Oleh Dongeng Bandung
Tulisan bagian pertama sudah membicarakan secara ringkas latar belakang terjadinya Pemberontakan November 1926, mulai dari Revolusi Industri di Eropa, lalu terjadinya kelas-kelas ekonomi dalam masyarakat, efek-efeknya di wilayah Hindia Belanda yang berlanjut dengan kemunculan gerakan-gerakan perlawanan, sampai Konferensi Prambanan dengan keputusan untuk mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bagian kedua ini akan menyinggung sekilas-sekilas saja beberapa peristiwa pemberontakan yang terjadi di sejumlah tempat di Pulau Jawa dan Sumatra. Sebelum melanjutkan ke cerita jalannya pemberontakan, kami ingin mengulangi lagi istilah yang digunakan oleh sebagian pihak untuk menyebut peristiwa ini sebagaimana telah dituliskan di muka, yaitu Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang istilah itu, berikut ini kami kutipkan satu paragraf dari buku Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat (Depdikbu Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta, 1990) yang ditulis oleh tim beranggotakan Edi S. Ekadjati, Rosad Amidjaja, Didi Suryadi, dan Ena Sutarna.
Begini bunyinya: Untuk melaksanakan perlawanan bulan Nopember 1926, cara mempersiapkannya unik. Perlawanan itu seperti drencanakan oleh kaum komunias yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun kenyataannya banyak sekali yang melaksanakan perlawanan itu adalah alim ulama dan santri-santri yang sebenarnya sama sekali tidak mengenal ajaran komunis, terutama perlawanan yang terjadi di Banten. Sejak didirikannya Partai Komunis Indonesia pada tahun 1920, gerakan mereka menempuh cara yang disebut Cellenbouw memasuki Sarekat Islam, Sarekat-sarekat Buruh, Sarekat Rakyat, dan organisasi yang dianggap revolusioner. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Rapat Buruh Daerah Pasifik di Kanton bulan Juni 1924, yang dihadiri oleh Alimin dan Budisucipto. (Subbab “Gerakan Perlawanan Rakyat Jawa Barat Tahun 1926, hal 221-222).
Setelah salinan di atas, kemudian dikisahkan bagaimana organisasi Sarekat Buruh PKI pada bulan Maret 1924 membuat suatu kehebohan dengan menggulingkan kereta api jurusan Bandung-Surabaya di Rancaekek. Lalu pada bagian penutup subbab ini ditulis: Di Pulau Jawa pemberontakan yang disponsori PKI meletus pada bulan Nopember 1926. Perlawanan itu bergerak di daerah Jawa, Banten, dan Priangan.
Lanjutannya, kami ambil dari buku Kemunculan Komunisme di Indonesia. Penerbitan pasal 153 bis dan ter yang membatasi gerakan PKI, berlanjut dengan penutupan media revolusioner dan larangan resmi terhadap cabang-cabang PKI dan Sarekat Rakyat. Jadi, walaupun statusnya resmi, namun PKI secara efektif telah menjadi suatu gerakan bawah tanah. Mereka tidak dapat lagi menggelar pertemuan atau menyatakan diri secara terbuka. Atribut bergambar palu arit pun dilarang. Masih di bulan Mei markas PKI dipindahkan ke Bandung dengan tujuan untuk mempersulit pemerintah melakukan pengamatan kegiatan partai. Selain Batavia, Bandung ketika itu merupakan satu-satunya kota besar di mana PKI masih relatif utuh dan bisa agak leluasa untuk melakukan kegiatan berkumpul.
Dalam minggu terakhir bulan Juni diadakan sebuah pertemuan di markas besar untuk mengevaluasi kesiapan melakukan langkah-langkah revolusioner. Ternyata hanya ada empat cabang yang siap untuk pemberontakan: Batavia, Banten, Priangan, dan Sumatra Selatan. Dalam perjalanan pulang, pemimpin PKI Sumatra, Jamaluddin Tamin mampir ke Singapura, bertemu dan berdiskusi dengan Tan Malaka. Ternyata ia bersepakat dengan pendapat Tan Malaka yang menolak rencana pemberontakan, dan bersama Subakat, agen PKI Singapura, menulis surat ke markas PKI untuk menentang keputusan Prambanan.
