Dongeng Bandung #12 Ngaleut Skena Underground di Bandung

oleh Irfan Pradana, Dongeng Bandung.

Pada sekitar tahun 1990-an hingga 2000-an, Kota Bandung menjadi surga bagi perkembangan musik Underground. Kala itu kota ini menjadi ruang bagi anak muda memproduksi segala hal yang berkaitan dengan subculture skena bawah tanah tersebut. Ruang-ruang itu tersebar di berbagai wilayah Kota Bandung yang kemudian saling berjejaring meskipun jurang perbedaan menganga di antaranya.

Minggu lalu, kami berkesempatan Ngaleut mengunjungi tempat-tempat yang dahulu pernah menjadi ruang berkumpul bagi para pegiat skena underground. Kegiatan ini merupakan salah satu bagian dari serial #Dongeng-Bandung yang selama 2 bulan belakangan rutin digelar oleh Toko Buku Rasia Bandoeng, bekerja sama dengan Komunitas Aleut dan Batagor Kajojo. Ngaleut ini merupakan kegiatan lanjutan usai #Dongeng-Bandung yang bertema “Arsip Musik Underground” digelar dua minggu sebelumnya.

Aleut-aleutan kali ini dipandu oleh para saksi sejarah sekaligus dokumentator skena Underground di Bandung. Mereka antara lain adalah Kimung, seorang sejarawan dan musisi yang belakangan aktif melakukan riset dan pencatatan sejarah perkembangan musik di Kota Bandung. Lalu ada Deden Erwin dari Alter.Naive, seorang dokumentator arsip poster pertunjukan musik di Bandung. Arsip-arsip koleksi Deden bisa dilihat melalui instagram “Dinding ini Milik Kami”.

Ada juga Alex Ari, vokalis band The Clown yang di Komunitas Aleut biasa dipanggil Mang Alek. Kemudian pendongeng yang terakhir adalah Ama, vokalis band Punk, Krass Kepala. Para pendongeng tumbuh besar dan mengalami masa-masa kejayaan skena Underground di antara tahun 90-an hingga 2000-an.

Balaikota

Kami memulai kegiatan Ngaleut dengan berkumpul di Taman Sejarah Kota Bandung. Lokasinya tepat berada di belakang bangunan Balaikota Bandung (Balkot). Pemilihan tempat ini sebagai titik kumpul adalah karena dahulu, sekitar awal tahun 90-an, Balaikota menjadi salah satu ruang bagi berkumpulnya para pelaku skena underground.

Taman Sejarah – Balaikota (foto: Komunitas Aleut)

Dongeng diawali oleh Kimung yang menceritakan bagaimana munculnya skena underground di Kota Bandung. Menurut Kimung, penyematan kata Underground kala itu merupakan cerminan dari bagaimana gerakan ini muncul.

“Bawah tanah, karena tidak ada di upper ground. Aksesnya terbatas sekali. Susah, dan gelap.”

Menurutnya saat itu musik-musik yang mereka dengarkan sulit sekali diakses melalui media arus utama (TV, Radio, toko kaset). Selain karena harganya mahal, tentu karena musik seperti itu sangat segmented

Kimung juga tidak memungkiri bahwa awal persebaran musik underground di Bandung dibawa oleh orang-orang yang secara ekonomi sangat berkecukupan. Mereka mempunyai uang dan akses untuk membeli kaset atau merchandise original dari band-band luar negeri. Dari sana penyebaran dilakukan melalui komunitas-komunitas, salah satunya di Balkot.

“Di tahun 90-an itu saya ingat Balaikota jadi tempat ngumpulnya barudak Hardcore.”

Genre musik yang spesifik kala itu menjadi salah satu pembeda antar ruang komunitas. Selain itu menurut Kimung, anak-anak Balkot saat itu terkenal “barersih kayungnyun”. Maksudnya anak-anak Balkot selalu tampil bersih jauh dari konsumsi rokok, alkohol, dan obat-obatan terlarang pada masanya.

