Oleh Deuis Raniarti
Momotoran kali ini merupakan kegiatan lanjutan dari salah satu cerita di kegiatan Ngaleut Makam Pandu yang dilaksanakan minggu lalu. Di salah satu objek yang dikunjungi, ada satu makam yang namanya diduga berkaitan dengan peristiwa penembakan di kawasan Lembang tahun 1948. Peristiwa itu cukup dikenal karena ditulis dan diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul “De Zaak Aernout; Hardnekkige Mythes Rond Een Indische Moord Ontrafeld” oleh Peter Schumacher. Rob Aernout dan Otto Muller von Czernicki menjadi korban dalam peristiwa itu. Selain mengunjungi tempat-tempat yang berhubungan dengan kejadian tersebut, kami juga mengunjungi beberapa makam orang Eropa di Jayagiri, Lembang, lalu melanjutkan perjalanan ke Perkebunan Jagernaek di Sagalaherang, Subang. Berikut ini ringkasan perjalanannya.
Eks Rumah Muller

Tempat pertama yang kami tuju dalam perjalanan ini adalah bekas rumah Muller. Di sini kami bertemu dengan Pak Purba, beliau dan keluarganya adalah orang yang kini menempati rumah ini. Ketika kami tanya apakah beliau mengetahui tentang Muller, Pak Purba langsung bercerita apa yang ia ingat dan ketahui. Menurutnya, setelah Muller mati, istri dan kedua anaknya kembali ke negaranya. Setelah ditinggal pergi, rumah ini kemudian dipakai sebagai markas oleh pasukan tentara yang sedang bertugas di Lembang. Entah tahun berapa rumah ini pernah juga dipakai oleh seorang yang disebut Komandan. Dari Komandan inilah ayahnya Pak Purba membeli rumah ini. Pak Purba juga masih ingat dulu di dalam rumah ada perapian, dan menyayangkankan karena perapian itu terpaksa dibongkar untuk mendapatkan keluasan bagian dalam rumah. Dulu di halaman rumah terdapat kolam kecil, namun sekarang sudah tidak ada bekasnya. Ia juga masih ingat ketika kecil pernah membakar banyak buku bergambar pesawat yang ada di rumah ini, suatu tindakan yang kini ia sesali juga. Beberapa tahun yang lalu, anak Muller dari Belanda datang berkunjung ke rumah ini, bahkan sampai dua kali. Sayangnya, Pak Purba tidak memiliki dokumentasi kunjungan tersebut.
Makam Kristen

Setelah dari Pak Purba, kami mencari keberadaan makam-makam tua yang ada di Jayagiri, dengan harapan bisa mendapatkan cerita-cerita tambahan. Kami mampir ke sebuah TPU Kristen yang letaknya tak jauh dari Tugu Junghuhn. Di sini kami ditemani oleh bu Ceuceu dan suaminya, mereka adalah penjaga makam generasi ke empat. Ibu Ceuceu berusia 66 tahun, selama ini ia menghabiskan masa hidupnya di rumahnya yang berada satu komplek dengan permakaman ini. Ibu Ceuceu mengenali dengan cukup baik semua makam yang ada dalam kompleks ini. Sayangnya, kami tidak menjumpai apa yang kami cari.
Kompleks Makam di Jayagiri


Sebelum menuju sebuah makam lain yang diceritakan oleh Pak Purba, kami juga mampir ke sebuah komplek makam bercungkup yang berada di pinggir jalan. Gerbangnya cukup menarik perhatian karena pada tembok di sisi kanan dan kirinya ada lambang yang sekilas mirip seperti lambang Belanda, atau mungkin lambang Bandung pada masa Hindia Belanda. Nisan-nisan di dalam kompleks ini terlihat cukup baru, sepertinya bagian yang bercungkup adalah makam keluarga, namun di lahan luar cungkup kami juga melihat ada bekas-bekas makam lain yang sebagian besar sudah tertimbun di bawah tanah.
Makam Nisan Panjang

Tempat yang selanjutnya adalah ke makam dengan nisan panjang yang ada di tengah permukiman warga. Makan panjang ini hanya ada satu, dan tidak ada makam lainnya di sekitar makam ini. Di makam ini tertulis nama Ernestine Florentine Jansz yang lahir di Surabaya, 15 April 1875, dan wafat di Jayagiri, 29 Oktober 1908. Di ujung kanan bawah terdapat tulisan yang sudah kurang jelas terbaca.
Makam Keluarga Walters