Situasi ini menimbulkan keraguan dari banyak cabang PKI di Jawa dan Sumatra. Di kalangan eksekutif PKI pun perasaan kurang yakin ini terjadi dan memperlunak sikap dengan mengatakan bahwa tujuan utamanya bukanlah membuat revolusi, melainkan sekadar pemogokan umum yang bisa saja berlanjut menjadi pemberontakan bila terbukti sukses dan ada bantuan dari Rusia. Pada 22 Agustus dewan eksekutif PKI bertemu di Bandung dan memutuskan akan mengirim utusan ke seluruh cabang untuk membahas usulan Tan Malaka seraya memperingatkan agar tidak melakukan aksi sendiri-sendiri.
Beberapa cabang menunjukkan sikap yang berbeda, terutama dari pesisir utara Jawa seperti Tegal, Cirebon, dan Pekalongan. Tegal terlihat paling tidak sabar ingin segera beraksi, terutama karena ada alasan untuk melakukan pembalasan atas kematian ketua VSTP Sugono yang merupakan saudara dari Suleiman, pemimpin PKI Tegal saat itu. Cabang Tegal mengajak cabang-cabang sekitarnya dan eksekutif pusat untuk tidak menunda lagi rencana pemberontakan di pesisir utara Jawa dengan tujuan membunuh orang-orang Eropa dan para pejabat pemerintah. Untuk membahas rencana ini, anggota eksekutif Bandung bersama cabang Pekalongan, Tegal, dan Cirebon mengadakan pertemuan di sawah di luar kota Tegal pada 22 Agustus malam.
Dari pertemuan Tegal itu diputuskan untuk mengadakan pembicaraan lebih lanjut dengan mengirimkan wakil-wakil cabang pesisir utara ke Bandung untuk melakukan debat dengan eksekutif di sana. Sampai beberapa upaya berikutnya, tetap tidak ada keputusan bulat, bahkan setelah jajak pendapat pada pertengahan September, cabang Tegal tetap pada sikapnya semula, ditambah satu cabang kecil dari Temanggung. Di Batavia terjadi perkembangan baru, akibat gagalnya rencana pemberontakan, sejumlah orang komunias menjadi tidak terkendali emosinya dan akibatnya terjadi penangkapan-penangkapan. Setelah dibebaskan, mereka merasakan semangat berontak yang tetap tinggi, apalagi sekarang diiringi rasa sakit hati karena perlakuan kasar dari polisi.
Pada akhir Agustus, wakil ketua cabang Batavia, Sukrawinata, membuat rencana sendiri untuk pemberontakan dan menganggap bahwa serangan terhadap ibu kota akan memberikan pengaruh luas dan bisa membakar semangat cabang-cabang di seluruh negeri. Ia pun membuat Komite Revolusi dengan tujuan mengadakan demonstrasi kekuatan kaum komunis revolusioner. Pada 13 September ia mengadakan pertemuan di Batavia bersama para pemimpin lain dari Jawa dan wakil-wakil dari Sumatra yang hasilnya adalah membentuk satu kelompok rahasia dengan nama Komite Penggalang Republik Indonesia. Dalam bukunya, Ruth McVey merumuskan bahwa pada akhir bulan September 1926 itu terdapat tiga otoritas berbeda dalam PKI: Tan Malaka di Selat Malaka, Komite Revolusioner di Batavia, dan markas resmi PKI di Bandung.
Setelah pertemuan di atas, pada 6 November para pemimpin yang bersepakat tetap menjalankan rencana pemberontakan berkumpul di Cirebon untuk melakukan pengaturan akhir. Ditentukan Herujuwono yang akan memimpin di Jawa Barat, Salimun dan Abdulmuntalib untuk Jawa Tengah, Mohammad Ali di Jawa Timur, dan Dahlan di Batavia. Tanggalnya sudah ditentukan juga, yaitu pada 12 November malam dan saat itu seluruh Jawa dan pesisir barat Sumatra akan bergerak. Markas revolusioner ditetapkan di Cirebon yang saat itu agak longgar dari pengawasan polisi. Segera setelah ini, para pemimpin revolusi bergerak ke daerah komandonya masing-masing. Instruksi final akan diberikan dalam waktu 24 jam sebelum pemberontakan dimulai.
