Oleh: Indra Pratama (@omindrapratama)
Connecting people. Banyak orang mengenal dua kata ini sebagai tagline komersial Nokia, produsen alat komunikasi terbesar dunia di dekade pertama abad XXI. Tapi terlihat bahwa connecting people juga sangat bisa dipakai untuk menjadi judul semangat jaman dunia pasca Perang Dunia II. Para akademisi, teknisi, dan tidak ketinggalan para industrialis dan pemasar, berlomba dengan sangat keras untuk menghubungkan manusia dengan manusia lain melewati perbedaan ruang. Sesuatu terobosan yang puluhan ribu tahun sebelumnya belum ada dari proses interaksi dan komunikasi antar manusia.
Kini sampailah kita semua pada era di mana semua manusia bisa terhubung, tanpa perbedaan ruang menjadi penghalang. Cita-cita yang sudah puluhan tahun dirintis, tercapai sudah. Koneksi sinyal ponsel, infra merah, bluetooth dan internet menjadi perwujudan cita-cita puluhan tahun. Tatap muka, bagi Generasi Y dan Millenial, menjadi opsi terakhir dalam daftar metode komunikasi. Selama pesan tersampaikan, katanya. Karakter yang terketik dianggap bisa menjadikan proses komunikasi lebih efektif dan objektif.
Dunia modern memang menuntut sifat objektif. Namun bagi sebagian manusia, ada banyak hal yang dirindukan dari subjektivitas tatap muka. Komunikasi modern meminimalisasi emosi, intonasi, gestur, dan keunikan individual demi efektivitas, yang dianggap lebih mudah dicapai dengan menerapkan aturan main universal. Bagi sebagian manusia ini, terasa menyenangkan juga berlumur cipratan ludah rekan debat, melihat perubahan ekspresi kesedihan menjadi kelegaan dari kawan yang bercerita tentang patah hatinya, atau bercucuran keringat saat berjalan kaki berkeliling kota.
Manusia-manusia ini menolak untuk diseragamkan dalam berhubungan. Manusia-manusia ini tidak menaruh respek terlalu dalam kepada emosi palsu dari emoticon dan tidak pula terlalu banyak menjual diri dan pikiran secara banal dalam perang konten digital mass media serta media sosial. Manusia-manusia ini tidak akan terlalu terpana pada rating dari TripAdvisor atau review di Kaskus mengenai suatu atraksi publik. Manusia-manusia ini menjalani hidup yang lebih sulit akibat memperjuangkan sifat kemanusiaan dari manusia.
Saya mengenal satu kelompok manusia yang seperti itu. Namanya Komunitas Aleut. Komunitas Aleut (dulu pernah bernama Klab Aleut). Komunitas Aleut adalah komunitas belajar Aleut secara konsisten menjadikan diri sebagai comnection hub bagi para pegiatnya dengan manusia, ruang, dan waktu yang lain dengan metode paling kuno: lihat, dengar, dan rasakan. Berkenalan, belajar, aktif, betah, dan memberi kontribusi.
Satu hal lagi, di Aleut, proses regenerasi berjalan nyaris tidak pernah putus. Selalu ada pegiat baru yang loyal dan militan menggantikan pegiat lain yang sudah tidak bisa atau tidak mau lagi aktif. Demografi usia pegiat yang beragam menjadikan semakin banyak sudut pandang.
Mereka melakukan perjalanan yang memperkenalkan para pegiat akan banyak hal manusiawi, seperti sejarah, ritual, tradisi, dan bahkan kuliner dari sebuah tempat. Dengan sendirinya mengajak untuk melihat sebuah ruang dengan persepsi yang tidak generik. Setiap pegiat juga diperlakukan sebagai individu yang unik. Kelas-kelas diskusi selalu terbuka lebar untuk setiap pemikiran, selera, dan bahkan untuk setiap kesalahan cara pikir dan ketidaktahuan. Beberapa bahkan didesain khusus sesuai minat seorang pegiat. Tidak ada ideologi umum yang harus dianut untuk menjadi peserta, hanya kemauan untuk membuka panca indra dan pemahaman akan proses belajar bersama. Dengan sendirinya, transfer pengetahuan terjadi dengan kuantitas cukup banyak dan secara konsisten. Namun perlu diingat, masalah teknis dan materi bagi Aleut bukanlah hal yang utama dibandingkan dengan pengembangan pegiat.
Dari semua aktivitas berhubungan yang saya tuliskan dengan bahasa yang berat sebelumnya, sebetulnya dilaksanakan oleh Aleut dengan kasual dan “biasa aja”. Kegiatan jalan-jalan tetap kaya dengan humor, jajan spontan, serta selfie-selfie centil. Kegiatan diskusi pun banyak melibatkan bahasan percintaan, pertemanan, hal cabul, hingga percintaan dan pertemanan yang cabul serta alur yang ngalor ngidul.
Maka sedih rasanya ketika menemukan pendapat bahwa Aleut melakukan sesuatu yang istimewa. Mengingat apa yang dilakukan Aleut bukanlah sesuatu yang luar biasa, sehingga layak dijalankan secara serius dan baku. Apa yang dilakukan Aleut adalah apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam berhubungan satu sama lain dalam kedudukannya sebagai manusia dan anggota kelompok manusia.