Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng
Oleh Dongeng Bandung
Manusia membuat sedjarahnja sendiri, tetapi mereka tak dapat membuat menurut sekehendaknja, mereka tak dapat membuat dibawah sjarat-sjarat jang dipilihnja, tetapi dibawah sjarat-sjarat jang langsung terdapat, disediakan dan diwariskan dari masa silam.
Karl Marx
Dongeng Bandung edisi ke-13 dibuka dengan cerita ringan mengenai perspektif dan interpretasi dalam penulisan sejarah, terutama sejarah kota Bandung, dan terkait dengan maraknya narasi-narasi yang sangat-sangat singkat – sekarang banyak juga ditambahkan video atau foto yang sering salah juga – yang banyak beredar di media-media sosial dan bagaimana efeknya dalam pemahaman sejarah dalam masyarakat, terutama untuk generasi terkini.

Masih dalam pembukaan itu kemudian pengantar acara terkilir lidah dan salah menyebutkan sebuah judul buku menjadi Pemberontakan PKI 1926. Bung Bilven, pendongeng hari ini, membetulkan kesalahan itu dengan menyebutkan judul buku yang sebenarnya, yaitu Pemberontakan November 1926, sekalian menjelaskan bahwa judul buku itu seharusnya adalah Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926) sesuai dengan yang tercetak pada colofonnya dan diulang lagi di halaman judul dalam, dan diulang lagi pada bagian Prakata buku tersebut. Bagian-bagian dari buku inilah yang diceritakan kembali oleh Bilven dan ditambah dengan sumber-sumber lain sesuai dengan alur penceritaannya.
Sebelum masuk ke 1926, Bilven perlu mundur beberapa puluh tahun untuk menceritakan latar belakang terjadinya kelas-kelas dalam masyarakat di Hindia Belanda dan bagaimana kemudian orang melihat dengan berbagai perspektif berbeda mengenai apa yang terjadi pada 1926.
Syahdan di Eropa pada pertengahan tahun 1800-an di Eropa sudah berkembang negara-negara yang sebelumnya menganut pramonopoli (persaingan bebas) ke kapitalis monopoli. Negara-negara Eropa sedang mengalami revolusi dalam cara produksi barang, dari yang sebelumnya menggunakan tenaga manusia dan binatang menjadi tenaga mesin. Ini biasa kita kenal dengan istilah Revolusi Industri.
Perubahan cara kerja ini bukan hanya mengubah proses produksi saja, melainkan juga mengubah perekonomian, kondisi sosial, dan kebudayaan secara umum. Negara-negara Eropa Barat cepat beradaptasi dengan perubahan ini, sementara Belanda yang sedang bercokol di wilayah Nusantara ini sepertinya terlalu nyaman dan keenakan dengan koloninya, sehingga malah ketinggalan dibanding tetangga-tetangganya di Eropa. Belanda yang keasyikan merampok melalui cultuurstelsel akhirnya merasa ketinggalan, baru sadar sudah lalai mengembangkan industrinya, tersudut, tidak lagi punya ruang untuk ekspansi kapital dan kalah bersaing saat berhadapan dengan negara-negara kapitalis yang sudah lebih maju.
Kesadaran yang terlambat ini melahirkan konsesi-konsesi kepada pihak swasta, dan yang paling utama saat itu adalah untuk pembangunan transportasi dan komunikasi. Setelah itu lahirlah kebijakan Agrarische-wet yang mengatur pengelolaan tanah dan memungkinkan pihak swasta menyewa lahan untuk perkebunan atau pertanian. Dengan begitu, terbukalah kesempatan untuk investasi asing dan tenaga kerja di bidang perkebunan.
Setelah 1870 masuknya kapital baru juga mendorong pembangunan jalur-jalur kereta api, pelabuhan-pelabuhan, dan industri pertambangan. Nilai wilayah jajahan di Indonesia yang sebelumnya merupakan tempat penjarahan dan perampokan karena sumber bahan mentahnya, kini juga menjadi tempat penanaman modal. Selain itu, buku yang disebut di atas juga menuliskan bagaimana Indonesia juga merupakan sumber untuk tenaga kerja murah dan sebagai pasar barang jadi.
