Kolonialisme Belanda di Indonesia : Baik atau buruk ?

Kolonialisme Belanda di Indonesia : Baik atau buruk ?. Pengaruh pendidikan sejarah di sekolah terhadap persepsi kolonialisme

Oleh : M. Ryzki Wiryawan – @Sadnesssystem

 


Dalam satu perbincangan dengan seorang teman, saya dihadapkan pada pertanyaan menarik. Andaikan Belanda tidak pernah menjajah kita, seperti apa keadaan kita sekarang. Apakah keadaan kita lebih baik atau lebih buruk dari saat ini. Pertanyaan jebakan. Jawaban saya : “Maaf, agama Islam yang saya anut melarang saya untuk berandai-andai… “.

Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan demikian, sejak kecil kita disuapi berbagai materi kekejaman penjajah. Mulai dari kisah tanam paksa, pembuatan jalan anyer-panarukan, pemberontakan-pemberontakan, penangkapan tokoh-tokoh nasional, pembantaian oleh Westerling, dll.. Seluruhnya menggambarkan kondisi buruknya kolonialisme. Materi pembelajaran sejarah kita, layaknya film action  Holywood, memang tidak mengenal sisi abu-abu. Seluruhnya berada pada sisi hitam atau putih, baik atau jahat, pahlawan atau penjajah. Semua materi itu penting, namun jarang sekali menyentuh substansi dari kolonialisme.

Kolonialisme pada dasarnya memang tidak pernah ditempatkan dalam nuansapositif. Kolonialisme dalam artian sempit berarti penindasan dan mobilisasitenaga kerja di koloninya, di luar apapun alasannya. Dalam banyak kasus, akar dari ideologi ini tidak lain adalah kapitalisme. Kapitalisme kolonial menurut S.H. Alatas (1988 : 3) dicirikan oleh sifat-sifat berikut : (a) penguasaan yang menonjol dan pengerahan modal oleh kekuatan ekonomi asing, (b) penguasaan terhadap koloni oleh suatu pemerintahan yang dijalankan kelompok kekuatan asing, yang bertindak menurut kepentingannya sendiri, (c) tingkat yang tertinggi dari bisnis perdagangan dan industri, ditangani oleh komunitas penguasa asing, (d) arah perdagangan ekspor dan impor negara disesuaikan dengan kepentingan penguasa asing, (e) lebih condong terhadap pola produksi pertanian daripada terhadap industri, (f) pengembangan keterampilan teknologi dan ilmu pengetahuan sangat sedikit, (g) organisasi produksi melibatkan tenaga kerja setengah bebas, (h) tiadanya serikat pekerja atau organisasi buruh untukmelakukan tindakan pemerasan, (i) sebagian besar penduduk tidak terlibat langsung dalam perusahaan kapitalis, dan (j) berlakunya seperangkat antitesa dalam masyarakat koloni yang diterangkan dengan istilah dualisme.

Istilah-istilah di atas, tidak pernah ditemukan dalam buku-buku sejarah Indonesia karangan sarjana-sarjana Belanda maupun buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Kita diajarkan bahwa penjajahan itu buruk, namun bagaimana praktiknya tidak banyak dijelaskan.  Disembunyikan layaknya perlakuan penguasa pribumi terhadap rakyatnya sebelum kedatangan penjajah. Clive Day (1966:17-37).menjelaskan buruknya kelakuan para penguasa pribumi ini dalam kurang lebih 20 halaman bukunya “The Dutch in Java”. Ia contohnya mengisahkan bagaimana seorang penguasa memiliki ruangan di Istana tempat iamenikmati pertunjukan wanita telanjang yang bergulat dengan harimau. Peperangan antar kerajaan terus menerus terjadi. “Tampaknya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa separuh atau lebih dari peperangan yang sungguh-sungguh melibatkan Negara-negara pribumi, timbul akibat persoalan yang sepele, sepertihalnya dua orang yang sama buruknya harus menguasai wilayah tertentu”.  Kecenderungan inilah yang sangat dimanfaatkan oleh orang Belanda lewat politik oportunis dan bermuka dua yang disebut “politik adu domba”.

