Societeit Mardi Harjo

Oleh: Aditya Wijaya

Dari baca-baca tentang kesejarahan Kota Bandung, rasanya masih cukup banyak hal yang simpang-siur atau belum dapat diketahui juntrungannya. Salah satunya adalah terkait Societeit Mardi Harjo.

Pertama, mari kita berkenalan dengan istilah societeit. Societeit biasa digunakan untuk menyebutkan suatu perkumpulan sosial swasta, dan tak jarang bangunan tempat perkumpulan itu pun disebut societeit pula. Pada abad ke-18 & ke-19, Societeit merupakan perkumpulan eksklusif untuk kaum pria dari kalangan elite atau militer. Awalnya, kata “societeit” berasal dari kata Latin “societas“, yang berarti “komunitas” atau “perusahaan“. Kata ini berasal dari kata “socius“, yang artinya seperti “pendamping“. Oleh karena itu, kata societeit mengacu pada kelompok orang yang memiliki kesamaan.

Bahasan terkait Societeit Mardi Harjo awalnya saya dapatkan dalam diskusi di lingkungan Komunitas Aleut dan beberapa rekan Aleut mengatakan bahwa Societeit Mardi Harjo ini belum banyak muncul dalam diskusi kesejarahan di Bandung.

Jika kita menyebutkan kata societeit di Bandung, asosiasi kita akan langsung tertuju pada Societeit Concordia. Padahal di Kota Bandung paling tidak pernah ada tujuh societeit. Tiga di antaranya khusus untuk orang Eropa, yaitu Societeit Concordia, Vogelpoel, dan Harmonie.

Suasana sebuah pertemuan kaum pergerakan di Societeit Ons Genoegen yang terletak di Jalan Naripan. Walaupun mengutamakan keanggotaan dari kalangan Indo, namun banyak juga pribumi yang biasa datang ke Ons Genoegen, Foto dari buku Balai Agung di Kota Bandung (Haryoto Kunto, Granesia, 1996).

Hal ini menimbulkan sikap diskriminasi dari masyarakat kolonial, maka terpikirkan oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di Bandung, terutama para pemuka kaum pergerakan, untuk mendirikan gedung pertemuan atau societeitnya sendiri. Societeit itu kelak berdiri dan dinamakan Societeit Mardi Harjo. Lokasinya terletak di sebuah gedung tua di ujung Jl. Kapatihan, belokan Jl. Dewi Sartika sekarang.

Tentang lokasi tersebut, Pak Haryoto Kunto menulis dalam bukunya, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984):

Nah, jadi bagi orang Belanda berpangkat rendah seperti komis atau klerk dan juga orang-orang Indo-Belanda lainnya yang ditolak masuk Concordia, cukuplah mereka berleha-leha menghibur diri di Soos Ons Genoegen (gedung Yayasan Pusat KebudayaanNaripan). Atau main bilyar di Kamar Bola Vogelpool terletak di seberang Ons Genoegen dan berada di Gedung Denis yang model arsitektumya mirip Hotel Homann.

Sedangkan buat orang Melayu tersedia pula balai pertemuan, tapi tidak di JI. Braga yang elit, melainkan di JI. Kepatihan dengan nama Societeit Mardi Harjo. Di tempat itulah orang-orang pergerakan nasional seperti Sukarno dkk melakukan pertemuannya.

Sodeteit Mardi Harjo yang tidak pemah lepas dari pengawasan polisi Kolonia! Belanda (PID), sebenarnya punya nilai historis dalam gerakan perjuangan nasional bangsa Indonesia. Sebab di tempat itulah lahir organisasi Wanita Sejati yang (satu-satunya) mewakili Kata Bandung dalam Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Yang kemudian momen historis itu dijadikan Harl Ibu Nasional.

Di Societeit Mari Harjo itu pula, kemudian lahir Laskar Wanita Indonesia (Laswi) pada tanggal 12 Oktober 1945.”

Dalam buku lainnya, Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia, 1986), Haryoto Kunto menyebutkan bahwa kelahiran organisasi perempuan Wanita Sejati itu pada tahun 1921, artinya Societeit Mardi Hardjo sudah berdiri pula saat itu.

Para pengurus Organisasi Wanita Sejati, antara lain Ny. Ramlan Tirtohusodo (Ketua – x), Ny. Siti Kadariah Kunto (Sekretaris – xx), dan Ny. Sunaryo (Bendahara – xxx). Foto dari buku Balai Agung di Kota Bandung (Haryoto Kunto, Granesia, 1996).

Societeit Mardi Harjo menjadi tempat berkumpulnya orang-orang politik yang berdiskusi, membicarakan kemerdekaan bangsa Indonesia (vergadering atau rapat politik). Di societeit ini sering muncul para anggota studieclub yang dipimpin oleh Soekarno, seperti Gatot Mangkupradja, Ir. Anwari, Dr. Samsi, Mr. Sartono dan lain-lain. Kelak nama-nama tersebut menjadi tokoh penting dalam pergerakan nasional Indonesia.