Tapi bukan itu saja, buku itu melanjutkan dengan mengatakan bahwa (parafrase dalam huruf miring) sebagai tanah jajahan imperialis, Indonesia juga merupakan sumber serdadu kolonial yang murah. Pemerintah Hindia Belanda sebagai wakil politik dari kaum kapitalis monopoli juga menjalankan politik kemiliteran dengan menggunakan orang Indonesia (KNIL) untuk menindas dan menguasai sesama orang Indonesia, dan untuk mempertahankan tanah jajahan Indonesia.
Pembentukan KNIL sebagai salah satu alat penindas utama dari pemerintah kolonial Belanda, sebagian besar terdiri dari orang Indonesia, terutama serdadu bawahannya. Mereka dibayar jauh lebih rendah daripada serdadu berbangsa Belanda dalam pangkat yang sama.
Belanda membangkitkan sentimen kesukuan menggunakan serdadu KNIL yang berasal dari salah satu suku bangsa Indonesia untuk menindas perlawanan dari suku bangsa yang lain, dan untuk ini Belanda memberikan suatu “keistimewaan” yang sebetulnya tidak berarti bagi suku bangsa yang pertama.
Belanda yang tidak mempunyai kemampuan dan kekuatan sendiri untuk menghadapi musuh dari pihak lain menyandarkan diri pada negara imperialis lainnya seperti Inggris, Australia, dan Amerika Serikat. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya menjadi daerah strategis militer bagi Belanda saja, melainkan juga bagi negara-negara imperialis lain yang ikut menanam kapitalnya di Indonesia. Hal ini akan nyata terlihat nanti ketika terjadi Perang Dunia ke-2.
Kembali ke perkembangan industri yang agak telat diikuti oleh Belanda, maka sebagai konsekuensi dari kondisi yang baru ini adalah lahirnya suatu golongan dalam masyarakat yang sering disebut sebagai Kelas Buruh. Bila sebelumnya hubungan kerja berdasarkan feodalisme, hubungan antara pekerja dengan majikan berdasarkan perhambaan atau ikatan-ikatan pribadi atau hukum, maka sekarang masyarakat sudah mulai mengenal hubungan kerja berdasarkan upah.
Pada tahun-tahun awal 1900-an mulai berkembang pula serikat-serika sekerja seperti Staatspoor Bond dan Post Bond di jawatan kereta api dan pos, telepon, dan telegraf, yang disusul oleh pegawai-pegawai di perkebunan seperti Cultuurbond, Suikerbond, dan Handelsbond. Kaum buruh rendahan pun mengorganisasi diri seperti yang dilakukan oleh VSTP (Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel) di Semarang yang kemudian meluas ke daerah-daerah lain. Pendeknya, hampir semua jawatan dan perusahaan masa itu mempunyai serikat sekerjanya sendiri.
Kalangan terpelajar dari golongan bangsawan pun membentuk kelompoknya seperti Budi Utomo pada 1908. Kelompok-kelompok kecil pedagang dan pengusaha lokal (kelas borjuasi) juga mulai membentuk perkumpulan, yang pertama adalah Sarekat Dagang Islam. Kelahiran kelompok ini pada dasarnya adalah untuk menghadapi kapitalis Belanda dan akhirnya berkembang menjadi organisasi politik menjadi Sarekat Islam.
Pada masa yang sama, dari kalangan intelektual progresif Indo-Belanda melihat bahwa situasi kolonialisme yang berlangsung sudah sangat menyengsarakan masyarakat lokal dan menyerukan bahwa Indonesia harus merdeka dan lahirlah Tiga Serangkai yang terdiri dari EFE Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang mendirikan partai politik pertama bernama Indische Partij di Bandung tahun 1912. Selain itu pada 1914 lahir pula di Surabaya suatu gerakan kelas buruh dan gerakan memperjuangkan kemerdekaan, yaitu Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) atau dalam bahasa Indonesia Perhimpunan Sosial Demokrasi Hindia (PSDH) dengan ketuanya HJFM Sneevliet yang memiliki tujuan menyebarkan ajaran Karl Marx di Indonesia. Sneevliet membuat sebuah tulisan berjudul “Zegepraal” yang dimuat oleh koran Insulinde pimpinan Cipto Mangunkusumo. Isinya, tidak hanya menyambut kemenangan revolusi borjuis demokratis di Rusia pada bulan Februari 1917, tapi juga menganjurkan agar rakyat Indonesia dapat mengambil pelajaran dari revolusi tersebut untuk perjuangan kemerdekaan.

