Oleh : M. Ryzki Wiryawan ( @sadnesssystem )
K.F. Holle
Sejarah merupakan kawasan abu-abu. Di dalamnya, penilaian terhadap sesuatu hanya bisa dilakukan lewat sudut pandang tertentu dengan konsekwensinya masing-masing. Dalam tulisan ini, saya akan membahas seorang tokoh Kontroversial bernama K.F. Holle (1829-1896) yang bagi sebagian orang merupakan “pahlawan” namun bagi sebagian lainnya merupakan musuh. Adalah cukup penting untuk memahami kedua pandangan tersebut agar sikap terhadap tokoh Holle bisa dilakukan secara lebih berhati-hati. Sebagai referensi terhadap tulisan ini, saya menggunakan buku “Kawan dalam Pertikaian” karya Karel Steenbrink (Mizan, 1995), “Politik Islam Hindia Belanda” karya H. Aqib Suminto (LP3ES, 1985), dan De Regenten Positie karya R.A.A. Soeria Nata Atmadja (A.C. Nix, 1940).
Karel Frederik Holle tiba ke Hindia Belanda bersama kedua orang tuanya pada usia 14 tahun. Pada tahun 1846 ia mengawali karirnya sebagai pegawai kantor pemerintah hingga sepuluh tahun kemudian mengundurkan diri untuk bisa mengurus perkebunan teh “Waspada” di Garut. Holle memang berasal dari keluarga Hucht yang telah merintis usaha perkebunan di Priangan sejak tahun 1844. Holle menguasai dua lahan perkebunan di Limbangan bernama Waspada I seluas 148 bahu yang didirikan 3 Januari 1865 dan Waspada II seluas 50 bahu yang didirikan tanggal 29 April 1868.
Tanpa pengetahuan formal, Holle berhasil mengembangkan kemampuannya di bidang perkebunan dan bidang lainnya seperti linguistik dan budaya. Perkebunannya dijadikan labotarium untuk mempelajari berbagai segi pertanian di saat yang sama ia mengembangkan kemampuannya untuk menguasai bahasa Melayu, Sunda dan Jawa. Untuk menghargai jasa-jasanya, pemerintah kolonial pada tahun 1871 mengangkatnya sebagai Penasihat Honorer untuk Urusan Pribumi. Untuk menyebarkan ide-idenya, Holle bekerja sama dengan teman setianya, Raden Muhammad Moesa, kepala pengulu Garut. Perlu diketahui bahwa posisi Penghulu saat itu diangkat oleh pemerintah kolonial dan diberi gaji tetap, sehingga pemilihan orang-orang yang menduduki posisi tersebut haruslah orang yang sejalan dengan kepentingan pemerintah kolonial.
Muhammad Moesa memulai karir kepegawaian sipilnya pada tahun 1852 sebagai akuntan pada depot garam di Garut, hingga para tahun 1855 diangkat sebagai kepala penghulu dan sejak tahun 1860 bekerja sama dengan Holle dalam berbagai kegiatan. Salah satunya dalam penyusunan berbagai brosur populer tentang pertanian. Mereka juga terlibat dalam pendirian Sekolah Guru di Bandung (Kweekschool voor Onderwijsers op Inlandsche Schoolen) pada tahun 1865. Pendirian sekolah yang hanya menerima kalangan menak (bangsawan) ini adalah salah satu usaha Holle untuk menghasilkan”kelompok pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi dan jauh dari pengaruh Islam”. Walau demikian, Kebijakan pemberian pendidikan kepada pribumi ini ditanggapi dengan sangat hati-hati oleh pemerintah karena bisa menjadi “dinamit” bagi pemerintah kolonial.
R.M. Moesa
Holle bersama Holle turut menulis buku-buku bacaan yang menggunakan tulisan Sunda, yang merupakan varian artifisial dari tulisan Jawa. Usaha ini sempat mendapatkan reaksi keras. Asisten Residen Rangkasbitung misalnya, menulis bahwa tidak habis pikir mengapa “tulisan ini dipaksakan kepada penduduk pribumi”.
Alasan Holle mengembangkan aksara tersebut tidak lain untuk menyaingi tulisan Arab yang saat itu populer digunakan masyarakat. Tulisan Arab menurutnya hanya akan memperkuat pengaruh orang-orang yang fanatik agama. Holle sebagaimana Snouck Hurgronje di masa kemudian, lebih suka menggunakan cara-cara halus untuk membendung ajaran Islam karena tindakan yang terlalu masif, seperti pelaksanaan Kristenisasi justru akan menimbulkan reaksi balik yang keras dari umat Muslim.