Matak urang mah tara nongkrong di dieu.” Makanya saya gak pernah nongkrong di sini.

Berbicara mengenai Balkot, Deden Erwin merupakan salah satu saksi sejarah yang cukup lama menetap dan mengembangkan komunitas di tempat ini. Menurut Deden, Balkot sampai tahun 2010-an masih aktif menggelar pertemuan dan merancang kegiatan musik independen. Katanya waktu itu anak-anak Balkot dikenal cukup keras kepala memegang prinsip DIY (Do it Yourself) sehingga acaranya harus “steril” dari sponsor.

Purna

Kami beranjak dari Balkot dan berjalan beriringan menuju Jalan Purnawarman. Memotong dari gang di samping Museum Kota Bandung, sampai keluar jalan besar dan berhenti di depan gedung Institut Francais Indonesie – IFI Bandung. Kami berhenti di sini agar bisa menyaksikan bangunan Bandung Electronic Center (BEC).

Dulu sebelum BEC berdiri, terdapat sebuah tongkrongan underground yang oleh anak-anak zaman itu dinamai Purna Tengah. Jadi dahulu di sepanjang Jalan Purnawarman, setidaknya ada 3 ruang tongkrongan. Purna Bawah untuk kelompok musik Pop Punk, Purna Tengah untuk Grunge, dan Purna Luhur untuk genre Pop Alternatif.

Institut Francais Indonesie – IFI Bandung (foto: Komunitas Aleut)

“Di sini (Purna Tengah) mah kuatna barudak Grunge. Tapi banyak juga sih dari genre lain nongkrong di sini. Ada Metal, Punk, Grindcore, Industrial bareng-bareng di sini. Cuma memang Grunge yang paling kuat mah. Setiap tanggal kematian Kurt Cobain rutin diadakan acara tribute. Menyetel lagu-lagu Nirvana sambil mabuk. Ha ha ha”

Menurut Kimung, meskipun berbeda-beda referensi musik, semua orang mau berkumpul di sini karena memiliki kepentingan yang sama, yakni “drugs”. Di sini kala itu menjadi tempat di mana narkotika mudah sekali didapatkan. Kimung menambahkan alasan itulah yang mendorong dirinya dan almarhum Ivan Scumbag (Mantan vokalis Burgerkill) dulu lebih sering nongkrong di tempat ini.

“Saya diusir dari Ujungberung (karena jadi pemakai), jadi larinya ke sini.”

“Dulu di IFI juga ada cafe namanya Terminus. Jadi tempat nongkrong seniman-seniman Bandung kaya Tisna Sanjaya dan Iman Soleh. Ya, bisa dibilang tongkrongan di sini spektrumnya cukup luas. Apalagi ada intelektual dan seniman kaya yang saya sebut barusan.”

Sebelum berpindah, Kimung menambahkan ihwal mengapa “tongkrongan” musik seperti ini marak muncul di kala itu. Ia menyebut bahwa sulitnya akses ke genre-genre musik di luar sorotan media arus utama seperti Punk, Metal, Grunge, atau Hardcore jadi pemantik munculnya komunitas-komunitas ini.

Kan ari ngefans ka Kahitna mah babari, di TV jeung radio oge loba.”

Sebab jaringan komunikasi dahulu masih terbatas, maka diperlukan tempat untuk bertemu dan berbagi informasi. Tempat inilah yang menjadi ruang berbagi rilisan rekaman, zine, dan lain sebagainya.

Meski begitu, gerakan underground di Bandung saat itu juga mampu berjejaring secara global. Beberapa kali media independen dari Eropa meliput atau menuliskan mengenai acara komunitas di Bandung. Ini juga tidak bisa dilepaskan dari aktifnya para penggiatnya untuk berkorespondensi dengan komunitas-komunitas sejenis di luar negeri.