ISDV atau PSDH memiliki korannya sendiri yang mulai terbit pada 1915, yaitu Het Vrije Woord (Suara Merdeka) dan sejak 1918 menerbitkan edisi bahasa Indonesianya dengan nama Suara Rakjat. Dalam beberapa tahun ke depan, kegiatan organisasi dan medianya ini ini berperan banyak menumbuhkan serikat-serikat buruh di Indonesia.
Dalam bulan Mei 1919, Persatuan Pegawai Pegadaian Bumi Putera (PPPB) mengadakan kongres di Bandung. Pemimpinnya, Sosrokardono, yang juga merupakan salah satu pemimpin Sarekat Islam, menganjurkan agar semua serikat buruh bergabung dalam satu badan terpusat (vansentral). Setelah pertemuan antara wakil-wakil serikat buruh di Yogyakarta pada Desember 1919, lahirlah vaksentral dengan nama Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB).
Terbalik dari semangat persatuan yang semakin dalam, kesengsaraan dan kemelaratan kaum buruh ternyata semakin luas. Kondisi mereka semakin jelek. Jam kerja bertambah sampai 10 bahkan 12 jam per hari, bahkan hari Minggu pun tetap bekerja. Kerja lembur terus menerus dijalankan. Upah di bidang pertanian dan perkebunan jauh lebih rendah dibanding dengan di bidang industri atau di kantor-kantor, sementara di kalangan kapitalis asing, terutama Belanda, keuntungan semakin berlipat. Sebagai reaksi atas kondisi ini, partai-partai Indonesia membentuk suatu badan persatuan dengan nama Radicale Concentratie yang di dalamnya tergabung Sarekat Islam, Budi Utomo, Insulinde, Pasundan, dan ISDP (Indische Sociaal Democratische Partij) yang didirikan oleh sayap reformis eks ISDV.
Dalam programnya, Radicale Concentratie membentuk Dewan Perwakilan Rakyat atau Volksraad baik di pusat maupun di daerah. Pemerintah kolonial pun mendirikan Volksraad yang sidang pertamanya diadakan pada bulan Mei 1918. Dewan ini terdiri dari 28 orang Belanda, 5 orang Indonesia yang diangkat oleh pemerintah, dan 15 orang lain yang dipilih oleh dewan-dewan daerah.
Dalam keadaan yang sangat membebani, meletus sejumlah perlawanan dari kaum tani seperti yang terjadi pada tahun 1917 di Jambi, Cimareme, Semarang, dan Toli-toli. Dua tahun kemudian, Juni 1919, terjadi lagi perlawanan kaum tani di Garut yang menolak menyerahkan padi dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah. Walaupun seluruh perlawanan ini dapat ditumpas oleh pemerintah kolonial, namun jelas pula telah membangkitkan kesadaran yang luas pada rakyat kebanyakan. Inti pemahamannya adalah bahwa kekuasaan kolonial dapat dilawan dan ditumbangkan asal kekuatan revolusioner rakyat dapat dikelola dan dimobilisasi dengan baik.
Pada 23 Mei 1920 dalam rapat tahunan di Semarang, ISDV dilebur menjadi Partai Komunis Hindia dan di ujung tahun bergabung dalam gerakan buruh internasional yaitu Internasionale-III. Tahun 1920 juga diwarnai dengan pemogokan kerja di kalangan buruh seperti pemogokan para buruh kereta api di Semarang, Cirebon dan Deli Spoorweg Maatschappij, juga di kalangan buruh Bataafsche Petroleum Maatschappij di Pangkalan Brandan. Pada bulan November terjadi beberapa konflik dan pemogokan dari sejumlah perusahaan di Surabaya dan disusul pada wal tahun 1921 dengan pemogokan buruh percetakan dan pabrik gula di Semarang. Berbagai pemogokan buruh terus terjadi di tahun-tahun berikutnya, bahkan sampai mengakibatkan penutupan sejumlah perusahaan. Untuk menghadapi keadaan ini, pada 1923 pemerintah kolonial menerbitkan aturan yang melarang pemogokan (Artikel 161 bis).