Selain itu, societeit ini juga menjadi tempat untuk rekreasi berupa “kamar bola” (bilyar). Societeit ini juga sering menjadi tempat penyelenggaraan kursus-kursus keterampilan atau latihan berbagai kesenian daerah. Sjarif Amin dalam buku Keur Kuring di Bandung (Pelita Masa, 1983) cukup jelas menyebutkan fungsi lain dari Societit Mardi Hardjo, “Usum catur, atuh dibelaan huleng-jentul, nyaring nepi ka tariis daun ceuli. Usum bridge-drive, atuh gebreg silih anjangan. Silih sampeur, silih parag. Ngarah loba batur, atuh ngadon ka Mardiharjo, Clubhuis Pasoendan atawa ka Hoa Yoe. Bisi rék notog ongkoh, atawa rék catur.”

Dalam buku Prof. Mr. Koentjoro Poerbopranoto; Karya dan Pengabdiannya, ada sedikit cerita asal usul Societeit Mardi Harjo yang ternyata awalnya merupakan gabungan dari Perkumpulan Kesenian Jawa (Mardi Bekso Iromo) sebagai clubhuis dengan kamar bola Jawa. Mardi Harjo adalah nama baru untuk gabungan itu yang saat itu berlokasi di Pangeran-Soemedangweg. Kemudian gedung Mardi Harjo disewa oleh Taman Siswa yang baru mendirikan cabangnya di Bandung di bawah pimpinan adik (saudara muda) Ki Hajar Dewantara, yaitu R.M. Soertiman Soerjodipoetro yang didatangkan dari Yogyakarta. Pembukaan sekolah Taman Siswa ini dapat menampung anak-anak Indonesia yang terlantar, yang tak dapat meneruskan pelajarannya, karena sekolah-sekolah rakyat dari kaum merah ditutup.

Terkait Mardi Bekso Iromo yang disebutkan tadi, ada satu hal menarik, karena Algemeene Studie Club dibentuk pada saat rapat umum (openbare vergadering) yang digelar di Societeit “Mardi Bekso Iromo” pada hari Minggu, 17 Januari 1926. Pertemuan ini dihadiri oleh kurang lebih 60 orang, di antaranya dokter Tjipto Mangoenkoesoemo dan Darmawan. Gerakan itu dimulai dari Katmira Karnadidjaja, guru di HIS Pasundan, Sajoedin, dan Soerjopranoto, guru di sekolah Ardjoena (Koran De Locomotief, 21 Januari 1926). Algemeene  Studie Club Bandung ini merupakan cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI).

Sementara itu di buku “Siliwangi dari Masa ke Masa”, disebutkan bahwa Mardi Harjo digunakan sebagai tempat pembentukan “LASYWI” atau Lasykar Wanita Indonesia. Diterangkan bahwa organisasi perjuangan kaum wanita ini dibentuk pada tanggal 12 Oktober 1945, dengan bertempat di Mardiharjo, Jalan Pangeran Sumedang No. 91 (sekarang Jl. R. Oto Iskandardinata).

Di buku Prof. Dr. Ir. Sedyatmo Intuisi Mencetus Daya Cipta, disebutkan bahwa Mahasiswa Indonesia (THS) sering mengadakan pertemuan dengan para pegawai atau orang-orang Indonesia yang bekerja di PTT (Kantor Pos dan Telegraf) dan di SS (Perkeretaapian) di sebuah balai pertemuan yang bernama Mardiharjo. Letaknya di sebelah selatan Pasar Baru Bandung (sekarang sudah tak ada lagi). Di tempat inilah para mahasiswa melakukan kegiatan kemahasiswaan, membicarakan situasi politik. Di tempat ini Soekarno sering datang dan memberikan nasihat-nasihat kepada para mahasiswa Indonesia untuk mempertebal rasa kebangsaan mereka.

Dari beberapa informasi itu terlihat bahwa gedung pertemuan atau Societeit Mardi Harjo ini pernah menjadi tempat yang penting bagi perjuangan pergerakan nasional Indonesia. Societeit ini menjadi identitas masyarakat Indonesia pada saat itu.

Selama melakukan pencarian di Internet, saya tidak dapat menemukan satu foto pun dari Societeit Mardi Harjo. Narasi dan materi yang membahas mengenai Societeit ini pun sedikit sekali. Semoga Societeit Mardi Harjo tidak terlupakan di dalam dunia kesejarahan khususnya di Kota Bandung. Terima kasih dan salam!

Sumber:

  1. Buku Haryoto Kunto “Semerbak Bunga di Bandung Raya”
  2. Buku “Prof. Mr. Koentjoro Poerbopranoto; Karya dan Pengabdiannya”
  3. Buku “Siliwangi dari Masa ke Masa”
  4. Buku Prof. Dr. Ir. Sedyatmo “Intuisi Mencetus Daya Cipta”
  5. Wikipedia
  6. Koran De Locomotief, 21 Januari 1926

Tinggalkan komentar