Stasiun (Barat) Bandung

Oleh: Frans Ari Prasetyo

Stasiun Bandung Pintu Selatan (Foto oleh Frans Ari Prasetyo 25 Feb 2016)

Stasiun Bandung Pintu Selatan (Foto oleh Frans Ari Prasetyo 25 Feb 2016)

Stasiun Bandung memiliki cerita panjang terkait sejarah transportasi, heritage, hingga mobilitas dan kehidupan warga di sekitarnya sejak era kolonial hingga sekarang ini. Stasiun Bandung sejak awal diresmikan 17 Mei 1884 lalu mengalami perluasan pada tahun 1909 melalui kerja arsitek  bernama FJA Cousin. Pada awalnya, Stasiun Bandung ini hanya memiliki satu pintu masuk yang kita kenal sekarang sebagai Stasiun Bandung Pintu Selatan dengan desain arsitektur bergaya artdeco, sedangkan Pintu Bagian Utara baru terbagun pada tahun 1990 yang lokasinya berada di jalan Kebon Kawung dengan desain arsitektur modern.

Kedua sisi ini dapat kita bedakan jelas dari segi arsitektural, dan berdasarkan kelas sosial peruntukannya. Pada kedua pintu bagian selatan dan utara tertera angka +709m yang artinya merupakan representasi dari ketinggian kota Bandung yang pada posisi di Stasiun Bandung berada pada ketinggian +709m di atas permukaan laut. Angka ini juga menunjukan bahwa (Stasiun) Bandung berada di dataran tinggi atau pegunungan.  Menurut SHP No.6/1988 dan Perda Kota Bandung No.14/2007 kondisi sekarang  stasiun bandung, area Stasiun Utara  berada di Kelurahan Pasirkaliki-Kecamatan Cicendo dan Stasiun Selatan, sebagian masuk kelurahan Kebon Jeruk – Kecamatan Andir.

Pintu stasiun bagian selatan diperuntukan untuk masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Hal ini dibuktikan dengan loket tiket dan jalur kereta yang berada di area selatan diperuntukan untuk kereta ekonomi yang mayoritas melayani rute ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan rute-rute pendek di sekitar kota dan kabupaten Bandung, seperti Cicalengka dan Rancaekek. Sedangkan pintu bagian utara diperuntukan untuk masyarakat ekonomi kelas menengah keatas yang terbukti dengan tersedianya loket tiket dan jalur kereta untuk kereta kelas bisnis dan eksekutif yang melayani rute ke Jakarta. Walaupun terdapat juga rute ke Jawa Tengah dan Jawa Timur hanya saja kereta dengan kelas bisnis dan eksekutif.

Sejak awal tahun 2000-an, Stasiun Bandung hanya melayani untuk kereta api kelas bisnis dan eksekutif dengan rute Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur karena untuk kelas ekonomi telah dipindahkan ke stasiun Kiaracondong. Namun untuk rute-rute pendek di sekitar Kota dan Kabupaten Bandung untuk kelas ekonomi tetap berada di Stasiun Bandung. Pintu bagian selatan dari stasiun Bandung ini memiliki dua ruas jalan, di sebelah kanan pintu menjadi jalan Stasiun Barat yang mayoritas aktivitasnya terkait dengan bidang informal warga seperti warung, penginapan, jasa ekspedisi hingga tempat jasa transportasi, sedangkan di sebelah kirinya menjadi jalan stasiun timur yang menjadi rumah-rumah dinas karyawan perusahaan kereta api.

Menurut cerita salah satu warga, Pak Toto (nama samanaran), 80 tahun, wilayah Stasiun Barat ini menjadi kawasan perniagaan yang sangat ramai sejak jaman Belanda. Stasiun Barat ini menjadi gudang sementara dari hasil produksi perkebunan di Bandung sebelum diangkut menggunakan kereta api ke Jakarta atau ke Jawa. Penuturan selanjutnya mengisahkan bahwa di depan pintu Stasiun Bandung bagian selatan  inilah untuk pertama kalinya lampu menyala terang pertama kali. Hal ini wajar terjadi karena aktivitas stasiun yang cukup ramai oleh mobilitas dan perniagaan tadi. Maka, pemerintah kota mendirikan satu tiang berupa monumen yang dirancang oleh Ir. EH De Ro dengan menyalakan ratusan lentera. Namun seingat Pak Toto, pada monumemen tersebut terdapat tiang yang tinggi dengan satu lampu utama yang sangat besar dan menyala terang  di malam hari. Seiring perkembangan waktu, monumen tersebut pada sekitar awal tahun 1990an digantikan dengan simbol replika lokomotif uap seri TC 1008 sebagai representasi sejarah atas keberadaan Stasiun Bandung hingga saat ini.