Selain lewat politik adu domba, Belanda juga sangat memanfaatkan sikap feodal penguasa lokal terhadap rakyatnya. Pemerintah kolonial merasa tidak mungkin melepaskan para Bupati dalam kontrol kekuasaan mereka. Sehingga para Bupati tidak hanya dibiarkan dengan kebiasaan lamanya, melainkan juga diberi peluang dan kebebasan yang lebih besar daripada yang pernah diterima oleh mereka dari raja-raja Jawa yang sebelumnya menguasai mereka. Terdapat simbiosis mutualisme antara pemerintah Kolonial dan penguasa-penguasa pribumi lokal atau para Bupati ini (Djoko Marihandono, 2011 : 87). Kekuasaan para Bupati yang gemar memeras hasil kerja rakyat ini mulai ditertibkan ketika Daendels menjabat Gubernur Jenderal. Dalam masa pemerintahannya diatur bahwa “Hanya Gubernur Jenderal yang berhak memecat bupati dan para kepala rendahan lainnya agar semua tujuan rahasia dan jahat yang sering diwujudkan bisa dicegah secara lebih tegas dan digagalkan”. Seakan-akan begitu mulia kebijakan Daendels tersebut.

Walau tindakan Daedels baik dari sudut tertentu, tujuannya  mengatur kuasa para bupati tidak lain didasari oleh kepentingan ekonomi semata.  Ia mengurangi kekuasaan bupati dan mengangkat mereka sebagai pegawai pemerintah agar penyetoran hasil bumi dilakukan secara lebih efektif. Segala tindakan pemerintah kolonial pada dasarnya didasari oleh kepentingan ekonomi. Bahkan politik etis harus dilihat dari sudut pandang ini.

Kolonialisme didasari oleh prinsip kapitalisme “tujuan dan sasaran akhir dari kegiatan ekonomi adalah penambahan kekayaan sehingga menjadilebih besar dan besar lagi”.

Pekerja Perkebunan di Masa Kolonial

Pekerja Perkebunan di Masa Kolonial

Sebaik apapun pemerintah kolonial, mereka akan berpikir seribu kali untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan modern dan teknologi kepada masyarakat koloni. Sebaliknya, sistem perkebunan dan pertambangan dikembangkan karena tidak memerlukan banyak pengetahuan dan teknologi dalam produksi awal bahan mentah, yang kemudian dikirim langsung ke Eropa. Karena dikerjakan di Eropa, daerah koloni tidak memetik manfaat dari praktek ilmu pengetahuan modern dan teknologi yang dihubungan dengan proses tersebut. Karena itulah hanya dalam beberapa tahun pasca kemerdekaan, jumlah sekolah di Indonesia meningkat, melek huruf menyebar sangat cepat, koran-koran bermunculan bagai cendawan, ribuan gedung baru dibangun, ribuan mahasiswa pergi ke Barat, dan banyak universitas didirikan. Bekas-bekas koloni memperoleh jauh lebih banyak peradaban Barat setelah kemerdekaan dibandingkan sebelumnya (Alatas, 1988 :30).

Kini sudah jelaslah bahwa apa yang dinamakan kolonialis memang buruk. Sebaik apapun kiprah Belanda di Indonesia, selama dilakukan dalam rangka kolonialisme, tidak dapat bisa diapresiasi secara positif. Dengan demikian materi sejarah di sekolah harus lebih banyak menggiring anak untuk memahami substansi dan keburukan kolonialisme alih-alih berkutat pada kekejaman Belanda, Portugis atau Jepang. Kolonialisme tidak mengenal batasan negara atau ras tertentu. Pemerintah sendiri pun bisa menjadi agen kolonialisme. Materi sejarah harus terus disesuaikan dengan konteks kontemporer. Lewat pengenalan sifat-sifat kolonialisme yang telah disebutkan di atas, kita toh jadi menyadari bahwa negara ini belum merdeka 100% seperti yang sering digaungkan Tan Malaka.

Untuk perenungan. Mari kita berhenti mempermasalahkan tetek-bengek dan mulai mengambil pelajaran dari Sejarah. Sejarah selalu berulang, praktik pertarungan antar raja-raja Nusantara tetap berlangsung hanya saja kali ini mengambil bentuk partai-partai dan penguasa-penguasa lokal. Praktik feodal tetap terjadi di tingkat pusat maupun daerah. Perdagangan ekspor dan impor negara dikuasai oleh kartel dan Negara asing. Sementara itu kita sibuk menggali gunung padang agar diakui sebagai pusat peradaban dunia.

Iklan

Satu pemikiran pada “Kolonialisme Belanda di Indonesia : Baik atau buruk ?

  1. bagus, terimakasih artikelnya, memang kita kadang sedikit nakal, kadang mengatakan penjajahn itu ternyata berimbas baik’, karena kita tidak merasakannya, ujuk ujuk menerima sisa sisa pembangunan belanda yang sebenrnya tidak di bangun untuk kita, tetapi malah berguna bagi kita saat ini. tapi bagi meraka yang telah merasakan, penjajahan tetap lah kejam ^^, salam kenal

    bagiku , ambil sisi positifnya

    ^^ blogwalker

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s