Cabang Bandung yang sebelumnya sudah mengirimkan edaran ke seluruh cabang PKI untuk mencegah aksi November dan memberikan perintah untuk melakukan pembersihan partai berujung sia-sia. Pada 10 November seksi Priangan dan subseksi Bandung melakukan referendum untuk memilih eksekutif baru yang antipemberontakan dan terpilih sebagai ketua adalah Suprojo. Sementara itu, Abdulmuntalib yang memegang komando Jawa Tengah, tidak dapat berbuat banyak di Semarang karena berada dalam penguntitan ketat oleh polisi, sehingga pada 12 November ia memutuskan kembali ke Tegal dan menginap di sebuah penginapan Cina.
Polisi yang mengawasi Abdulmuntalib mendapatkan seorang perempuan yang muncul mencari pemimpin PKI dan darinya polisi menemukan instruksi pemberontakan Jawa Tengah. Dengan segera polisi menangkapi para pemimpin di daerah itu dan melakukan pencegahan di daerah-daerah: Pekalongan, Tegal, Cirebon, dan Temanggung. Tanggal 12 November malam berlangsung sepi di sana, tidak ada tanda-tanda pemberontakan. Demikian juga di Surabaya dan Semarang yang menjadi sumber kekuatan PKI, serta Yogyakarta, Madiun, dan Magelang, berlangsung senyap.
Keadaan berbeda terjadi di Priangan dan di Batavia. Sebenarnya banyak koran yang kemudian memberitakan apa saja yang terjadi pada malam 12 November dan hari-hari selanjutnya di Priangan, Batavia, dan Banten, namun di sini kami ambil saja kisahnya yang sudah terangkum dalam buku Pemberontakan November 1926. Peristiwa pertama terjadi di pusat pemerintahan kolonial Belanda, yaitu Batavia. Comite Pemberontak di sini terdiri dari, antara lain, Sukrawinata, Kamari, dan Ny. Sukaesih. Arak-arakan dengan jumlah lebih dari 200 orang berjalan dari Kampung Karet menuju Koningsplein. Sudah direncanakan untuk merebut dan menduduki tempat-tempat penting seperti kantor telepon, sarana transportasi, dan pusat-pusat persenjataan.
Arak-arakan lain datang dari arah Mangga Dua yang saat melewati Soceteit Harmoni terpergok oleh pasukan patroli milter hingga terjadi bentroka senjata. Rombongan lain datang dari arah Tanah Abang Barat menuju Stasiun Tanah Abang dan bertemu dengan dua orang reserse sehingga terjadi bentrokan. Kedua reserse itu tewas dalam perkelahian. Seorang polisi lain juga tewas di Gang Scott saat berpapasan dengan suatu arakan.

Lewat tengah malam, suatu rombongan datang ke Glodok dan melakukan penyerangan ke markas polisi dan kantor telepon. Massa membawa senjata golok dan klewang. Sekelompok serdadu Belanda memergoki massa ini dan terjadi saling tembak di antara mereka. Sekelompok serdadu lain di bawah pimpinan Kapten Dumond mendatangi lokasi keonaran untuk merebut kantor telepon yang sudah diduduki massa. Karena unggul dalam senjata, para serdadu berhasil mengusir massa dan merebut kembali kantor telepon. Dalam peristiwa ini empat orang terluka dan dua puluh orang ditangkap.
Kelompok massa lain mendatangi pos polisi Pejagalan, tapi gagal mendudukinya. Jalanan yang menjadi jalur penghubung para serdadu Belanda seperti di Tanjungpriok dan Tangerang diberi rintangan dan dihadang oleh kelompok massa. Malam harinya terjadi bentrokan senjata yang mengakibatkan beberapa serdadu terluka dan empat orang dari massa ditangkap.
Di Meester-Cornelis, massa yang sebagian merupakan penduduk Kampung Melayu, berkumpul dan bergerak dari Pulau Gadung menuju rumah asisten wedana dengan membawa senjata api, golok, pedang, tombak, dan macam-macam senjata lainnya. Rumah asisten wedana yang dikenal bengis itu diserbu, tetapi orangnya sedang tidak ada di tempat. Sebagian dari massa lantas bergerak ke rumah asisten residen, tapi tempat itu sudah dijaga oleh polisi dan serdadu, akibatnya beberapa orang dari massa ditangkap.