Pada bulan Juni 1924 Partai Komunis Hindia mengadakan kongres di Gedung Alhambra, Batavia dan mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Kongres juga memilih Alibasah Winanta menjadi ketua menggantikan Semaun. Budisutjitro sebagai sekretaris, dan Aliarcham, Alimin, dan Musso sebagi anggota pimpinan lainnya. Pada kongres berikutnya, bulan Desember 1924 di Kota Gede, Yogyakarta, Alibasah Winanta digantikan oleh Sardjono. Program utama partai ini menyatakan bahwa PKI akan terus menerus berjuang untuk mempertinggi tingkat hidup kaum buruh dan rakyat Indonesia, menghapuskan penindasan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Dengan pernyataan itu, maka PKI sedang menegaskan diri tidak hanya berjuang untuk kepentingan kelas, melainkan kepentingan nasional Indonesia.
Pada sekitar 1925-1926 pemerintah kolonial menjadi lebih agresif dengan menutup Sekolah-sekolah Rakjat, menggeledah kantor-kantor dan menangkapi para pemimpin kaum buruh. Pada tahun 1926 ini juga pemerintah kolonial mengeluarkan Artikel 153 bis dan ter yang membatasi kebebasan bergerak, bersidang, menulis, dan berbicara, yang mengakibatkan pembredelan 30 majalah dan sejumlah koran, serta penangkapan para redakturnya. Para pemimpin pergerakan ditangkapi, terutama dari PKI, seperti Aliarcham, Haji Misbach, Haji Datuk Batuah, Natar Zainudin, dll, sedangkan Alimin dan Musso berhasil lolos ke luar negeri.
Tekanan-tekanan pemerintah kolonial dalam menghadapi gerakan kaum buruh menimbulkan perlawanan dan tindakan spontan di mana-mana. Bulan April 1926 kaum tani di Bedewang, Banyuwangi, yang mengalami tekanan pajak yang berat dan menuntut keringanan harus menghadapi peluru aparat. Di bawah pimpinan Wedana Rogodjampi mereka melakukan perlawanan, namun wedana yang mendatangkan bantuan serdadu dari Malang berhasil menjegal dan menangkapi mereka yang melawan. Peristiwa serupa juga terjadi di Karangcegak, Tegal. Para pemimpin aksi perlawanan dapat ditangkap, bahkan sebagian dibunuh, dan sebagian lagi dibuang ke Digul.
PKI yang memelopori perlawanan-perlawanan ini membuat suatu pertemuan kilat di Candi Prambanan pada 25 Desember 1925. Peristiwa ini sekarang dikenal sebagai Konferensi Prambanan. Konferensi yang dihadiri oleh para pemimpin pusat dan daerah ini dipimpin oleh Sardjono sebagai Ketua Hoofd Bestuur dan Sugono sebagai wakil Hoofd Bestuur yang menjelaskan bagaimana pemerintah kolonial telah melakukan berbagai penangkapan, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap anggota-anggota PKI, dan kemudian mengusulkan angkat senjata untuk menumbangkan pemerintah kolonial Belanda. Sardjono menganjurkan agar diadakan aksi bersama yang dimulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung dengan aksi bersenjata.
Usulan Konferensi Prambanan diterima dengan bulat dan setelah konferensi dikirimkan utusan-utusan ke daerah-daerah, antara lain Mahmud ke Makassar, Bakar ke Palembang, Herujowono ke Cirebon, Tegal, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Sukrawinata ke Banten dan Priangan. Selanjutnya Hoofd Bestuur dan Comite Seksi PKI melakukan persiapan untuk melakukan pemberontakan pada bulan Juni 1926. Dibentuk juga Comite Pemberontak yang terdiri dari Dahlan, Sukrawinata, Herujuwono, Samudro, dan Baharudin Saleh. Komite ini berpusat di Bandung.