Setelah dari gedung IFI, kami ngaleut lagi sedikit ke arah utara. Menurut Kimung di sana dulu ada studio yang kadang dipakai sebagai tempat latihan oleh Erwin Moron, pentolan band Dr. PM. Selain itu ada juga Koil, dan Riff. Operator studionya adalah Toteng, gitaris dari band Forgotten.

Berkaitan tentang studio, terbatasnya jumlah studio band saat itu malah menjadi berkah tersendiri. Karena dengan begitu antar individu bisa saling bertemu dan berkenalan, apapun genre musiknya. Di sana terjadilah tukar menukar pengetahuan dan kemampuan seperti dituturkan oleh Ama:

“Dulu itu kalau mau musiknya bagus secara produksi, belajarnya sama Azis Jamrud, atau Jikun Riff. Atau nongkrong di studio ini.”

Kami melanjutkan perjalanan selanjutnya ke Taman Radio yang berada di Dago.

Taman Radio

“Saya 2 tahun tinggal di atas sana.” Ucap kimung sambil mengarahkan telunjuknya ke atas pohon besar di Taman Radio.

Taman ini merupakan salah satu tempat nongkrong anak-anak musik pada masa itu. Mereka yang nongkrong di sini kebanyakan penggemar musik Indie Pop yang Kimung sebut “Tongkrongan Kintam”.

Barudak Kintam mah mirip dengan barudak Balkot. Bersih, karasep, gareulis.”

Taman Radio (foto: Komunitas Aleut)

Tidak jauh dari sini, tepatnya di Jalan Hassanudin, terdapat juga tongkrongan anak musik. Secara genre, menurut Kimung, mereka yang nongkrong di Hasnud adalah penggemar musik Post Rock. Salah satu band yang mencuat dari Hasnud adalah Polyester Embassy.

Ada hal menarik tentang faktor apa yang melatarbelakangi sebuah tempat dipilih menjadi ruang tongkorongan saat itu, yakni keberadaan Kios. Kios memudahkan para anak-anak muda saat itu, khususnya yang berkantong cekak, karena di sini mereka bisa membeli rokok secara ketengan.

Di Purna juga nongkrong karena ada kios,” kata Kimung.

Marlboro juga dulu mah bisa diketeng. Kan kalau sebungkus duitnya nggak ada,” tambah Ama.

Sementara khusus untuk Taman Radio, tongkrongan ini juga berkaitan dengan keberadaan Toko Musik Aquarius yang berada di seberangnya. Toko musik ini cukup vital perannya dalam perkembangan musik di Bandung karena menjadi etalase bagi rilisan-rilisan musik terbaru. Bagi anak-anak yang tidak memiliki uang untuk membeli, Aquarius menjadi sasaran empuk pencurian. Salah seorang yang pernah mencuri di Aquarius adalah pendongeng kita, Ama.

“Saya kedapatan mencuri kaset di sini dua kali. Yang pertama dimaafkan, tapi kedua kalinya saya dihukum berdiri di depan toko sambil memegang papan bertuliskan ‘Saya Tidak Akan Mencuri Lagi’.” Kenang Ama ketika Aquarius masih eksis.

Ketika membicarakan tentang toko kaset. Mang Alek teringat sebuah tempat pembelian kaset kosong. Saat itu kaset kosong digunakan untuk merekam dan menggandakan rilisan-rilisan resmi. Salah satu tempat penjual kaset kosong yang paling terkenal saat itu ada di Balubur.

Sebelum kami berpindah tempat lagi, Kimung sempat menunjukkan pada kami sebuah bangunan kosong yang sedang pasang iklan dijual. Katanya, dulu bangunan itu disebut Dago 34 dan sangat populer sebagai penjual berbagai macam minuman beralkohol.

BIP

Dari Taman Radio kami beranjak melanjutkan perjalanan ke lokasi mall yang mungkin tertua di Bandung, yaitu Bandung Indah Plaza atau biasa disingkat saja jadi BIP. Kami berhenti di depan halaman Richeese Factory. Dahulu di sini juga merupakan salah satu tempat nongkrong populer bagi penikmat musik underground di tahun 90-an, khususnya musik Punk.