Penduduk Desa Cengkareng di Tangerang bergerak ke pusat kota pada pukul sepuluh malam, namun dalam perjalanan bertemu dengan patroli serdadu sehingga terjadi bentrokan. Tujuh orang penduduk tertangkap. Di Kampung Karet, sejumlah besar penduduk melakukan arak-arakan dalam gelap malam menuju Koningsplein dan mengakibatkan terjadinya bentrok dengan petugas polisi di sekitar jembatan gantung Menteng Dukuh. Satu petugas polisi tewas dikeroyok. Tujuh orang dari massa ditangkap.
Di Nagreg, Garut, orang-orang menyerang polisi dan aparat desa, termasuk camat. Paling sedikit, seorang petugas polisi tewas akibat serangan ini, sementara yang lainnya mengalami luka-luka. Dari peristiwa ini ada empat orang yang ditangkap. Seorang Tionghoa bernama Beng Sanberaal, warga Leles, ditangkap karena perbuatannya merusak jalur kereta api di Citiis, dekat Nagreg. Di Bandung dan di Cimahi, rencana penyerangan berhasil digagalkan oleh aparat pemerintah.

Kerusuhan di Banten berlangsung lebih lama dibanding di daerah lain. Setelah Pertemuan Prambanan yang merencakan suatu pemberontakan, Comite Seksi PKI Banten membentuk Comite Pemberontak yang terdiri dari anggota seksi ditambah anggota lain, di antaranya Achmad Chatib, Entol Enoch, Haji Mukri. Sasaran pun ditentukan, yaitu aparat pemerintah kolonial, kaum feodal yang jahat serta semua agennya. Selain itu direncanakan untuk merebut semua alat komunikasi untuk memutus hubungan dengan daerah lain. Kelompok massa berasal dari kaum tani dan buruh. Tanggal sudah ditetapkan, yaitu 12 November 1926.
Pagi hari12 November, rumah pos polisi di Cening diserang massa, seorang komandan dan agen polisi terbunuh. Wedana Cening dan seorang reserse yang dikenal kejam, terluka berat akibat serangan massa. Malamnya, Kawedanaan Menes dan Caringin diserbu. Jalur-jalur komunikasi berhasil diputus. Wedana Menes dan dua orang aparat polisi tewas dalam penyerangan ini. Wedana Caringin berhasil lolos, namun seorang reserse tewas. Kawedanaan Labuan dapat direbut massa pada malam 12 November, namun keesokan harinya serdadu Belanda datang untuk merebut kembali dan terjadi tembak menembak. Rumah asisten wedana Labuan diserang massa dan pada saat bersamaan, tak jauh dari situ, di depan rumah Kiai Caringin terjadi bentrokan bersenjata antara kelompok polisi dan massa.
Malam tanggal 13 November massa mendatangi rumah asisten wedana Petir yang ternyata telah dijaga oleh serdadu Belanda, terjadi tembak menembak dalam jarak dekat, namun karena kalah kekuatan, massa itu dapat dipukul mundur. Di tempat lain, bentrok bersenjata juga terjadi di Pagelaran dan Bejengcanar.
Tanggal 15 November, jembatan penghubung antara Menes dan Labuan dihancurkan oleh massa. Jembatan yang jadi jalur penting militer penghubung antara Pasar Tanjung dengan Jambu dan Pamerajaan juga dirusak dan dipasangi pengahalan dari pohon-pohon besar yang ditebang serta galian-galian lobang besar di tengah jalan.
Tanggal 15 November massa sempat menguasai kota Labuan, serombongan tentara di bawah pimpinan Becking didatangkan dari Menes dan terjadi pertempuran besar, namun karena kekuatan dan persenjataan, massa berhasil dipaksa keluar dari Labuan. Tanggal 16 jalur-jalur kereta api dibongkar oleh massa, sehingga hubungan antara Labuan dengan Menes terputus, dan selama dua hari berikutnya massa terus menerus menyerang kota Labuan yang sedang dalam penjagaan becking dan pasukannya.
