Dongeng Bandung
Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng
Aditya Wijaya, atau lebih sering disingkat sebagai Adit, bergabung di Komunitas Aleut sejak tahun 2020 dan menjadi salah satu penulis reguler dan perancang beberapa program, terutama untuk pembuatan rute dan materi momotoran yang biasanya sudah lengkap dengan bahan literasinya.
Hari ini, dalam kegiatan Dongeng Bandung, Adit kebagian mendongeng tentang daerah kelahiran dan tempat tinggalnya sampai sekarang, Kiaracondong. Dalam tulisan ini tidak semua yang didongengkan kami tuliskan lagi, selain itu di sini kami tambahkan juga beberapa keterangan yang tidak sempat disampaikan saat mendongeng.
Dalam buku Aardrijkskundig Woordenboek van Nederlandsch Oost-Indie yang disusun oleh Ch. F. H. Dumont (Nijgh & van Ditmar’s Uitgevers-Maatschappij, Rotterdam, 1917) nama daerah Kiaratjondong dijelaskan sebagai sebuah distrik di Oedjoengbroeng Wetan, afdeeling Bandoeng, Keresidenan Priangan. Dari penelusuran peta lama, kawasan utama Kiaracondong terletak di ujung selatan Jalan Kiaracondong sekarang, di sebelah selatan rel kereta api sampai ke ujung timur Papandajanlaan (Jalan Gatot Subroto) atau daerah Binong sekarang.
Nama Kiaracondong mulai banyak disebut ketika ada pengumuman pembukaan halte kereta api baru di Kiaracondong, di antara Stasiun Bandung dan halte Gedebage, pada bulan September 1893. Ada banyak koran masa itu yang memberitakannya. Menurut Agus Mulyana dalam bukunya Sejarah Kereta Api di Priangan (Ombak, 2017) penentuan lokasi halte ini agar dekat dengan Pasar Kiaracondong, sama dengan halte-halte di Andir, Ciroyom, dan Cikudapateuh yang semuanya dekat pasar. Nyatanya, koran Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 9 Oktober 1897 memberitakan wacana penghapusan halte Kiaracondong karena kurangnya peminat dan diusulkan agar ada halte baru dibangun di tempat lain seperti di Kampung Katja-katja Wetan, Tjikoedapateuh, atau Tjihapit yang lebih dekat ke kawasan yang sudah lebih banyak penduduknya.
Tak lama setelah pembukaan halte Kiaratjondong, di kalangan militer Hindia Belanda terbit rencana pemindahan dan pemusatan instalasi militer ke Bandung, di antaranya Artillerie Constructie Winkel (ACW; sebelumnya bernama De Phoenix) yang sudah berdiri di Surabaya sejak masa pemerintahan HW Daendels. Walaupun sudah direncanakan sejak dekade pertama abad ke-20, namun rencana pemindahan instalasi militer ini tidak berjalan mulus, terutama karena masalah biaya, begitulah berita di Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 24 Juni 1912.

Setelah lama tersendat, baru pada tahun 1920 dapat dimulai pembangunan gedung-gedung pabrik dan perkampungan untuk para pekerja di dekat Kampung Kiaratjondong. Proses perpindahan dilakukan secara bertahap antara tahun 1922-1923. Sebagian besar tenaga kerja pribumi ikut pula pindah sebagaimana dikisahkan dalam majalah Indie edisi 6 Juni 1923. Pembangunan kampung pekerja ACW di Bandung ini cukup menarik perhatian sehingga banyak permintaan untuk ikut pindah ke Bandung. Namun karena keterbatasan perumahan yang dibangun, akhirnya sebagian perekrutan pun harus dihentikan dan tidak semua pekerja dapat ikut pindah. Diutamakan yang sudah terlatih dan punya cukup pengalaman saja.
Rumah-rumah dibangun dengan ukuran bervariasi sesuai peruntukannya: mandor, pekerja yang sudah menikah, dan yang masih melajang. Suasana kampung cerah dan ditanami banyak pohon. Di sana-sini dibuatkan kamar mandi dan toilet. Di bagian tengah ada gudang pasar dan fasilitas memasak untuk para lajang. Kampung ini terletak agak terpisah dari pabrik dan diberi pagar tembok yang membuatnya tertutup dari lingkungan luarnya. Sekarang kita mengerti kenapa di dekat Kiaracondong ada kampung dengan nama Babakan Surabaya dan Kampung Jawa.
Di Bandung Bengkel Konstruksi Artileri ini sudah sepenuhnya menggunakan tenaga lisrik dan terlihat sangat modern, berbeda dengan ketika di Surabaya yang dirancang untuk dioperasikan dengan tenaga mesin uap atau mesin minyak mentah. Tak lama kemudian, menyusul ke lokasi yang sama, Projectielfabriek atau Pabrik Proyektil. Tahun 1930 ikut pindah ke ACW adalah Geweermakersschool Sekolah Pembuatan Senjata yang sebelumnya berada di Meester Cornelis.