“Pertama kali kenal Underground téh saya mah di sini. Diajak sama abang-abangan Ujungberung sekitar tahun 91-an. Jadi ternyata tongkrongan di sini sudah ada sejak akhir 80-an lewat komunitas musik metal, namanya ‘Bandung Death Brutality Area (BADEBAH)’,” Kimung membuka cerita.

Selasar Bandung Indah Plaza (foto: Komunitas Aleut)

Kimung menambahkan bahwa anak-anak BADEBAH sebenarnya tongkrongan utamanya di lantai 3 BIP. Dulu di sana ada diskotik Fire yang kemudian jadi Pacific.

Sebelum ke atas, kami nongkrong dulu di bawah sini, ketemu anak-anak Punk. Memang awalnya di sini anak-anak Punk,” tambah Kimung

Masih menurut Kimung, tongkrongan ini didukung oleh keberadaan penjual kaset atau merch bootleg yang menjajakan dagangannya di emperan. Keberadaannya membantu penyebaran pengaruh musik menjadi lebih luas.

“Seingat saya anak-anak Punk di sini mulai rame di sekitar tahun 95-96. Soalnya saya inget banget menjelang tahun baru 96, kami bikin acara, namanya ‘Chaos Day’.” kenang Ama.

“Kami start dari Dago 34 sambil mabuk. Jalan long march ke bawah, ke arah Jalan Lembong. Ratusan orang kayaknya waktu itu yang ikut. Kami yang di depan nggak tau kalau di belakang, anak-anak udah ngancur-ngancurin segala macem. Pot taman, lampu, sampai naik-naik ke mobil orang. Jadi pas sampai di Polrestabes kami yang di barisan paling depan bingung, kenapa banyak Polisi. Ternyata mereka di sana buat nangkep kami. Mungkin sekitar 40-an oranglah yang kena. Alex juga kena.”

“Kan di kantor Polisi didata ya. Jadi di sana kami tau nama asli anak-anak. Selama ini taunya cuma nama panggilan aja. Seperti Linggo, da nama aslinya Hari Rusman, ha ha ha,” canda Ama

Linggo merupakan sosok penting saat itu. Selain trend setter skena Punk Bandung, Linggo merupakan jembatan antar komunitas musik. Khususnya antara Metal dan Punk.

“Dulu ada-lah momen anak Metal dan Punk kurang akur. Nah, Linggo yang dari anak Punk mau secara aktif menggalang pertemanan dengan anak Metal. Sementara dari anak Metal, ada Almarhum Eben Burgerkill yang jadi jembatan,” kisah Kimung.

Ama menambahkan friksi itu sebetulnya muncul di tataran penonton saja. Sebab di antara musisinya sih sudah sering nongkrong bareng. Bahkan di antaranya saling bertukar kostum ketika tampil di atas panggung.

Pasca penangkapan itu, anehnya tongkrongan BIP semakin membesar. Setiap harinya ada saja orang baru, sehingga selasar yang ada tidak sanggup lagi menampung jumlah orang yang semakin banyak, dan karena itu mereka berpindah ke bagian belakang BIP. Dulu tongkrongan ini sering disebut PI alias Pasar Induk. Dinamai Pasar Induk karena dulu di lokasi ini segala jenis barang dagangan, mudah didapat. Lokasinya berada di halaman belakang Hotel Santika. Kami pun menuju ke sana untuk mendengar dongeng salah satu tempat yang bisa dibilang, sangat penting bagi perkembangan skena Punk di Bandung.

PI Belakang Santika

Jieun deui atuh tongkrongan di dieu, Ma” (Bikin lagi tongkrongan di sini, Ma) kata Kimung pada Ama.