Di Pandeglang, rumah bupati dan rumah komandan detasemen polisi diserang massa. Setelah tembak-menembak, massa yang kurang kekuatan dapat dipukul mundur. Ada banyak korban dari kedua belah pihak. Tanggal 17 di dekat Desa Balma, Pasirtengah, terjadi tembak-menembak yang berlangsung cukup lama antara serdadu Belanda dengan massa. Dari kelompok massa jatuh seorang korban. Keonaran demi keonaran di wilayah Banten terus berlangsung selama satu bulan, walaupun umumnya menemui kegagalan. Semuanya dapat dipatahkan oleh aparat kolonial.
Di Priangan Tengah, pos polisi Nacik diserang massa dan menyebabkan seorang polisi luka-luka. Sementara itu, rel kereta api Rancaekek dibongkar orang sehingga lalu lintas serdadu terputus. Rumah kepala desa di Batujajar yang dikenal kejam juga diserang dan dibakar oleh massa. Kejadian serupa terjadi juga di Cimahi. Di Cisarua dan Padalarang juga massa bergerak menyerang rumah-rumah aparat pemerintah seperti di Cisarua dan Padalarang. Di tempat terakhir ini terjadi tembak menembak yang mengakibatkan sejumlah korban.
Di Garut, beberapa jembatan, seperti penghubung dengan Bandung, dan di Citiis, dirusak sehingga jalur transportasi serdadu terputus. Di Ciamis, bupatinya yang dikenal kejam ikut turun ke jalan mempimpin polisi melawan massa dan terjadi perkelahian di Alun-alun. Keunggulan dalam persenjataan berhasil memukul mundur para pemberontak. Di Tasikmalaya, orang menggunakan bom untuk meledakkan gedung-gedung pemerintah, namun aparat pemerintah berhasil menangkapi para pemimpin massa.
Secara umum, seluruh upaya pemberontakan dari masyarakat terhadap aparat pemerintah di Priangan dapat ditanggulagi oleh pemerintah. Begitu juga dengan pemberontakan yang sama yang terjadi di daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, semuanya dapat dipadamkan oleh aparat pemerintah kolonial. Aksi-aksi ini terjadi di seluruh Pulau Jawa secara intense selama satu bulan lamanya, setelah itu masih terus terjadi aksi-aksi kecil yang tersebar di beberapa tempat sampai bulan-bula berikutnya.
Di bulan Januari 1927 pemerintah kolonial membentuk suatu komisi untuk menyelidiki sebab-sebab terjadinya pemberontakan di banyak tempat itu serta membuat usulan mengenai apa yang harus dilakukan oleh pemerintah. Komisi ini antara lain terdiri dari E. Gobes, Renneft, dan Sumitro Kolopaking.
Pada bulan yang sama, terjadi keonaran yang lebih besar, di Silungkang, Sawahlunto. Sampai tahun 1924 di Sumatra Barat sudah ada Comite Seksi PKI di daerah-daerah Padang Panjang, Koto Laweh, Payakumbuh, Sungai Sarik, Lubuk Basang, Silungkang, Bukit Tinggi, Muara Labuh, Sawah Lunto, dan beberapa daerah lainnya. Sarekat Islam yang sudah pecah pun sudah menjelma Sarekat Rakyat Sumatra Barat. Setelah reorganisasi pada tahun 1924, dalam kepengurusan PKI Sumatra Barat terdapat Datuk Mangkudun Sati sebagai ketua dan Saleh Jafar sebagai sekretaris. Anggotanya, Mahmud, Sutan Palembang, dan Baharudin Saleh. Menjabat sebagai Hoofd-Bestuur Sumatra adalah Sutan Ali Said.
Walaupun sebagian besar rakyat Sumatra Barat adalah pemeluk Islam, namun saat itu cukup terbuka bagi berdiri dan meluasnya PKI serta organisasi revolusioner lainnya. Lebih dari sepuluh koran yang bercorak revolusi terbit di sana, di antaranya Suara Tambang, Sasaran Rakyat, Torpedo, Petir, Jago-Jago, dan Panas. Kalangan pendukung PKI bukan hanya datang dari lapisan buruh dan tani, tapi juga dari kaum borjuis kecil, kepala suku-kepala suku, guru-guru silat, guru agama, bahkan juga serdadu KNIL seperti Mayor Latubesi, Sersan Mayor Latulahela, dan pos militer Sawah Lunto.