Tahun 1909 beberapa koran Hindia Belanda – salah satunya, De Preanger-bode edisi 17 November 1909 – menurunkan berita mengenai rencana pemindahan Pyrotechnische Werkplaatsen (PW) dari Surabaya ke Bandung. Menurut Gedenkboek Technische Werkplaatsen van het Koninklijke NederlandsIndonesisch Leger (-) tahun 1910 instansi tersebut sudah berada di Bandung, lokasinya di Noorder Magazijnstraat (Gudang Utara) yang ketika itu masih termasuk wilayah luar batas Bandung. Pyrotechnische Werkplaatsen memproduksi amunisi artileri dan senapan beserta sejumlah komponennya, salah satunya adalah pabrik bahan peledak. Enam tahun kemudian, di tempat ini didirikan juga Pusat Laboratorium Artileri yang pekerjaannya dilakukan oleh bintara militer yang telah mengikuti pelatihan-pelatihan khusus. Tahun 1923 majalah Indie menuliskan bahwa tempat bagi seluruh instalasi produksi mesiu dan peralatannya ini sudah disiapkan lokasinya di bagian belakang gedung utama ACW, namun perpindahan secara lengkap baru selesai tahun 1932.

Antara tahun 1923-1932 Artillerie Inrichtingen mengalami berbagai pengembangan menjadi sebuah sistem yang besar dan kuat. Perkembangan yang dapat dimengerti karena saat itu sudah cukup santer dibicarakan mengenai kemungkinan perang besar melawan Jepang di Pasifik. Setelah masa Kemerdekaan RI, seluruh instalasi produksi militer ini dipecah menjadi dua unit besar, Leger Produktie Bedrijven dan Central Reparatie Werkplaats. Setelah Konferensi Meja Bundar tahun 1949 namanya menjadi Pabrik Senjata dan Mesiu (PSM) di bawah pengelolaan TNI Angkatan Darat. Dari sinilah nama Jalan PSM yang sampai sekarang masih ada di Kiaracondong berasal.
Setelah itu, tahun 1958 PSM sempat berubah nama menjadi Pabrik Alat Peralatan Angkatan Darat (Pabal AD), kemudian berubah lagi menjadi nama yang lebih dikenal sekarang, yaitu Pindad (Perindustrian Angkatan Darat). Yang unik, sejak tahun 1983, Pindad berubah menjadi sebuah PT dan nama Pindad dianggap sebagai sebuah nama utuh, tidak lagi merupakan sebuah singkatan.
Tahun 1920, saat pembangunan kompleks besar ACW di Kiaracondong berlangsung, ada pembangunan kawasan pabrik lainnya tidak terlalu jauh dari situ, di sebelah barat Babakan Surabaya, di tanah kosong sebelah selatan Daendelsweg (Jalan Jakarta), yaitu kompleks Pabrik Gas. De Preanger-bode edisi 5 April 1921 menyebutkan bahwa proses pekerjaan ini mulai dilaksanakan pada tanggal 20 April. Gedung kantor dan rumah-rumah staf didesain dan dikerjakan oleh Firma Schoemaker & Associate, dan seluruh pekerjaan struktur pendukung pabrik dilaksanakan oleh Firma Selle & De Bruijn.
Dalam waktu satu tahun, kompleks pabrik ini sudah dapat diselesaikan dan mulai aktif pada 17 Februari 1921. Saat itu, jalur-jalur pipa gas sudah dibuat dan disalurkan ke seluruh Kota Bandung, terutama untuk kantor-kantor, hotel, rumah sakit, dan instalasi militer, dan pada tahap berikutnya, penyaluran juga akan dilakukan ke perumahan-perumahan warga kota. Pada waktu itu kompleks Pabrik Gas terletak di pinggiran kota, perjalanan ke sana pun masih dianggap jauh dengan kondisi jalan yang belum betul-betul baik. Paling tidak, itulah yang dilaporkan oleh koran De Preanger-bode edisi 5 April 1921. Katanya, satu-satunya akses jalan menuju ke sana hanya melewati Jalan Raya Pos ke arah timur hingga jauh di luar batas kota. Lalu belok kanan ke arah Boeahbatoe dan menyusuri jalanan baru yang dibuat oleh Pabrik Gas, barulah tiba di kompleks Pabrik Gas dalam keadaan lelah.