Pasar Induk saat itu menjadi sentral pertemuan anak-anak Punk, bukan hanya dari Bandung, bahkan dari berbagai wilayah di Indonesia. Maka jika ada orang dari luar kota, mau bertemu dengan komunitas Punk Bandung, biasanya datang ke sini.

Menurut Kimung, di sinilah penetrasi internasional musik underground Bandung dimulai, yakni melalui band Krass Kepala di mana Ama tergabung sebagai salah satu personilnya. Lewat jejaring internasionalnya, Krass Kepala berhasil melakukan tur di lebih dari 20 kota di Eropa. Menurut Kimung, spirit itu tidak muncul begitu saja, tapi didorong oleh keberadaan tongkrongan ini.

Punk Indonesia (Belakang Hotel Santika) Foto: Komunitas Aleut

“Bisa dibilang, tur internasional Burgerkill juga terinspirasi dari Krass Kepala. Saat Burgerkill dilarang tampil di Bandung, ide alternatif untuk keluar-negerian téh muncul karena melihat Krass Kepala. Saya bilang ke Eben saat itu, ‘masa kalah sama Ama?’”

Sementara itu Ama bercerita kalau Krass Kepala itu dibentuk tanpa ada faktor kesengajaan.

“Kan dulu kita bikin acara, namanya Anti Mapan. Nah, acara itu nampilin banyak band. Tapi nggak ada satu pun yang mau tampil paling awal. Padahal udah diundi. Jadilah kami para panitia bikin band spesialis pembuka. Tujuannya buat memanaskan acara aja. Awalnya juga selalu bawain lagu orang lain, kemudian pelan-pelan baru bikin lagu sendiri. Dari situ lah kesempatan banyak datang, termasuk dari jejaring di luar negeri.”

Anti Mapan adalah acara musik yang digelar secara DIY. Ama mengakui kalau jejaring antar komunitas yang terjadi saat itu, saling menginspirasi satu sama lain, meskipun terdapat perbedaan preferensi musik.

Besarnya tongkrongan PI saat itu juga menarik perhatian lingkaran politik. Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kala itu menjadi entitas perlawanan terhadap Orde Baru seringkali ikut nongkrong dan berdiskusi di tempat ini.

“Siapa itu Budiman Sujatmiko, saya pernah liat di sini. Tapi jauh dari itu semua, yang bisa diambil dan dipelajari dari tongkrongan PI adalah bagaimana Punk berhasil membangun ekosistemnya sendiri,” tutup Kimung.

Taman Lalu Lintas

Setelah berbincang santai sembari duduk-duduk di trotoar PI, kami melanjutkan perjalanan lagi ke salah satu simpul tongkrongan barudak musik di Bandung, yakni Taman Lalu Lintas, atau yang dahulu disebut TL.

Di sini saya ketemu Richard (Mutter), Arian, sama Robin Puppen.” kenang Kimung.

Keberadaan fasilitas papan luncur atau skateboard di sini menjadi magnet bagi berkumpulnya muda-mudi Bandung. Sekitar tahun 83-84 terdapat sebuah perkumpulan para penggemar skateboard yang bernama Street Spyder. Dari kalangan penyuka Skateboard ini muncul obrolan tentang musik dan menjadi latar munculnya beberapa band underground, di antaranya Puppen, The Wave, dan Close Minded.

“Di sini tuh semangat berbaginya kuat sekali. Saya selalu mengakui kalau  komunitas Ujungberung belajar banyak hal ke TL. Kami dikenalkan ke majalah Hai oleh Richard, belajar bikin zine, belajar rekaman juga di sini (Studio Reverse),” tegas Kimung.

Setelah Kimung, Ama menambahkan kenang-kenangan tentang TL dari sisi yang kelam. Ia mengenang banyak teman-temannya yang meninggal karena over dosis di tempat ini.

Kimung mengisahkan saat itu arena skate ditutup oleh pemerintah. Untuk membangun arena baru, anak-anak menggelar acara musik yang tujuannya menggalang donasi untuk pembangunan arena skate yang baru. Sayangnya jumlah donasi yang terkumpul tidak cukup untuk membuat arena skate yang baru.