Stasiun Bandung awalnya menjadi pintu masuk dan keluar dengan mengunakan jasa kereta api untuk mengirimkan hasil perkebunan yang dikelola oleh Preangerplanters ke Batavia (Jakarta) lebih cepat. Lalu kemudian diikuti oleh jalur pengiriman hasil produksi gula dari Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 1894. Seiring waktu, kereta api menjadi sarana angkutan masal publik untuk mobilitas manusia. Maka dari itu, perkebangan stasiun Bandung  tidak bisa lepas dari posisi kota Bandung sebagai pusat ibukota dari provinsi  Jawa Barat.

Hingga sekitar tahun 90-an, warga Jawa Barat yang ingin berpergian ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan menggunakan jasa kereta api akan datang dan berada di Stasiun Bandung terlebih dahulu. Hal ini dilakukan karena pada tahun-tahun tersebut masyarakat Jawa Barat, Kota Bandung dan sekitarnya terbatas memiliki informasi terkait jadwal keberangkaran dan kedatangan kereta api di Stasiun Bandung,khususnya kereta api menuju dan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maka, banyak penumpang dari luar Kota Bandung yang singgah dan bermalam di stasiun Bandung.

Akibat dari situasi ini, permintaaan akan kebutuhan seperti makan-minum, penginapan dan toilet umum menjadi penting. Situasi inilah yang kemudian dimanfaatkan warga untuk membuka lapangan usaha di Stasiun Barat khususnya untuk menyediakan fasilitas itu. Mulailah berkembang warung-warung nasi, jasa penginapan hingga moda transportasi yang mendukung akses menuju-dari stasiun Bandung.

Wilayah Stasiun Barat menjadi lahan parkir umum mobil/motor, pangkalan becak, dan pangkalan andong/sado. Hingga saat ini hanya andong/sado yang sudah tidak ada di area Stasiun Barat, sisanya masih beroperasi seperti biasa. Wilayah stasiun Barat pun menjadi ruang terbuka bagi siapapun terutama anak-anak untuk bermain juga dimanfaatkan sebagai lahan pekerjaan informal. Sebut saja mulai dari tukang parkir motor, mobil, truk, pedagang kaki lima yang menjual manakan ringan, penginapan, hingga makanan-makanan lain yang menggunakan gerobak seperti bubur ayam, bakso sampai yang dipikul seperti lontong sayur, jagung dan kacang rebus. Hal ini belum lagi ditambah oleh para pekerja angkut barang-barang ekspedisi, tukang cuci mobil dan truk, hingga para pekerja kasar di stasiun seperti tukang angkat barang penumpang hingga tukang perawatan yang membersihkan dan mengganti rel kereta yang rusak.

Selain itu, usaha penyediaan toilet umum juga berkembang karena di area stasiun dengan mobilitias orang yang sangat banyak fasilitas toilet sangat terbatas dan berada didalam stasiun yang hanya dapat diakses jika membeli tiket peron kereta api. Walaupun toilet umum yang disediakan oleh warga ini berbayar “seikhlasnya” tapi ada juga yang tertera tarif tertentu tetapi tetap lebih murah dari membayar peron kereta api dan ketika menggunakan toilet stasiun pun harus membayar juga. Harga peron kereta api saat itu sekitar Rp 100-200, sedangkan untuk menggunakan toilet umum warga hanya dikenakan biaya Rp 50.

