Europa Europa: Sulitnya Menjadi Yahudi di Tanah Eropa pada Perang Dunia Ke-2

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Europa Europa (1991)

Solomon Perel adalah seorang Yahudi keturunan Polandia yang tinggal di Jerman. Di malam Bar Mitzvah[1], kediaman keluarganya diserang pendukung Nazi. Ia berhasil kabur dari jendela kamar mandi dan bersembunyi di dalam tong kayu. Saat ia kembali, seluruh keluarganya selamat, kecuali saudara perempuannya yang terkena lemparan batu.. Mereka sekeluarga akhirnya kembali ke Polandia karena kondisi di Jerman semakin tidak kondusif.

Sejak itu, kehidupan Solomon dipenuhi berbagai macam petualangan. Kehidupannya di Polandia tidak berlangsung lama, seiring terus meluasnya ekspansi Tentara Nazi. Solomon beserta saudara lelakinya, Isaac, diperintahkan kedua orang tuanya untuk mengungsi ke tanah Sovyet. Namun di tengah perjalanan menuju Sovyet, mereka terpisah di tengah kerumunan pengungsi. Di usia yang sangat muda, Solomon berjuang sendiri di Sovyet, tanpa keluarga.

Saat akhirnya Sovyet diduduki Nazi, kondisi pun semakin sulit bagi Solomon. Ia yang sudah terdaftar sebagai anggota Komsomol[2] kembali mendapat tekanan dari Tentara Nazi. Satu per satu tahanan Nazi diinterogasi dan mereka yang kedapatan tercatat sebagai anggota Komunis dibunuh. Keberuntungan masih di pihak Solomon. Kemahirannya berbahasa Jerman menyelamatkan nyawanya. Setelah menyembunyikan kartu anggota Komsomol di dalam celananya, ia mengaku sebagai Joseph Pieters, seorang Volksdeutscher, dan keluarganya dibunuh Bolshevik di hadapan tentara Nazi. Kemampuan Solomon menguasai Bahasa Rusia dan Jerman membuatnya diangkat sebagai penerjemah bagi Tentara Nazi.

Keberuntungan demi keberuntungan terus menerus dialami Solomon. Saat berencana untuk berpindah ke kubu Uni Sovyet karena seluruh anggota di unitnya tewas, ia malah dianggap menemukan tempat persembunyian Tentara Uni Sovyet dan dianggap sebagai pahlawan. Kepahlawanan di usia yang muda ini membawanya ke sekolah paling elit untuk warga Jerman pada saat itu atas rekomendasi komandan kompinya. Namun status Solomon sebagai orang Yahudi menimbulkan konflik batin dalam dirinya. Di dalam sekolah ia didoktrin untuk membenci Yahudi dan terus diajarkan untuk menanjung Hitler, yang notabene adalah musuh bagi dirinya.

Di akhir cerita, pihak Sovyet dan Sekutu berhasil menaklukan Jerman. Solomon yang tertangkap oleh tentara Uni Sovyet hampir saja dieksekusi karena memihak tertangkap dengan pakaian berdekorasi Nazi. Lagi-lagi keberuntungan masih di pihaknya. Saat Tentara Uni Sovyet akan mengeksekusi dirinya, ia bertemu Isaac, saudara lelakinya yang sudah lama terpisah.

Film ini mengambil setting di saat Perang Dunia Ke-2, di mana Jerman yang pada saat itu di bawah pimpinan Adolf Hitler berperang melawan Yahudi dan Sekutu. Solomon di dalam film ini menggambarkan bagaimana kondisi kaum Yahudi Jerman di masa itu. Mereka secara tidak langsung dipaksa untuk terus menerus menepi dari tanah Eropa Timur seiring gencarnya invasi Nazi hingga ke tanah Sovyet. Di tanah Sovyet pun sebetulnya kaum Yahudi termarjinalkan. Di masa itu belum ada negara bagi kaum Yahudi, sehingga mereka dihadapkan pada 3 pilihan: terus mengungsi, masuk ke kamp konsentrasi, atau menyusup ke dalam Tentara Nazi. Ketiga pilihan ini bukannya tanpa resiko. Jika terus mengungsi, di pertengahan jalan mereka bisa mati terkena serangan pihak lawan. Jika masuk ke kamp konsentrasi, mereka juga bisa mati karena kondisi di sana yang sama sekali tidak layak. Jika membelot ke Nazi, mereka harus bertahan dengan konflik batin dan ketakutan akan kematian jika ketahuan oleh pihak Nazi. Pada saat itu sudah atau tidaknya seorang laki-laki disunat menjadi ciri-ciri apakah ia Yahudi atau bukan.

Hal yang membuat saya kagum akan film ini adalah ceritanya diambil dari kisah nyata Solomon Perer. Filmini diangkat dari autobiografinya yang berjudul Ich war Hitlerjunge Salomon yang terbit pada tahun 1989. Apa yang terjadi di dalam film dialami sendiri oleh Salomon Perel. Film yang didasarkan pada kisah nyata membuat saya lebih merasa masuk ke dalam jalan cerita. Sepanjang film saya bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi kaum minoritas yang terus tersisih oleh rezim yang berkuasa, bagaimana tak nyamannya hidup di tengah peperangan, bagaimana kejamnya rezim Nazi kepada kaum Yahudi, bagaimana beratnya konflik batin yang dirasakan, dan bagaimana rasanya diteror ketika hidup di dalam ‘kebohongan’.

______________________

[1] Upacara kedewasaan bagi remaja pria Yahudi yang sudah memasuki usia 13 tahun

[2] Divisi Pemuda Partai Komunis Uni Sovyet

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s