Oleh : M.Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)
Hanya tertawaan dari luar yang terdengar. Beberapa orang mendekati lobang di sisi gerbong itu untuk menghisap hawa yang masih segar. Mereka mulai berdesak-desakan. Makin lama lobang itu semakin menjadi rebutan. Di sana sini mulai terdengat orang saling memaki. Beberapa orang berteriak minta air. Menjerit-jerit agar pintu dibuka. Dinding seng dipukul-pukul, ditendang-tendang. Tak seorang pun dapat bertahan di tempat yang tak diinginkan tersebut.
Hawa semakin lama semakin panas dan sesak. Rasa terbakar mulai menjalar di muka mereka. Terengah-engah bagai ikan dalam jala. Dada turun naik, berbunyi, mengerang-erang bagaikan suara ban bocor yang lagi dipompa. Hawa penuh dengan uap keringat. Dinding dan atap seng telah mulai panas. Penat berdiri, duduk pun susah karena ruangan tak cukup.
Mereka yang lemah badannya terdorong-dorong dari dinding ke dinding. Lobang hawa tetap menjadi rebutan. Mulai mereka dengan mati-matian memperebutkannya, mempetahankannya. Yang pingsan tak diacuhkan, ikut terseret-seret. “Air… Air… Buka pintu, buka pintu…” tak putus teriakan itu. Lebih-lebih kalau kereta api berhenti.
Serdadu Belanda tertawa di luar sana. Tepat pukul satu, enam jam setelah perjkalanan dilakukan, dituangkanlah air panas dari termos ke dalam lubang kecil tadi. “Tuan-tuan ingin minum ? Minumlah, minumlah”, ujar seorang serdadu sambil tertawa-tawa.
Di dalam teriakan semakin keras. Dinding gerbong berderu-deru kena pukulan dan tendangan. Salah seorang pejuang bernama Karto terlihat telah terlentang tak sadarkan diri, tak bernafas lagi… Menyusul Anwar. Tegang, terseret-seret seakan-akan ia masih ikut berebut-rebut, belum rebah, masih bersandar kepada badan-badan yang berdesak-desak itu layaknya mayat berjalan. Akhirnya rebah juga. Terimpit dan terinjak-injak. Empat-lima orang tergelincir menginjak mayat. Jatuh tak kuat berdiri lagi. Sejurus kemudian merekapun tak bernafas lagi, tertumpang tindih.
Tiba-tiba ada yang tertawa, keras dan serak. Lewat sinar matahari yang masuk dari lubang kecil itu kelihatan matanya berbalik-balik dan terbelalak, mulutnya berlumuran darah. Sekali-kali ditanamkan giginya ke bahu seorang yang telah pingsan. “Air… Air… Hihihihi!”. Ia telah gila rupanya…
Pukul tiga. Teriakan-teriakan dari gerbong sudah berkurang. Itupun sudah serak dan parau. Sejam kemudian matahari masih panas sinarnya, keributan sudah jauh berkurang. Hanya kalau kereta berhenti akan terdengat suara meratap, melenguh dan mengerang. Tidak lagi menyerupai suara manusia. Bau busuk mulai keluar dari gerbong itu. Seorang serdadu Belanda memijit hidungnya karena tidak tahan.
Pukul lima. Masih ada seorang tawanan di gerbong ketiga yang masih tertawa, lambat laun suaranya hingga tidak terdengar sama sekali. Hanya gemuruh kereta-api yang terdengar…
Kisah di atas adalah sebagaimana diutarakan oleh Issukarso dalam Mimbar Indonesia 17 Januari 1948 terkait peristiwa Kereta Api Maut. Ketika itu pada tanggal 23 November 1947, seratus lebih pejuang republik yang ditawan Belanda diangkut oleh kereta api dari Bondowoso menuju Surabaya. Sebelum sampai di tujuan, 46 di antara mereka tewas karena gerbong-gerbong yang dipakai selama perjalanan tertutup rapat. Pada tanggal 2 Agustus 1948, Kapten Antinan dari Kesatuan Pasukan Belanda yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut diadili Pengadilan Militer Belanda. Hukumannya adalah… BEBAS.
Saya baru tahu tentang kisah ini. Makasih udah share