Usaha informal ini ada yang permanen ada juga yang temporal, bergantung ramai-tidaknya suasana di stasiun. Biasanya penginapan akan ramai kerika menjelang hari-hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri, Idul Adha dan hari Natal menjelang tahun baru. Di hari-hari luar itu, stasiun juga akan mengalami peningkatan jumlah pengunjung ketika hari libur sekolah.

Jalan Stasiun Barat (Foto oleh Frans Ari Prasetyo 16 Feb 2016)

Jalan Stasiun Barat (Foto oleh Frans Ari Prasetyo 16 Feb 2016)

Wilayah stasiun barat kian ramai karena pada tahun 1957 karena menjadi tempat penampungan sementara penghuni/pedagang pasar beras yang direlokasi dari Pasar Andir. Namun, relokasi ini kemudian tidak sepenuhnya berjalan baik. Ketika Pasar Andir sudah kembali dibangun, ada banyak pedagang beras yang enggan untuk kembali ke sana. Para pedagang merasa wilayah Stasiun Barat ini lebih strategis karena ramainya mobilitas orang yang berlangsung hingga awal tahun 1990-an.

Kehidupan warga dan geliat ekonomi di wilayah stasiun Bandung khususnya barat berkembang pesat dan mengalami puncaknya di periode 1980-an hingga 1990-an. Kondisi tersebut mulai mengalami penurunan sejak dibukanya pintu stasiun bagian utara dan dialihkannya kereta ekonomi rute Jawa Tengah dan Jawa Timur ke Stasiun Kiaracondong di awal tahun 1990-an, dan wilayah ini akhirnya digusur pada 26 Juli 2016 lalu. Kondisi terakhir sebelum pembongkaran terjadi, wilayah Stasiun Barat ini berada di luas area 1.640 m2 yang terdiri dari 30 petak kios/warung di bagian depannya yang menghadap Jalan Stasiun Barat serta 32 rumah tinggal di bagian belakangnya yang dihuni oleh 57 KK.

Secara pribadi, saya memiliki memori mengenai situasi dan kondisi Stasun Barat dalam waktu yang cukup singkat antara periode 1994 hingga tahun 2000. Pada waktu itu, saya yang tinggal di Kampung Biru, Dago, bersekolah di SMP Negeri 1 Bandung dan SMA Negeri 6 Bandung. Lokasi kedua sekolah iini berada pada ruas Jalan Pasirkaliki, tak jauh dari Stasiun Bandung. Jadi, ketika akan naik angkutan kota (angkot) pulang dari sekolah, saya akan berjalan kaki menelusuri jalan Stasiun Barat menuju pintu selatan Stasiun Bandung yang menjadi terminal angkot yang melayani rute angkot Stasiun Hall-Dago atau St. Hall-Dago.

Beragam cerita dan pengalaman saya dapatkan dari warga setempat. Di Stasiun Barat inilah, untuk pertama kalinya saya dipalak oleh preman stasiun setelah pulang sekolah SMP. Padahal, uang yang diambil itu adalah ongkos untuk naik angkot pulang. Beruntung ada sopir angkot yang kebetulan rumahnya dekat dengan rumah saya, dan saya bilang mengenai kejadian itu ia membiarkan saya naik angkotnya dengan gratis. Di tempat yang sama juga nyaris terlibat  tawuran dengan antara SMP 1, tempat saya sekolah dengan SMP 6 tapi lolos jadi karena diselamatkan oleh sopir angkot Dago-Stasiun yang mengenal saya karena sering naik angkotnya.

 

Beragam kejadian di stasiun barat ini memberikan banyak narasi keseharian warga termasuk orang-orang yang bersinggungan langsung maupun tidak langsung dengan warga dan wilayah ini, termasuk saya pribadi selain narasi sejarah tentang ruang, tempat dan arsitekturnya.

 

___

Tulisan ini merupakan sumbangan dari Frans sebagai bagian dari Kelas Literasi dengan tema “Menulis Bandung”. Bagi kawan-kawan yang tertarik untuk menulis seperti ini, tulisannya bisa dikirim ke komunitasaleut@gmail.com.

Iklan

Satu pemikiran pada “Stasiun (Barat) Bandung

  1. Ping balik: Menghidupkan Kenangan Dari jalur Kereta Mati di Bandung | Dunia Aleut!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s