Sebelum memasuki kawasan Pabrik Gas, tak jauh dari mulut Van der Wijck-weg (Jalan Banten), sejak tahun 1940 berdiri satu kompleks industri lainnya, yaitu Central Magazijn GEBEO. Rencana pembangunannya diberitakan, antara lain, oleh koran De Locomotief tanggal 28 Desember 1939. Katanya, pembangunan kawasan ini untuk memenuhi kebutuhan ruang pergudangan dan perbengkelan yang dirasa semakin mendesak. GEBEO memerlukan gudang terpusat untuk perusahaan aosiasi dan bengkel. Di sini sudah disediakan lahan seluas 140 x 140 meter yang akan menampung gedung-gedung untuk arsip, rumah tinggal manajer dan staf, serta gudang pusat dan bengkel.
Intermezzo dulu: membaca ada pembangunan gedung arsip di kompleks gudang dan bengkel kelistrikan, kok jadi rada ngahuleng.. Dari berbagai bacaan tentang kompleks-kompleks perusahaan di masa Hindia Belanda, seringkali dimention keberadaan ruang arsip atau perpustakaan. Betapa pentingnya arsip bagi orang-orang itu. Dan ukuran gedung arsip di sini engga tanggung pula, bagian depannya 30 meter, panjang ke belakang bersama gudang yang letaknya bersebelahan, 110 meter! Ini bahkan lebih besar ukurannya dibanding luas bengkel yang hanya 15 x 70 meter, apalagi dibandingkan dengan ukuran rumah manajer.

Yang akan merancang seluruh isi kompleks ini adalah biro Ingenieurs-Bureau Ingenegeren-Vrijburg (IBIV) dengan arsiteknya, Gmelig Meyling. Pemilihan biro ini sudah disepakati oleh NV Gemeenschappelijke Electrisch Bedrijf Bandoeng en Omstreken. Untuk pengadaan dan pemasangan struktur baja akan dikerjakan oleh NV Constructie Werkplaatsen De Vries Robbe Lindeteves dari Semarang, sedangkan pembangunan akan dilaksanakan oleh NV Hollandsche Beton Maatschappij.
Pekerjaan pembangunan kompleks Central Magazijn GEBEO ini berbarengan dilaksanakan dengan perluasan kantor GEBEO di Groote Postweg. Yang berbeda adalah perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pekerjaannya, selain Hollandsche Beton Mij. Misalnya, perancangan gedung dikerjakan oleh Prof. RLA Schoemaker dan konstruksi oleh perusahaan Kondor.

Sampai di sini saja sudah terbayang seperti apa pembangunan di kawasan Kiaratjondong sejak tahun 1920-an itu. Buku program pemerintah Kota Bandung, Gemeente Bandoeng; Dienst van het Grondbedrijf yang diterbitkan tahun 1931 memuat keterangan bagaimana pemerintah Kota Bandung pada waktu mempersulit, bahkan melarang, pembangunan pabrik dan perusahaan industri di kawasan permukiman. Sebagai gantinya, pemerintah menyediakan lahan-lahan pengembangan baru, termasuk di sisi selatan Jalan Raya Pos yang mengarah ke Sumedang.
Pengembangan kawasan ini difokuskan untuk industri dengan tetap mempertimbangkan tidak terganggunya keindahan kota. Pada tahun itu tercatat sudah berdiri: Artillerie Constructie Winkel beserta semua pabrik lainnya yang sejenis, Gudang dan Bengkel GEBEO, Pabrik Gas, Gudang Nilai Pos dan Perangko, Laboratorium Keramik, Lembaga Tekstil, Sekolah dan asrama putra, Gudang Kereta Api, Pabrik Tembikar, dst.
Pada masa berikutnya pun keberadaan pabrik-pabrik bertambah dengan kehadiran Pabrik Es dan Pabrik Kemasan. Pada tahun 1955 bertambah pula dengan Pabrik Philips yang dipindahkan dari pusatnya di Surabaya. Pada bulan Februari 1955, beberapa edisi koran Prenger-bode menurunkan berita tentang rencana penutupan Pabrik Philips di Surabaya serta rencana pemindahannya ke Bandung. Proses ini rupanya tidak berjalan terlalu mulus karena adanya proses PHK kepaka 132 pekerjanya di Surabaya, akibatnya para pekerja melakukan pengaduan ke pemerintah pusat, di antaranya ke Kementerian Perekonomian.
Begitu pula terjadi pada masa awal operasional pabrik di Bandung, terjadi mogok kerja buruh pabrik yang protes karena pemecatan puluhan pekerja pabrik dengan alasan bahwa pasar radio domestik sedang lesu. Kegiatan operasional pabrik di Jalan Kiaracondong dan Jalan Banten pun terpaksa ditutup. Pada berita bulan Juni 1956 operasional pabrik rupanya telah membaik, bahkan melakukan pengayaan sektor industri dan pabrik baru. Berdasarkan pencarian berita lama, tidak banyak data dapat ditemukan seputar aktivitas Pabrik Philips, ada kemungkinan masa operasionalnya pun tidak terlalu lama. Pada akhir tahun 1980-an di lokasi eks Pabrik Philips sudah berdiri sebuah pabrik tekstil bernama Daese Garmin dan masih beroperasi sampai sekarang.
Masih ada beberapa kisah yang belum dapat disampaikan di sini, seperti bagaimana Kiaracondong menjadi bagian penting untuk penyaluran air dan listrik di Kota Bandung tempo dulu, atau tentang balandongan, juga tentang satu daerah bernama Kebonwaru. Mungkin akan dilanjutkan di tulisan lain saja, atau siapa tau nanti ada Dongeng Bandung dengan tema Kiaracondong edisi ke-2. ***