Makam selanjutnya yang kami datangi adalah tiga buah makam berwarna biru dari keluarga Walters. Makam ini terletak di Kampung Junghuhn, tak jauh dari lokasi Tugu Junghuhun. Menurut warga, dulunya makam ini berada di pinggir jalan utama, lahannya kemungkinan yang kini menjadi bangunan gereja. Entah tahun berapa makam ini dipindah ke tempatnya sekarang. Sekarang makam ini berada di tengah kebun warga. Terlihat ada tiga nisan, namun hanya dua saja yang memiliki nama. Nisan ini cukup unik, walaupun namanya nama orang Eropa, tapi tulisannya justru berbahasa sunda.
Yang pertama, nisan atas nama G. B. Walters, lahir di Sumedang 22 Januari 1879, dan wafat di Bandung 7 Oktober 1952, di bawahnya terdapat tulisan Djabur 76:24. Kedua, makam M.A Walter-Altheer, lahir di Surabaya 1 November 1876, dan wafat di Lembang 2 September 1944, di bawahnya tertulis Johanes 14:1-3. Pada nisan ketiga tidak terdapat tulisan. Warga sekitar tidak tahu apakah makam tersebut kosong atau apakah pernah ada nisannya dahulu. Tidak ada informasi juga siapa yang dimakamkan di sana. Walaupun kami memiliki dugaan, tapi sementara disimpan dulu saja sampai ada keterangan tambahan kelak.
Makam di Sagalaherang

Setelah mengunjungi beberapa komplek makam di Lembang, kami melanjutkan perjalanan ke arah Subang. Kami menikmati pemandangan perkebunan dan persawahan di sepanjang perjalanan dari Lembang hingga Sagalaherang. Memasuki Kampung Jagernaek, terlihat rumah-rumah dengan halaman yang umumnya ditumbuhi banyak tanaman rumahan dan buah-buahan, suasana kampung cenderung sepi, tidak banyak orang terlihat di luaran. Hamparan persawahan dengan gradasi warna hijau, kondisi serta jalanan yang menanjak dan menurun. Di sana-sini ada hutan-hutan kecil yang terlihat cukup lebat. Penasaran juga ingin mampir ke dalamnya, tapi kali ini kami lewatkan dulu karena ada hal lain yang sedang kami tuju.
Kami tiba di sebuah daerah yang bernama Tengger Agung yang pada masa Hindia Belanda merupakan bagian dari kawasan perkebunan P&T Landen milik Pieter Willem Hofland. Di sini kami melipir pematang sawah menuju satu kompleks makam yang terletak di atas gawir. Di sini terdapat cukup banyak makam tua dengan nisan batu yang berjejer maupun nisan keramik yang sudah kekinian. Makam yang kami tuju ada di paling ujung, di batas antara persawahan dengan hutan dan lembahan dengan pohon-pohon besar. Di sini tanaman liar yang cukup tinggi menutupi area makam yang kami cari, sebuah makam besar dengan bentuk unik, serta empat makam Eropa lainnya yang semuanya sudah tidak bernama. Makam besar dengan motif yang menarik perhatian itu adalah makam milik istri dan salah satu anak Hofland. Pada bagian atas makam tertulis nama Maria Elizabeth van Lawick van Pabst dan di bawahnya tertulis nama Francis Theodore Hofland.

Dalam buku “Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigheden Betreffende Europeanen op Java” tercantum foto lama makam ini. Pada foto lamanya, makam ini dikelilingi pagar dan tangga di sekelilingnya, di bagian atasnya juga terdapat patung, namun kondisinya sudah berbeda dengan yang kami lihat pada hari Minggu, 27 Agustus 2023 lalu. Menurut informasi pada nisan yang sudah kurang jelas terbaca, Istri Hofland, Maria Elizabeth van Lawick van Pabst lahir tanggal 23 Mei 1842, dan meninggal tanggal 17 November 1871. Sementara anaknya, meninggal saat masih bayi, lahir 29 Mei 1860, dan meninggal 29 Agustus 1860.
Begitulah ringkasan perjalanan kami kali ini, tidak semua dapat diceritakan karena masih berupa ceceran cerita yang masih perlu sambungan dan kelengkapan yang mudah-mudahan dapat segera terkumpul menjadi suatu cerita panjang yang runtut. Masih perlu beberapa kunjungan lain ke tempat-tempat lain pula. Satu kegiatan bisa berlanjut dan terus bersambung dengan cerita lainnya. Sampai bertemu lain waktu. ***
Semua foto Deuis Raniarti/Komunitas Aleut