Untuk menahan peran sosial dan politik Islam di kawasan, Pada tahun 1873 Holle bersama Moesa berangkat ke Singapura dalam misi rahasia untuk mengetahui sejauh mana upaya Islam internasional dalam mendukung perlawanan anti-Belanda di Aceh. Keterlibatan Moesa dalam hal ini tentu saja cukup mengejutkan mengingat posisi strategisnya sebagai pimpinan Islam tertinggi di daerahnya.
Sebagai penasehat Pemerintah Kolonial, Holle mengusulkan agar pemerintah mewaspadai para Haji yang telah pulang dari tanah suci. Menurutnya, para Haji membawa paham fanatisme dan ketertutupan. Holle mengusulkan agar para Haji ini tidak diberi jabatan yang lebih tinggi, mereka juga dilarang memakai pakaian Haji. Holle memuji Bupati Cilacap setelah mengetahui bahwa tidak seorang pun dari wilayahnya yang menunaikan Haji. Bupati Purwokerto juga tidak luput dari pujian berkat tindakannya melarang guru tertentu untuk memberikan pelajaran Agama. Dengan kata lain, Holle pada dasarnya menganggap para Haji dan Guru Agama sebagai bahaya terbesar yang dimiliki oleh Islam.
Di antara mereka yang paling berbahaya menurut anggapan Holle adalah mereka yang terlibat dengan perkumpulan tarekat, yang sejak tahun 1850 berhasil menarik berbagai pengikut dari jajaran kelompok sosial atas. Sejumlah Bupati dan tokoh tertentu di Jawa Barat yang terlibat tarekat tidak luput terkena serangan Holle, salah satunya penghulu Cianjur yang disebutnya “sangat fanatik dan anti-Eropa” gara-gara menolak minum anggur dalam suatu pesta yang diadakan asisten residen. Orang-orang Belanda di pesta tersebut lantas memaksa membuka mulut sang penghulu serta kemudian menuangkan anggur ke dalamnya. Sejak itu sang Penghulu Cianjur berusaha menjauhi orang-orang Eropa.
Dalam peristiwa lain, Holle melaporkan informasi yang dimuat De Javabode tanggal 29 September 1885 berjudul “Perang Sabil”, berisikan adanya rencana perampasan, pembunuhan dan perampokan terhadap orang Eropa dalam skala besar yang tengah digerakan oleh sekelompok umat Muslim. Desas-desus itu tidak pernah terjadi. Malahan koran De Javabode dibredel pemerintah pada 6 Oktober 1885 selama beberapa bulan karena dianggap membuat berita yang meresahkan masyarakat. Penelusuran Residen terhadap kasus ini berujung kepada persoalan politik, yaitu upaya R. M. Moesa yang didukung Holle untuk menempatkan anaknya yang menjadi Bupati Lebak bisa menjadi Bupati Cianjur. Juga anaknya yang termuda yang menjadi Naib di Wanareja agar menjadi kepala Penghulu di Cianjur. Si bungsu ini mendapati keterbatasan karir mengingat cacat fisik dan mental yang dideritanya setelah terjatuh dari kuda pada usia 12 tahun.
Demikian secuplik kiprah K.F. Holle dalam rangka membendung ajaran Islam, yang kemudian langkahnya dilanjutkan oleh Snouck Hurgronje. Seperti halnya Holle yang bermitra dengan M. Moesa, Snouck juga menggunakan peran penghulu dalam melaksanakan misinya. Tapi itu lain cerita. Intinya, kita harus lebih arif dalam menilai atau menyikapi seorang tokoh kolonial. Salam Sadness!~
Reblogged this on Chaos Theory and commented:
KF. Holle bagi masyarakat Sunda diakui sebagai salah seorang yang berjasa dalam mengembangkan literatur sunda di era kolonial, karena itu, sekecil apapun sumbangsih seseorang, tentu mesti kita hargai, tapi sebesar apapun peran seseorang, selama itu dilakukan untuk kepentingan penjajah, mesti kita pertanyakan dan kita kritisi.
ijin reblog gan… nuhun.
Reblogged this on Naratas Garoet.