Dongeng Bandung #5: Asep Ardian dari Batagor ke Kusala Sastra Khatulistiwa

Oleh Dongeng Bandung

Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng

Novel Oni Jouska mengantarkan langkah kaki seorang warga Bandung Selatan bernama Asep Ardian, melangkah lebih jauh dari biasanya. Tak disangkanya, langkah kecilnya belajar menulis di sela kesibukannya berjualan batagor, bisa mengantarkannya pada penghargaan besar bernama Kusala Sastra Khatulistiwa. Dalam kegiatan Dongeng Bandung #5, kita  menyimak Asep sedikit lebih dalam.

Asep Ardian, biasa dipanggil Asep saja, lahir pada pertengahan 1990-an di Bandung. Suatu waktu, keluarganya memutuskan pindah ke Bandung Selatan. Keputusan ini didasari oleh kondisi ekonomi yang sulit. Bahkan, ayahnya sempat menyarankan Asep untuk tidak melanjutkan sekolah menengah karena kesulitan biaya, namun Asep bertekad untuk tetap sekolah di mana saja asalkan bisa. Yang ada di bayangannya saat itu adalah bisa sekolah, lalu bekerja, dan kelak berumah tangga. Rasanya hidup seperti itu saja sudah cukup.

Asep Ardian

Setelah lulus sekolah menengah, Asep bekerja di sebuah minimarket. Ia bertemu dengan rekan kerja yang sudah lebih senior, obrolan dan keluh kesah yang mereka rasakan tentang pekerjaan dan kehidupan membuat Asep berpikir tentang bagaimana masa depannya nanti. Ia mulai merasa bahwa hidup hanya dengan bekerja untuk menunaikan tugas, tanpa ada hal lebih, adalah sesuatu yang perlu dipertanyakan. Apalagi, Asep adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Menurutnya, anak laki-laki pertama selalu ada kecenderungan untuk jadi andalan dan kebanggaan keluarga, sedangkan pada saat itu Asep tidak merasa ada di posisi tersebut.

Di tempatnya bekerja, Asep hanya bertahan satu tahun saja. Nasihat dari para seniornya berhasil membuat Asep berani untuk mengambil langkah lain, ia mulai menjalankan bisnis yang sudah dirintis oleh ayahnya, berjualan batagor. Belakangan ternyata Asep merasa pekerjaannya berjualan membuatnya seperti terisolasi, tak setiap hari ia bisa bergaul dan nongkrong dengan teman-temannya. Tapi Ia juga merasa rugi jika satu hari jualannya libur. Untuk menyiasati waktu senggang ketika berjualan, ia mulai membaca buku dan mengaji. Saat sedang mengaji ada kutipan yang selalu ia ingat: Orang yang beruntung adalah orang yang lebih baik dari hari kemarin, dan orang yang merugi adalah orang yang lebih buruk dari kemarin. Asep menemukan bahwa membaca buku dan menulis adalah kegiatan paling mudah dan paling bisa dilakukan di tengah berbagai keterbatasannya. Kesempatan membaca satu lembar buku saja sudah memberinya kelegaan dan membuatnya merasa menjadi orang yang lebih beruntung.

Membaca membuka passion lain.

Asep mulai sering membaca, kegiatan ini mengantarkannya pada hal yang lain lagi: mulai menulis. Platform sosial media yang kala itu sering digunakan untuk medianya menulis adalah Instagram. Ia kerap membagikan foto dengan caption berupa prosa-prosa yang ia tulis. Kegiatannya ini mulai menarik perhatian teman-teman online yang memiliki ketertarikan yang sama. Asep mulai diajak bergabung dengan grup belajar menulis. Awalnya grup tersebut hanya berisi empat orang – semuanya pekerja – yang saling berbagi pengalaman membaca, setiap minggu ada tugas untuk melatih menulis efektif. Perlahan jumlah anggota pada grup itu mulai bertambah, walaupun memang tak dibuat untuk banyak orang. Meski terpisah kota, mereka mulai saling pinjam buku dengan cara mengirimnya lewat ekspedisi. Bacaan Asep mulai beragam, dan keinginan untuk menulis pun semakin besar. Dari yang awalnya prosa, Asep mulai membuat cerpen, dan berencana membuat novel. Semua kegiatan itu ia lakukan di sela-sela berdagang. Ia terus belajar, dan terus mencari peluang agar bisa belajar menulis dari mana saja.

Buku pertama dan kedua karya Asep Ardian

Ketekunan Asep membuahkan hasil, ia berhasil menyelesaikan beberapa cerpen dan membukukannya. Menurutnya, buku pertama yang diberi judul “Impas” itu menjadi ajang untuknya mencari gaya dan sudut pandang ketika menulis. Apresiasi dan kritik yang ia dapatkan dari para pembaca bukunya ia terima sebagai bagian dari prosesnya belajar.

