Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Agnia Prillika
Mungkin tak banyak khalayak yang mengetahui jejak keberadaan jalur kereta api di daerah Bandung Selatan. Ya, jejak-jejaknya perlahan musnah digerus zaman. Pembukaan jalur kereta api di Bandung pada tahun 1884 seperti memberikan harapan dapat menjangkau daerah-daerah yang jauh dari pusat perkotaan yang sebelumnya hanya menggunakan pedati sebagai sarana angkutan. Hal tersebut membuat banyak pihak berlomba mendapatkan konsesi untuk membangun jaringan jalur kereta api di Bandung Selatan.
Beberapa ajuan konsesi pembangunan diterima oleh pemerintah, tapi lalu gagal diwujudkan karena masalah modal yang terlalu besar dan tak dapat dipenuhi. Akhirnya, Staatsspoorwegen (SS) yang merupakan perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda saat itu mengambil alih langsung pembangunan jalur kereta api ke daerah pedalaman, salah satunya yaitu jalur Bandung-Ciwidey.
Kali kedua saya ikut momotoran bersama tim ADP-20 dari Komunitas Aleut, adalah menyusuri jejak jalur kereta api Bandung-Ciwidey yang sudah lama mati. Melalui kegiatan inilah saya mendapatkan cerita yang sebagian akan saya bagikan di sini.
Titik tuju pertama adalah bekas Stasiun Dayeuhkolot yang berlokasi dekat aliran sungai Ci Tarum. Stasiun ini dibuka sebagai bagian jalur kereta api Bandung-Soreang yang selesai dibuat pada 1921. Stasiun Dayeuhkolot memiliki jalur percabangan menuju Majalaya, menggunakan rel yang mengarah ke sebelah kiri. Sementara arah ke kanan menuju ke Banjaran, Baleendah, Pameungpeuk, dan Soreang.
Kondisi bekas Stasiun Dayeuhkolot kini telah berubah menjadi bengkel, toko bahan bangunan, dan toko pakan burung. Lingkungan di sekitarnya telah menjadi jalanan padat yang dipenuhi oleh permukiman warga. Bagian bangunan asli yang masih tersisa dan dapat dilihat hanyalah bangunan kecil dengan atap kusam, serta rel kereta yang tidak terlihat jelas karena sudah tertutup oleh jalanan dan rumah warga.



Selanjutnya adalah Stasiun Banjaran, yang menjadi sarana utama penghubung antara Soreang, Pangalengan, dan Dayeuhkolot. Stasiun ini digunakan sebagai jalur pengangkutan hasil perkebunan dari wilayah Arjasari, Puntang, Pangalengan, dll. Kawasan perkebunan terdekat dengan stasiun ini adalah Perkebunan Teh Arjasari yang dibuka tahun 1869 oleh R.A. Kerkhoven. Pada tahun 1873, putra R.A. Kerkhoven, yaitu R.E Kerkhoven membuka perkebunan teh di Gambung. Dengan adanya kereta api, pengangkutan hasil produksi dari kedua perkebunan ini menjadi lebih mudah, murah, dan cepat.
Beberapa jejak tersisa di sekitar Stasiun Banjaran adalah dinding bangunan utama stasiun, gudang penyimpanan, alat pengangkut barang, lampu listrik, dan bekas rel kereta. Kawasan terbuka di sekitar Stasiun Banjaran masih cukup luas, meskipun berada di tengah-tengah permukiman warga. Titik akhir tahap awal pembangunan jalur kereta api di kawasan ini adalah Stasiun Kopo yang kini bernama Soreang. Pembangunan jalur kereta api Bandung-Dayeuhkolot-Banjaran-Kopo ini dilaksanakan oleh Staatsspoorwegen dan berlangsung mulai tahun 1917 sampai selesai pada tahun 1921. Keseluruhan biaya yang dikeluarkan adalah sekitar 1.385.000 gulden dengan jarak sekitar 26,5 kilometer dihitung dari Cikudapateuh sampai Kopo. Pada tanggal 13 Februari 1921, jalur ini diresmikan dan sudah dapat digunakan.





Selanjutnya, perusahaan Staatsspoorwegen melakukan pembangunan jalur menuju Ciwidey melalui beberapa lembahan yang cukup lebar, sehingga diperlukan pembangunan sejumlah jembatan.
Jembatan pertama adalah Jembatan Sadu atau yang disebut sebagai Jembatan Cibeureum oleh warga sekitar. Jembatan ini menghubungkan Desa Sadu dengan Desa Cilame, panjangnya sekitar 70 meter. Letak jembatan ini tidak jauh dari Jalan Raya Soreang–Ciwidey. Setelah Jembatan Sadu, ada Jembatan Rancagoong yang membentang di atas Sungai Ciwidey. Dilihat dari kejauhan, jembatan ini masih terlihat cantik dan kokoh.


Jembatan ketiga yang kami datangi adalah Jembatan Andir atau sering juga disebut Cikabuyutan. Berbeda dengan kedua jembatan sebelumnya yang masih digunakan oleh warga sebagai akses jalan antar kampung, Jembatan Andir ini tidak bisa dilewati karena kondisinya yang lumayan parah. Tidak ada penyangga yang cukup kokoh, banyak pula bagian jembatan yang sudah berkarat parah dan rusak, sementara ketinggiannya lumayan menyeramkan.
Tak jauh dari lokasi Jembatan Andir, tepatnya di Cukanghaur, pernah terjadi kecelakaan yang cukup besar, kereta api anjlok dari relnya. Belum terlalu jelas informasi tentang kecelakaan yang terjadi pada tahun 1978 (ada yang menyebut tahun 1972 dan 1976) ini, namun sejak itu jalur kereta api Bandung-Ciwidey tidak lagi beroperasi.
Kembali ke pembangunan jalur kereta ke Ciwidey, Staatsspoorwegen berhasil menyelesaikan pekerjaan ini dan meresmikan pembukaannya pada 17 Juni 1924. Sebagai stasiun terminus, Stasiun Ciwidey memiliki fasilitas yang cukup lengkap, kompleks pergudangan, kompleks rumah pegawai kereta api, dan pemutaran (turntable) lokomotif.
Berbagai jejak peninggalan seperti yang disebutkan di atas, masih dapat kita lihat di kawasan bekas Stasiun Ciwidey ini, meskipun kondisinya sudah tidak terawat dan letaknya terhimpit oleh kepadatan permukiman warga.
Sekitar 58 tahun lamanya, jalur kereta api Bandung-Ciwidey ini beroperasi sampai akhirnya harus
diberhentikan. Tentu bukan tanpa sebab, melainkan ada beberapa faktor yang menyebabkan jalur ini harus ditutup, selain soal kecelakaan yang sudah disebutka di atas. Jalur percabangan tidak lagi menjadi prioritas utama sehingga perusahaan kereta api melakukan efisiensi termasuk jalur-jalur di Jawa Barat. Transportasi kereta api juga menjadi kalah saing dengan moda transportasi yang lebih praktis seperti mobil dan motor yang berkembang dengan pesatnya.




***