Maria dan Potret Muram Buruh Perempuan di Perkebunan Deli

IMG-20180502-WA0017

Oleh : Pinot Sity (@ratukerang)

Pada 1879 para petualang Eropa mendirikan sebuah perkumpulan pengusaha perkebunan di Deli yang mereka namakan “Deli Plantersvereniging”. Geng pengusaha yang menaungi sekitar 70 perusahaan perkebunan. Dari eksploitasi karet hingga tembakau, perusahaan-perusahaan besar di Deli itu tumbuh lebih berkuasa ketimbang pemerintah kolonial. 

Para pengusaha perkebunan mulai melakukan perekrutan dalam skala besar. Rata-rata didominasi oleh laki-laki Jawa dan Cina, biasanya dari kelompok masyarakat sangat miskin. Pada masa rintisan perkebunan, perempuan sama sekali tak disebut sebagai sumber tenaga kerja, karena jumlah mereka sangat kecil. Pemerintah tidak tertarik mendatangkan pekerja perempuan, walaupun ada pekerja perempuan yang mulanya para istri buruh laki-laki.

Dengan meningkatnya permintaan terhadap buruh kontrak, perempuan mulai dilirik. Selain karena hal itu, pekerja perempuan didatangkan guna melayani kebutuhan seksual para buruh kontrak Asia yang masih lajang dan para pemilik perkebunan. Usaha yang dilakukan oleh pihak perusahaan untuk mendatangkan buruh perempuan yakni dengan mengubah kebijakan seperti memberi izin dan mendorong para buruh laki-laki Cina atau Jawa untuk berimigrasi bersama keluarganya. Bahkan perekrutan perempuan Jawa dan gadis (muda) dilakukan dengan cara penipuan.

Awal perekrutan tenaga buruh perempuan dilakukan pada 1885 oleh perusahaan tembakau Deli Maatschappij dengan merekrut sebanyak 150 perempuan. Para buruh perempuan kebanyakan dari Jawa, sebagian buruh perempuan Cina didatangkan dari Straits Settlement di Malaya.

Pada 1908 seorang perempuan lajang bernama Maria Aprilia Deborah mendaftarkan diri sebagai buruh kontrak-kuli di perkebunan Sumatra. Dalam buku Sejarah Nyai dan Pergundikan karya Reggie Baay, disebutkan bahwa Maria adalah anak hasil hubungan antara seorang pegawai perdagangan Eropa dengan seorang perempuan pribumi yang merupakan nyainya. Berkat bapaknya, Maria yang dilahirkan pada 26 April 1890 menyandang nama belakang Belanda.

Meski dilahirkan sebagai anak campuran Pribumi dan Eropa, kehidupan Maria tak jauh dari kemelaratan. Ia hidup bersama ibunya yang Pribumi, hal ini diketahui dari korespondensi (surat menyurat) dari seorang saudara laki-laki di sebuah kampung. Ketika di Sumatra, Maria direkrut menjadi buruh kontrak di perkebunan Maatscappij.

Di perkebunan, para buruh perempuan dibikin bergantung pada pegawai Eropa. “Apa yang kadang-kadang menjadi nasib para pekerja kontrak perempuan, yang menyenangkan sang tuan dengan kecantikannya, adalah hal yang pasti terjadi,” tulis Van den Brand dalam brosur.

Kehadiran Maria di perkebunan, lantas menarik perhatian seorang administrator Eropa bernama Frans yang juga bekerja di perusahaan perkebunan Maatscappij. Kemudian Frans pun mengambil Maria sebagai nyainya. Setahun kemudian lahirlah anak laki-laki pertama mereka. Beberapa tahun kemudian, pada 1913, menyusul kelahiran seorang anak perempuan. Pada 1917, kedua anaknya mendapat pengakuan dari Frans.

Tiga tahun kemudian Frans memutuskan kembali ke Belanda dengan membawa kedua anaknya, namun Maria harus tetap tinggal di Hindia-Belanda. Para laki-laki Eropa beralasan bahwa pernikahan di antara para kuli tidak pantas menyandang sebutan pernikahan, karena hal itu dianggap sebagai perbuatan asusila. Ditambah anggapan soal kurangnya kesetiaan para pasangan terhadap pernikahan.

Maria adalah satu potret muram buruh perempuan. Dalam sebuah roman karya Carry van Bruggen diceritakan tentang buruh perempuan dari Jawa yang diusir oleh seorang asisten perkebunan Oud Tanah Radja karena “hubungan yang tidak diperkenankan” dengan istrinya. Kisah ini menggambarkan situasi buruh perempuan di perkebunan Deli pada masa Hindia-Belanda:

“Selama tinggal di Hindia ia memiliki perempuan sebanyak yang diinginkannya, banyak petualangan. Ia muda, tampan dan sensual. Di rumah ia memiliki seorang pengurus rumah tangga Jawa, seorang gadis muda bertubuh molek dengan mata bagaikan batu hitam yang mengkilat. Namun di samping itu, ia juga mengenal banyak perempuan lain di dalam kampung-kampung. Sebuah perkara kecil dengan seorang kuli perempuan yang sudah menikah di perkebunan miliknya harus diselesaikannya sesekali menggunakan uang.”

Menjadi seorang buruh kontrak perkebunan Deli, kemudian naik pangkat menjadi nyai, statusnya masih tak jelas. Ia adalah seorang kuli, pengurus rumahtangga sekaligus pasangan tidur, menjadikan hidup Maria jauh dari kata bahagia. Melahirkan anak dari seorang laki-laki Belanda, namun harus berpisah dengan mereka membuat hidup Maria jadi lebih suram.

Ketika pada 1938 putrinya kembali menemuinya, Maria sudah didera skizofrenia dan dirawat di rumah sakit jiwa di Lawang, Jawa Timur. Ia mengalami kesulitan selama perang, yang terus berlanjut sampai masa bersiap. Kematiannya pada 1953 di usia 63 tahun menutup kisah tragis seorang Maria Aprilia Deborah.

(komunitasaleut.com – pin/upi)

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s