di rumah yang ia yakini sebagai rumah kakeknya. Namun, rumah yang ia kunjungi ternyata bukan rumah asli Bosscha. Rumah Bosscha lama hancur dan dibakar pada tahun 1947 saat perang dekolonisasi. Bangunan yang ia lihat adalah rumah baru yang dibangun sepeninggal perang — oleh Henk van der Meer.” Temuan ini memperlihatkan bagaimana fakta dan fiksi dapat bercampur melalui ingatan keluarga dan arsip Sitfa.
Dengan demikian, besar kemungkinan Bosscha tidak pernah tinggal di bangunan yang kini dikenal sebagai Rumah Bosscha. Foto Bosscha dengan meja kerjanya tampaknya diambil di rumah lamanya yang telah hancur.
Hendrik Johannes van der Meer

H.J. v.d. Meer atau Henk van der Meer lahir 2 April 1895, ia tutup usia 6 Mei 1996 dan dimakamkan di Bilthoven, Belanda. Namanya sekarang diabadikan menjadi nama sebuah taman di depan pabrik baru Tanara-Malabar. Bisa jadi karena jasanya terhadap Perkebunan Tanara-Malabar apa lagi saat itu ia menjadi Administratur Tanara dan berhasil membangun ulang Pabrik Tanara yang sempat hancur saat perang.
Perkebunan Tanara–Malabar sendiri dirintis oleh K.A.R. Bosscha pada 1896 bersama Ir. R.A. Kerkhoven, yang membuka hutan dan mendirikan dua pabrik teh serta pembangkit listrik Cilaki. Setelah Kerkhoven (1926–1935) dan E.H. Ermeling (1935–1942), Van der Meer masuk sebagai administrator pada tahun 1947. Van der Meer bukanlah orang baru di Tanara-Malabar. Kariernya dimulai jauh sebelumnya: petani di Gedeh (1916), lalu administrator Ciseureuh, Sindanglaya (1922–1930), dan sejak 1931 menjabat administrator Malabar.

Dalam dokumenter De Nieuwe Heren van de Thee (1995), Van der Meer tampil sebagai satu-satunya sosok yang berbicara tentang kerja sama dengan orang Indonesia sebelum perang. Ia bersahabat dengan pekerja lokal dan terlibat dalam gerakan progresif De Stuw, yang mendukung aspirasi nasionalis Indonesia.
Ia berkata:
“Bosscha sangat berorientasi sosial dan memiliki rasa kepedulian yang besar terhadap tanah dan penduduknya… Ia bekerja ke arah kerja sama dengan orang Indonesia. Tidak semuanya melakukan hal itu.”
Pernyataan “tidak semuanya” mengisyaratkan adanya perbedaan sikap dalam keluarga-keluarga pemilik kebun. Ketika pembawa acara ’s-Gravesande menanyakan kepadanya apakah Kerkhoven juga bersikap sosial seperti itu. Jawaban Van der Meer adalah afirmatif, tetapi tidak jelas bahwa yang dimaksud adalah Rudolf Albert Kerkhoven, putra tertua Rudolph Eduard Kerkhoven. Tidak disebutkan bahwa adik bungsunya, Karel, memiliki pandangan yang sangat berbeda. Dalam beberapa surat, Karel Felix Kerkhoven mengungkapkan rasa muaknya terhadap kerja sama yang setara dengan orang Indonesia. Secara khusus ia mengecam Van der Meer:
“Saya tidak suka menjalin kontak dengan keluarga Van der Meer… ia bertahun-tahun bekerja dengan ceria bersama Soekarno dan kawan-kawannya… orang-orang yang merampas sebagian besar harta yang sangat saya sayangi…”
Istrinya, Cornelia Kerkhoven-Wiechert, menulis kepada anak-anaknya di Belanda:
“Ayah sangat kecewa pada Sang Ratu yang memberi tanda kehormatan kepada para pengkhianat bangsa seperti Van Mook dan Koets… itu sangat buruk.”
Bagi Karel, kerja sama setara dengan orang Indonesia tidak mungkin, karena ia berpegang pada keyakinan rasis bahwa ras tidak boleh disamakan.
Namun justru kontras dari pandangan Karel inilah yang menunjukkan sikap Van der Meer yang lebih berpihak pada kemanusiaan — bahkan pada cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Dalam sebuah kenangan tentang kapitulasi Hindia Belanda kepada Jepang, Van der Meer menulis:
“Saya rasa saya belum pernah merasa semalu malam itu… gengsi Belanda yang dibangun berabad-abad runtuh dalam semalam.”
Menurut sejarawan Caroline Drieënhuizen, rasa malu ini menunjukkan bahwa Van der Meer adalah bagian dari komunitas emosional kolonial — sebuah kelompok yang identitas kolektifnya runtuh di hadapan sejarah. Rasa malu muncul ketika seseorang merasa harus menanggung apa yang dilakukan kelompoknya.
Kini, kunjungan ke Rumah Bosscha memunculkan pengalaman nostalgia yang berbeda. Rumah itu bukan tempat Bosscha bermukim, melainkan simbol memori kolonial yang dibangun kembali oleh Van der Meer setelah perang. Di satu sisi, rumah itu menghadirkan romantisasi kolonial; di sisi lain, ia memanggil ingatan tentang seorang administrator yang justru bekerja sama dengan bangsa Indonesia dalam masa-masa sulit.
Seperti ungkapan dalam teori memori:
“Decolonisation brought a doubling of nostalgia and produced nostalgia for nostalgia.”
Dekolonisasi melahirkan nostalgia ganda—kerinduan terhadap masa lalu, dan kerinduan terhadap kerinduan itu sendiri.
Di Tanara–Malabar, nostalgia itu terasa sangat nyata: terjalin dalam reruntuhan rumah lama, dalam bangunan baru, dalam surat-surat keluarga dan dalam jejak seorang administrator bernama Henk van der Meer yang kisahnya perlahan kembali ke permukaan.
___________________________________________________
Sumber:
- Wijnt van Asselt, Herinneringen bij de thee (2021).
- Caroline Drieënhuizen, Emotie in de kolonie (2017).
- online-begraafplaatsen(dot)nl
- Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode 31-12-1955
- Arsip SITFA.