Sebagai kelanjutan dari Konferensi Prambanan, hoofd-bestuur Said Ali langsung menyampaikannya kepada pemimpin PKI Sumatra Barat, dan setelah itu ke Medan untuk mengelola jalur-jalur komunikasi.
Comite PKI Sumatra Barat menyepakati keputusan Prambanan dan menugaskan Mangkudun Sati untuk membentuk Comite Pemberontak dan mengadakan persiapan-persiapan yang diperlukan. Setelah berkoordinasi dengan Batavia dan Bandung, Mangkudun Sati menerima tugas untuk mencari dana, senjata, dan perbekalan untuk pelaksaan rencana pemberontakan. Semua tugas ini dapat dilaksanakan dengan baik olehnya, termasuk mendapatkan persenjataan dari seorang Jerman yang berdinas sebagai wakil administratur tambang batubara Sawah Lunto. Dari seorang Belanda, direktur toko senjata Bouman, ia dapat membeli sejumlah senjata secara gelap, juga dari Mr. van Eck di Medan. Keperluan senjata tambahan didapat dengan membuat sendiri, termasuk granat-granat tangan dengan mesiu yang dibeli dari toko obat di Batavia dan Surabaya. Menjelang akhir 1926, sudah terkumpul sekitar 1000 pucuk senjata. Tinggal menunggu komando.
Penangkapan-penangkapan yang terjadi menjelang dan sekitar 12 November di Jawa berakibat juga pada terhambatnya komunikasi dengan Comite PKI Sumatra Barat. Mereka baru dapat mengadakan rapat besar pada pertengahan bulan Desember di Padang Panjang, setelah pemberontakan di Jawa berlangsung hampir satu bulan. Dalam rapat ini diputuskan untuk melakukan pemberontakan pada tanggal 1 Januari 1927 dan akan dimulai di Sawah Lunto yang memang banyak pendukungnya, termasuk beberapa serdadu KNIL. Mengenai pukul berapa aksi dimulai, akan dikabarkan kemudian.

Tanggal 31 Desember, utusan Comite berangkat ke Sawah Lunto untuk menyampaikan bahwa pemberontakan akan dimulai pukul 24.00, tetapi saat singgah di Silungkang, ia ditahan pergi karena Comite Silingkang yang sudah sangat bersemangat ingin agar ia menyaksikan lebih dulu aksi mereka. Saat itu juga mereka bergerak menangkapi aparat pemerintah kolonial, di antaranya pembantu Demang, guru kepala dan guru bantu. Dengan begitu, aksi pemberontakan meletus di Silungkang beberapa saat sebelum waktu yang sudah ditentukan.
Konon setelah aksi itu Kampung Silungkang sampai kosong melompong. Dengan bekal senjata yang ada mereka bersembunyi di bukit-bukit seraya melakukan penyerangan ke tambang Ombilin, juga menyerang kereta api yang mengangkut perempuan dan anak-anak Eropa dari Solok. Rumah kepala stasiun kereta dibom, orang-orang Tionghoa kabur karena tidak ingin terlibat dalam perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Rumah-rumah penduduk dibakar, jaringan kabel telegraf dirusak, sehingga diberlakukan situasi darurat militer dan Kota Padang dijaga ketat. Sebuah berita koran menyebutkan ada 20 orang warga yang menyerang kereta api ditemukan tewas di sekitar kawasan serangan jalur kereta api Sawahlunto.
Tembak menembak segera terjadi di beberapa tempat, termasuk di pos polisi Muara Klaban. Penduduk Padang Sibusuk dan Tarung-tarung dari Solok juga berusaha masuk dan menyerang Sawah Lunto. Asisten Residen yang berada di Sawah Lunto turun langsung ke lapangan memimpin pasukan polisi. Pada dini hari ia berjalan dengan pasukannya menuju Muara Klaban dan dari situ naik kereta api ke Silungkang. Belum lagi tiba di stasiun, terjadi tembak menembak dengan para pemberontak yang sudah menduduki stasiun. Walaupun berhasil memukul mundur para pemberontak, Asisten Residen memutuskan untuk kembali ke Sawah Lunto untuk mengumpulkan tambahan bantuan.
