Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)
Malam ini malam Imlek. Barudak Aleut sudah terlihat berkumpul di halaman BRI Tower. Banyak di antara mereka – sebagian belum saya kenal – yang mengenakan kaos berwarna coklat dengan tulisan “Komunitas Aleut.” Kaos baru. Kawan-kawan ini sedang pada bersiap untuk Ngaleut Rasia Bandoeng.

Gerimis mulai turun saat kami berkumpul dalam lingkaran. Salah satu penggiat Komunitas Aleut, Irfan TP, membuka kegiatan NgAleut dengan mempersilakan peserta memperkenalkan diri. Rupanya mereka dari berbagai institusi. Lalu setelah perkenalan, Irfan TP bercerita tentang apa yang di-Aleut-kan hari ini, yakni Rasia Bandoeng. NgAleut kali ini berasal dari novel berlatar Bandung abad ke-19 berjudul “Rasia Bandoeng” yang ditulis oleh Chabanneau. Dalam “Rasia Bandoeng”, Chabanneau menceritakan kisah cinta terlarang pasangan Tionghoa bermarga Tan. Nah, NgAleut malam ini menelusuri titik-titik yang diceritakan dalam novel itu.
Titik pertama NgAleut malam itu adalah lokasi eks Bank Escompto yang sekarang jadi Bank Mandiri. Di titik itu, penggiat Aleut berjaket merah bernama Alex mulai bercerita adegan di “Rasia Bandoeng” yang mengambil latar di Bank Escompto.
Dari penuturan Alex, terjadi kejar-kejaran antara tokoh di “Rasia Bandoeng” bernama Tan Kong Wa serta kakak dan ibunya. Adegan yang mirip dengan film Fast and Furious terjadi di persimpangan jalan di depan Bank Escompto. Tapi berbeda dengan Fast and Furious, mereka menggunakan sado yang seperti delman.
“Siapa Tan Kong Wa ini?” tanya saya.
“Tan Kong Wa adalah kawan baik Tan Tjin Hiauw, yang jadi tokoh utama dalamnovel ini,” jawab Alex sambil menunjuk bekas jalan di belakang Mesjid Agung yangtelah tertutup oleh toko.

Setelah bercerita cukup panjang, kami berjalan ke arah perempatan Jl. ABC. Alex nyeletuk bahwa kami akan melihat tempat Tan Tjin Hiauw bekerja sebagai akuntan diperempatan Jl. ABC.
Di titik ini, Alex dan Irfan bercerita tentang Hilda yang kerap mendatangi tempat Tan Tjin Hiauw bekerja. Sambil menunjuk menara di perempatan, Alex bercerita bahwa Hildadan Tan Tjin Hiauw sering berjalan kaki dari perempatan ke Pieterspark (sekarang TamanDewi Sartika). Mereka sering menggunakan jalan sepi di sekitar Braga untuk kePieterspark.
“Waduh, siapa lagi Hilda?”
“Hilda teh tokoh perempuan yang jatuh cinta kepada Tan Tjin Hiauw. Hilda berkunjung ke kantor Tan Tjin Hiauw selesai les bahasa” jawab Alex.
Lalu, kami berjalan menuju bekas Sentiong atau makam Cina yang sekarang menjadi bangunan baru. Bukan cerita horror yang kami dengar dari Alex di titik ini, melainkan cerita romantis penuh kode antara Tan Tjin Hiauw dengan Hilda.
Menurut hasil membaca “Rasia Bandoeng”, Alex bercerita tentang teater Cina yang ditonton oleh Tan Tjin Hiauw dan dipanitiai oleh Hilda. Sepanjang teater ini berlangsung, mereka saling melempar pandangan penuh kode yang maknanya hanya diketahui oleh
mereka.
“Kalem, ai teater ini di mana?” tanya saya lagi kepada Alex yang sedangterengah-engah karena lelah berjalan.
“Oh, teater ini berlokasi di Teater Apollo di depan Parapatan Kompa,” jawabAlex yang sudah mendapat nafasnya.

Selesai mendengar cerita pasangan penuh kode, kami melangkahkan kaki ke belokan Belakang Pasar. Di titik ini, kami menyimak cerita tentang Lie Tok Sim yang jatuh cinta ke Hilda.
Dalam “Rasia Bandoeng”, Lie Tok Sim jatuh cinta saat melewati rumah Hilda di Jl. KebonJati. Setelah itu, mereka saling mengirim surat dengan kurir bernama Gan Chokwim yang merupakan teman Lie Tok Sim. Sayangnya cinta Lie Tok Sim bertepuk sebelah tangan karena Hilda tidak suka Lim.
“Wait, nah kenapa kita berhenti di sini?” tanya saya.
“Yaa karena Lie Tok Sim tinggal di Belakang Pasar,” jawab Alex yang mulai kelelahan.