GOR Saparua

Adalah dosa besar, membicarakan skena underground Bandung, tapi tidak menyambangi GOR Saparua. Tempat ini menjadi lokasi penutup dari kegiatan Ngaleut saat ini.

Kami duduk di taman, membelakangi GOR Saparua yang saat itu, sayangnya, tak bisa dimasuki karena sedang ada persiapan acara olahraga. Mungkin akan berbeda suasana ceritanya jika kami bisa mendengar dongeng langsung di dalam monumen underground paling sakral tersebut.

Suasana Ngaleut kali ini memang rasanya Ngaleut yang “nongkrong” banget. Tidak ada patokan baku mengenai pembahasan atau dongeng apa yang perlu atau tidak disampaikan. Obrolan sangat cair tanpa sekat. Ada nostalgia, kekaguman, dan cerita konyol dibagikan tanpa saringan.

GOR Saparua (foto: Komunitas Aleut)

Di dieu, tah, di dieu” berkali-kali kata itu terucap dari para pendongeng. Mereka mengenang masa-masa di mana energi yang hadir begitu meluap-luap hingga luber memenuhi kompleks olahraga Saparua.

Setelah rajin melakukan riset sejarah, saya jadi tau bahwa kawasan (Saparua) ini sejak dulu memang mempunyai semangat global yang sangat kuat. Hal ini senafas dengan semangat Underground (No Border No Nation)” Kimung membuka kisahnya.

Menurut Kimung, sebelum adanya gedung Jaarbeurs dan acara bursa tahunan, di lapangan ini sudah sering digelar berbagai acara untuk memamerkan hasil bumi. Musik menjadi elemen penting sebagai salah satu pengisi acara. Saat itu para pemusik membawakan musik-musik dari Eropa.

Sementara itu Gedung olahraganya sendiri baru dibangun pada tahun 1961 guna mendukung gelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) 1961 saat Jawa Barat menjadi tuan rumahnya. Gedung yang sedianya diperuntukkan bagi kegiatan olahraga bertransformasi menjadi gelanggang suara cadas yang keluar dari pengeras suara.

Skena Underground di Saparua mencapai titik didihnya ketika menggelar festival musik bertajuk Hullaballo, yaitu sebuah festival musik lintas genre yang pertama kali digelar pada tahun 1994. Festival ini mampu dengan cepat menarik perhatian besar dari para penggemar musik keras di Bandung. Pada masa-masa awal penyelenggaraannya, suasana masih diwarnai kekacauan dan gesekan antar kubu genre.

Seiring waktu, Hullabaloo berhasil meneguhkan diri sebagai pionir pergerakan musik bawah tanah berskala besar di kota ini. Para musisinya saling memberi dukungan, dan ketegangan antarpenonton pun berangsur hilang.

Hal yang tak kalah menarik, demi terselenggaranya acara tersebut, band-band cadas Bandung kala itu rela patungan agar bisa tampil di GOR Saparua. Budaya saling mendukung inilah yang kemudian memicu lahirnya berbagai ajang musik bawah tanah lainnya, seperti Bandung Underground, Gorong-gorong, hingga Bandung Berisik.

Di halaman gedung legendaris ini kami semua asyik menyimak para pendongeng yang tengah mengorek-korek ingatan mereka selama menjadi warga reguler di bangunan monumental ini. Gedung ini, dan fenomena underground yang hadir dan tumbuh di sini pernah juga dibuatkan film dokumenternya dengan judul Gelora: Magnumentary of Gedung Saparua.

Dari perbincangannya yang masih terus berlangsung bisa ditangkap bahwa GOR Saparua, selain sebagai tempat pertunjukan kala itu, juga tempat bertengkarnya gagasan, tempat merenggang dan mendekatnya jalinan pertemanan. ***

Tinggalkan komentar