Setelah membuat cerpen, ia ingin bisa menulis novel, dan mulai mencicil tulisan menggunakan laptop sederhana yang punya banyak masalah. Kalau ditutup, karena harus melayani pembeli, laptopnya mati. Begitu pun ketika harus ditinggal agak lama dalam keadaan hidup, laptopnya menjadi sangat panas. Ya, jenis laptop yang dipenuhi oleh masalah seperti itulah yang ia gunakan.

Sebenarnya Asep juga sering merasa kurang puas dengan desain sampul buku pertamanya, dan karena itu ia mulai belajar melukis. Belum melukis sungguhan sebenarnya. Setelah merasa harus mengganti laptopnya dengan sebuah tablet sederhana yang dibeli secara mencicil, Asep menemukan sebuah aplikasi untuk melukis secara digital. Ia lalu belajar menggunakannya, media yang dipilihnya adalah akrilik, tentu versi digital juga.

Dalam prosesnya, Asep mulai Asep mulai menyadari bahwa melukis juga bisa jadi salurannya berekspresi. Ia mulai mengikuti workshop. Jadi, sambil belajar memperbaiki kekurangan-kekurangannya dalam menulis yang ditumpahkannya dalam cerita novel, Asep juga mulai belajar teknik melukis, kali ini melukis sungguhan, dengan media akrilik di atas kanvas. Kemudian terpikir untuk melukiskan bagian-bagian dari cerita untuk novel yang sedang dikerjakannya, yang akhirnya memang jadi karya pendukung sebagai ilustrasi dari apa yang ia tulis. Jadi sebenarnya, novel Oni Jouska itu tidak sepenuhnya berdiri sendiri, karena ia punya bagian lain dalam bentuk lukisan. Seluruhnya ada 12 buah lukisan.

Kusala Sastra Khatulistiwa

Kusala Sastra Khatulistiwa adalah salah satu ajang penghargaan prestisius bagi dunia kesusastraan Indonesia. Didirikan oleh Richard Oh dengan nama Khatulistiwa Literary Award. Penghargaan ini berlangsung setiap tahun dimulai dari tahun 2001 sampai tahun 2021. Penghargaan ini sempat terhenti pada tahun 2022 saat Richard Oh meninggal. Semangat yang dibangun memantik keluarganya membangun Yayasan Richard Oh Kusala Indonesia pada tahun 2024, dan melanjutkan ajang penghargaan ini pada tahun 2025.

Nominator Daftar Pendek Kategori Novel, Kusala Satra Khatulistiwa 2025.

Dari lebih 200-an orang yang terdaftar karyanya, nama Asep Ardian tertera dalam daftar panjang kategori novel bersama dengan penulis-penulis lainnya yang namanya sudah jauh lebih dikenal di dunia sastra. Sampai panitia dibuat penasaran, siapa sebenarnya Asep ini, orang yang tidak tergabung dalam kumpulan atau grup sastra, namun bisa masuk hingga daftar pendek. Meski tidak keluar sebagai pemenang, namun paling tidak, ia sudah berhasil mendapatkan perhatian. Datang sendirian dari Baleendah di sebelah selatan Kota Bandung pada ajang penghargaan bertaraf nasional. Sebelum berangkat, ia sempat bertanya-tanya, apa dan bagaimana cara makan di hotel.

Asep di mata keluarga

Bayangan Asep setelah lulus SMP tidak sepenuhnya berjalan sesuai perkiraan, langkah kecil membuka pandangannya terhadap hidup menjadi lebih luas dari sebelumnya.

Bagi Suci, sang adik yang kini menemaninya berjualan batagor, Asep adalah sosok kakak yang penuh perhatian dan bisa diandalkan oleh keluarga. Ia seringkali mendahulukan kepentingan orang lain sebelum dirinya sendiri. Meskipun keluarga tidak pernah menuntut apa-apa, namun kakaknya itu selalu berusaha melakukan yang terbaik. Menurut Suci, kakaknya itu sudah sangat membanggakan, namun keluarga sulit mengungkapkannya secara langsung.

Sepulang dari anugerah Kusala Satra Khatulistiwa, Asep kembali pada rutinitas berjualan batagor, tetap menulis di sela-sela berjualan. Rencana awalnya, novel Oni Jouska akan menjadi bagian pertama dari tiga bagian. Jadi sebuah trilogi. Asep sudah mulai coret-coret lagi, baik di atas tabletnya, juga di atas kanvasnya. Begitulah kira-kira yang dapat saya catat dari obrolan selama dua jam lebih bersama Asep Ardian dalam Dongeng Bandung edisi ke-5 di Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng. ***

Tinggalkan komentar