Obrolan cerita cinta bertepuk sebelah tangan ini berlangsung sepanjang perjalanan ke titik berikutnya di depan Hotel Gino Feruci. Lalu, obrolan kami berhenti setelah sampai didepan hotel. Selain berhenti, Alex menunjuk bangunan tua di depan hotel yang dahulu merupakan rumah keluarga Hilda.
Berdasarkan penuturan Alex, keluarga Hilda mulai menempati rumah itu setelah usaha batik ayahnya sukses. Pada awalnya, keluarga Hilda tinggal di sekitar Pasar Baru dan usaha awal mereka adalah Provisien en Dranken. Lalu, mereka beralih ke usaha batik yang berasal dari Solo karena lebih menguntungkan dibanding usaha sebelumnya.
“Oh iya, di situ, Hilda memandang Lie Tok Sim untuk pertama kalinya,” seru Alexsambil menunjuk bangunan tua itu.
Setelah memotret bangunan tua itu, kami berjalan kaki cukup jauh ke Jalan Sudirman.Gerimis kembali turun perlahan saat kami berjalan. Kami pun mulai berdiskusi tentangkedatangan etnis Tionghoa di Bandung sambil berjalan.

Lalu, kami berhenti di depan pintu masuk Kafe Jadoel. Di titik itu, Alex menunjuk kebangunan dua lantai di seberang. Rupanya bangunan itu adalah rumah Kapitein Tionghoa di Bandung bernama Tan Joen Liong. Selain menunjuk rumah Tan Joen Liong, Alex memperlihatkan foto bangunan di belakang kami melalui IPad.
Alex mulai bercerita bahwa bangunan yang dia perlihatkan melalui IPad adalah rumah keluarga Tan Tjin Hiauw. Di rumah itu, ayah Tan Tjin Hiauw bernama Tan Sioe Tji berada di titik kejayaan melalui usaha keluarganya. Sayangnya, pada satu masa, usaha mereka bangkrut sehingga mereka harus pindah ke ujung selatan Gang Kapitein (sekarang Gang Wangsa).
Selain bercerita tentang kejayaan ayah Tan Tjin Hiauw, Alex bercerita tentang dukungan keluarganya atas cinta semarga antara Tan Tjin Hiauw dan Hilda. Menurut Alex, dukungan itu disebabkan kondisi ekonomi yang sedang mendesak keluarga Tan Tjin Hiauw.
“Eh, ai rumah keluarga Tan Tjin Hiauw masih bisa dikunjungi?” tanya saya.
“Bisa dikunjungi karena sekarang rumah itu dipakai sebagai tempat usaha,”jawab Alex sembari memperlihatkan foto rumah keluarga Tan Tjin Hiauw.
Setelah bercerita tentang usaha Tan Sioe Tji, kami berjalan kaki ke titik akhir di PERMABA yang berlokasi di Jalan Klenteng. Sepanjang perjalanan, kami bertanya tentang akhir kisah cinta semarga di “Rasia Bandoeng”.
Ternyata pasangan terlarang itu menikah setelah dua kali kabur dari keluarga Hilda. Usaha kabur pertama hanya sampai Jalan Cibadak. Sedangkan usaha kabur kedua berhasil membawa mereka ke luar dari Bandung.
Obrolan kami berhenti sejenak saat melewati Klenteng. Kami berhenti mengobrol karena bau dupa dan pemandangan penuh warna merah yang mengusik kami. Beberapa orang dari kami mengambil kesempatan ini untuk memotret keadaan sekitar Klenteng.

Akhirnya kami sampai di halaman PERMABA. Di halaman ini, Irfan membuka sesi sharing dengan mempersilakan peserta untuk berbagi pengalaman sepanjang perjalanan. Setelah sesi sharing, kami berdiri di depan PERMABA untuk foto keluarga Komunitas Aleut. Sungguh perjalanan yang luar biasa menarik!
Sumber foto: @komunitasaleut dan @veccosuryahadi
Tautan asli:
https://catatanvecco.wordpress.com/2016/02/08/catatan-perjalanan-ngaleut-rasia-bandoeng/