Rumah kepala dinas BOW, Leurs, diserbu massa dan ia terbunuh saat melakukan perlawanan. Sementara itu bantuan polisi terus berdatangan dari Padang Sibusuk dan Tanjung Ampelu dengan mengendarai mobil, bus, dan truk. Jalur-jalur kereta api turut dipreteli paku-pakunya agar tidak dapat digunakan sebagai angkutan serdadu. Tembak menembak terjadi antara penjaga terowongan Muaro dengan patroli serdadu. Lewat malam tanggal 3 Januari, di Padang Sibusuk para pemberontak baku tembak dengan patroli serdadu dan menewaskan kepala pasukan bernama Letnan Simon.

Pada hari yang sama, Asisten Residen mengepung pasar Padang Sibusuk dan menahan para pedagang dan pembeli yang umunya perempuan. Keesokan harinya Asisten Residen mengirimkan dua pasukan untuk menumpas seluruh gerakan di Padang Sibusuk. Korban berjatuhan cukup banyak dari kedua belah pihak. Hari berikutnya, polisi menangkap 96 orang yang diduga terlibat dalam gerakan.
Hampir setiap hari terjadi baku tembak antara kelompok pemberontak dengan serdadu atau polisi, di Kabun, Kota Baru, Solok, Sungai Lasi, Tanah Datar, Kota Padang, dan banyak daerah lainnya. Pertempuran besar dan kecil terus terjadi. Bom dipasang di mana-mana. Dari kancah pertempuran ini muncul seorang bernama Munap yang mendapatkan julukan Jendral karena keberaniannya memimpin pemberontakan. Gerakannya gesit, usai dari satu pertempuran di Sawah Lunto, dengan segera disusulnya dengan memimpin para pemberontak di Padang Sibusuk, dan dalam waktu singkat sudah bergerak lagi di Silungkang. Banyak orang kagum padanya. Namun sayang, ia gugur dalam pertempuran di pinggir jalan kereta api antara Padang Sibusuk dan Tanjung Ampelu. Ia gugur sebagai pahlawan bagi kaumnya dan hidup dalam kenangan mereka.
Di Bukit Pau Sembilan, seorang pemimpin gerakan legendaris bernama Sipatai juga gugur dalam perlawanan. Kepalanya dipotong dan ditancapkan pada sepotong bambu, lalu diarak ke sekeliling kota. Siroda yang tertangkap dibunuh oleh Demang Solok, Datuk Putih. Kelak, Datuk Putih, bersama dengan Syekh Jambek, mendapatkan binang jasa dari pemerintah kolonial.
Pemberontakan di Sumatra Barat berlangsung intense selama satu bulan lamanya. Setelah itu masih berlangsung berbagai pertempuran kecil di banyak tempat sampai bulan Maret 1927. Pemberontakan Sumatra Barat bernasib sama dengan di berbagai wilayah di Pulau Jawa, menemui kegagalan. Selanjutnya, masih berlangsung penangkapan di mana-mana. Kurang lebih 20 ribu orang ditangkap akibat dari upaya pemberontakan ini dan membuat penjara-penjara di Banten, Batavia, Bandung, Sukabumi, Tegal, Surakarta, Surabaya, sampai di Sumatra Barat, penuh sesak. Dari jumlah itu, kemudian 4500 orang dibebaskan karena tidak cukupnya bukti. Sisanya tetap ditahan antara 5-20 tahun, sebagian dikirim ke Digul.
Ada juga yang mendapat ganjaran hukuman mati, di antaranya: Egom, Dirja, dan Hasanbakri dihukum gantung di Penjara Ciamis, Haji Sukri dan lima rekannya digantung di Pandeglang, Kartawiryo dan Aman di Padalarang, Ojod di Nagreg. Di Sumatra Barat, Manggulung, Jusuf Kayo, dan Badarudin Gelar Bain dihukum gantung di Penjara Sawah Lunto, dst. Masih banyak proses lain yang berjalan sebagai akibat lanjutan dari peristiwa ini, tetapi yang pasti, dengan tumpasnya upaya di Sumatra Barat, tumpas pulalah seluruh rangkaian pemberontakan yang sering disebut Pemberontakan November 1926 ini. ***