Kemudian, karena keputusan Prambanan memerlukan juga pertimbangan dari Komite Eksekutif Komunis Internasional (KEKI), maka diupayakan agar wakil Hoofd Bestuur dapat menemui Tan Malaka yang merupakan anggota KEKI untuk Timur Jauh. Tapi ternyata Tan Malaka tidak mudah ditemui, bahkan juga sempat menolak untuk bertemu di Singapura. Baru setelah Alimin menemuinya di Filipina, didapatlah keterangan bahwa Tan Malaka tidak menyetujui keputusan Konferensi Prambanan. Sardjono tidak sepakat dengan pendapat Tan Malaka dan mengirimkan Alimin dan Musso untuk menemui pemimpin KEKI di Kanton dan selanjutnya ke Pusat KEKI di Moskow. Dalam perjalanan kembali ke Indonesia setelah menemui JW Stalin di Moskow, Alimin dan Musso ditangkap oleh Polisi Inggris di Singapura pada bulan Desember 1926. Sementara itu di Pulau Jawa telah berlangsung pemberontakan di beberapa daerah.
Tan Malaka kemudian memanggil Supardjo dan Sugono untuk menemuinya di Singapura dan meminta mereka untuk membatalkan keputusan Prambanan dan mendirikan partai baru, Partai Republik Indonesia (PARI). Sikap Tan Malaka ini dipandang sebagai sebuah pengkhianatan dan bahkan dianggap telah membantu pemerintah kolonial Belanda dalam merusak kekuatan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Sekembali dari Singapura Sugono ditangkap aparat kolonial Belanda dan dipenjarakan di Semarang. Dalam penjara itu ia disiksa hingga tulang-tulangnya patah dan meninggal. Proses pemakamannya dilakukan secara tertutup dan tidak boleh diikuti oleh orang lain selain keluarganya sendiri. Itu pun dengan syarat tidak boleh menceritakan kondisi jenazah kepada siapa pun.
Sikap Tan Malaka yang menolak pemberontakan membuat rencana keputusan Prambanan yang semua akan dilaksanakan bulan Juni harus mundur ke bulan November. Tindakan-tindakan pemerintah kolonial dan aparatnya yang terus menekan dengan melakukan penangkapan, penganiayaan, dan pembunuhan di mana-mana membuat rakyat marah dan suasana menjadi semakin panas. Akhirnya pada 12 November 1926 meletuslah pemberontakan-pemberontakan di antaranya di Banten, Batavia, Priangan, Surakarta, Banyumas, Pekalongan, Kedu, Kediri, dan tempat-tempat lain di Pulau Jawa. Di Silungkang, Sumatera Barat, pemberontakan berlangsung pada tangga; 1 Januari 1927 dan merupakan yang terbesar dan terluas bersama dengan Banten.
Siapa saja yang terlibat dalam pemberontakan tersebut? Orang jang siap melakukan aksi datang dari segala lapisan penduduk; perbandingannja terdapat dalam djumlah jang sama; diantara mereka terdapat orang-orang jang tidak memiliki tanah, penduduk desa biasa, kepala desa, orang jang agak kaja dan memimpin agama. Djuga terdapat djumlah besar hadji dan djarawah.
Kalimat di atas adalah ringkasan dari dokumen laporan yang dikumpulkan dalam The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia; Key Documents (Ithaca, NY: Cornell University) yang disunting dan diberi pengantar oleh Harry Jindrich Benda dan Ruth Thomas McVey dan diterbitkan tahun 1960. Di situ tertulis siapa dan dari kalangan mana saja yang melakukan pemberontakan tersebut:
The persons who were ready for action came from all sections of the population; there was in proportion an equal number of those possessing no land, common desa people, desa heads , the more well – to-do , and religious leaders. There was a proportionately large number of had jis and djawaras. Only a very small number of officials or former officials joined in and there was not one administrative official or real intellectual among the active rebels. There were, it is true, two members of the regency council of Pandeglang among them and some desa heads. There were various members among the Chinese, but otherwise the latter kept cleverly in the background. There is still little known about the part the Chinese, especially the large numbers of singkeh Chinese, played in Labuan. ( Labuan is one of the few Chinese settlements in Java with a majority of singkehs).
Semua pemberontakan yang terjadi di banyak daerah di Pulau Jawa ini berlangsung sekitar satu bulan lamanya antara November-Desember 1926. Di Sumatera juga berlangsung sekitar satu bulan, sepanjang bulan Januari 1927. Seluruh kerusuhan ini dapat dipadamkan oleh pemerintah kolonial, dan dengan begitu, gagallah seluruh pemberontakan itu.
Mengenai jalannya pemberontakan di beberapa daerah, akan diceritakan dalam tulisan berikutnya. ***