Dewi Sartika, Simbol Perjuangan Emansipasi Wanita

Oleh : Atria Sartika (@atriasartika)

Pada tanggal 21 April orang Indonesia memperingat Hari Kartini yang dianggap sebagai simbol bagi perjuangan perempuan dalam memperoleh kesetaraan, hal yang selama ini dikenal dengan emansipasi perempuan. Sejak kecil anak-anak Indonesia diajarkan tentang kepahlawanan. Salah satu nama pahlawan nasional yang paling diingat adalah Kartini. Kartini disebut-sebut sebagai pelopor pendidikan bagi perempuan.

 Kini saat arus informasi kian deras. Akses atas berbagai bacaan dan opini-opini personal semakin mudah untuk ditemukan, maka sikap kritis dan penggalian fakta semakin sering terjadi. Hal ini membuat beberapa hal dipertanyakan lagi asal muasalnya. Salah satunya adalah tentang dipilihnya Kartini sebagai simbol bagi perjuangan hak perempuan. Sebab ternyata ada satu lagi tokoh perempuan yang juga memiliki peran besar dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan tidak hanya dibidang pendidikan namun juga dalam dunia kerja. Ia adalah Raden Dewi Sartika, seorang perempuan dari Tanah Sunda.

 Beliau adalah perempuan yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan. R. Dewi Sartika adalah perempuan menak (priyayi) yang enggan dibatasi oleh kekakangan adat yang menurutnya tidak akan membawa kesejahteraan bagi banyak orang. Beliau berasal dari keturunan yang sangat dekat dengan pemerintahan Bandung. Dewi Sartika lahir di Bandung pada 4 Desember 1884 dari ayah yang bernama Raden Rangga Somanagara dan ibu yang bernama Raden Ayu Rajapermas. Kakek dari ibunya adalah mantan Bupati Bandung yakni Adipati Wiranatakusumah IV atau yang disebut Dalem Bintang.

 Pada tahun 1891, ayahnya diangkat menjadi Patih Bandung. Sejak itu beliau menghabiskan masa kecilnya di Kepatihan yang kini disebut Jalan Kepatihan. Selain itu, berkat pemikiran modern ayahnya, Dewi Sartika sempat mengenyam pendidikan di Erste Klasse School yang setingkat dengan sekolah dasar. Saat itulah beliau belajar membaca, menulis dan sedikit bahasa Belanda. Beliau hanya bersekolah sampai tingkatan yang setara dengan kelas 2 SD karena ayahnya terlibat dalam sebuah kasus politik yang akhirnya membuat ayahnya diasingkan.

 Kasus yang melibatkan ayahnya dikenal sebagai “Peristiwa Dinamit Bandung”. Kejadiannya terjadi pada tanggal 14 dan 17 Juli 1893. Somanegara memberontak pemerintahan Bupati RA Martanegara yang baru saja diangkat menjadi Bupati Bandung menggantikan R.A. Kusumadilaga yang meninggal pada 11 April 1893. Pemberontakan ini dilakukan karena kekecewaan Somanegara sebab RA Martanegara bahkan tidak menjadi tokoh yang dianggap sebagai calon potensial untuk menggantikan RA Kusumadilaga. Somanegara dan ayahnya (kakek Dewi Sartika), R. Demang Suriadipraja, menyusun rencana untuk mengacaukan kondisi di Bandung. Pada tanggal 14 Juli saat dilakukan pesta penyambutan RA Martanegara sebagai Bupati Bandung, muncul ledakan yang berasal dari arah timur Alun-Alun yang ternyata adalah bunyi ledakan dinamit di jembatan Kali Cikapundung. Kemudian pada tanggal 17 Juli kembali dilakukan peledakan di pacuan kuda Tegallega. Namun saat itu pelaku peledakan berhasil ditangkap dan ditelusurilah otak dari kejadian tersebut. Tanggal 21 Juli dilakukan razia dan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai pelaku kejadian tersebut. Hingga akhirnya dinyatakanlah bahwa Somanegara dan ayahnya sebagai otak dan pelaku kejadian peledakan tersebut. Akhirnya oleh Gubernur Jendral diputuskanlah bahwa Somanegara diasingkan ke Ternate dan RD Suriadipraja diasingkan ke Pontianak.

 Tahun 1894, berangkatlah Somanegara ke pengasingannya di Ternate didampingi oleh istrinya, Rajapermas. Sedangkan Dewi Sartika dan ketiga saudaranya dititipkan kepada keluarga di Bandung dengan terpisah-pisah. Dewi Sartika sendiri di titipkan di pamannya Raden Demang Suriakarta Adiningrat (kakak dari ibunya)yang saat itu menjabat sebagai Patih Afdeling Cicalengka. Kehidupan Dewi Sartika di Cicalengka tidaklah mudah karena berstatus sebagai anak dari seorang buangan politik sehingga orang-orang berhati-hati bersikap terhadap Dewi Sartika. Mereka takut dianggap terlibat dengan skandal politik.

 Saat di Cicalengka, Dewi Sartika mendapati bahwa banyak perempuan bahkan dikalangan menak yang tidak bisa baca tulis. Istri keempat pamannya yang bernama Nyi Raden Eni atau disapa Agan Eni menerima gadis-gadis yang ingin mondok dan belajar etika seorang perempuan Menak Sunda. Namun ternyata mereka tetap saja tidak diajari baca tulis karena dianggap tidak perlu memiliki skill semacam itu, cukuplah mampu melayani dan mengurusi rumah dengan baik. Kondisi ini membuat Dewi Sartika terkadang mengisengi para gadis yang tengah mondok tersebut. Gadis-gadis ini terkadang meminta bantuan Dewi Sartika untuk membacakan atau menuliskan surat kepada pria pujaan hati mereka yang sedang sekolah di Bandung atau di Jakarta. Saat membacakan surat ini, Dewi Sartika sering mengartikannya terbalik. Saat membacakan surat yang sebenarnya berisi kerinduan sang kekasih terhadap gadis tersebut, Dewi Sartika malah mengatakan bahwa dalam surat tersebut sang kekasih bermaksud untuk memutuskan hubungan dengan gadis tersebut. Menangislah sang gadis karena patah hatinya. Keisengan semacam ini dilakukan oleh Dewi Sartika untuk menggugah keinginan gadis-gadis tersebut untuk belajar membaca dengan begitu mereka tidak akan bisa dibodohi seperti itu lagi oleh Dewi Sartika atau oleh orang lain.

 Jiwa Dewi Sartika sebagai seorang pengajar sudah mulai terlihat pula saat di Cicalengka. Seringkali Dewi Sartika melakukan permainan sekolah-sekolahan dengan anak-anak abdi dalam yang bekerja di rumah pamannya. Selama permainan itu Dewi Sartika benar-benar mengajari mereka membaca dan menulis dan bahkan sedikit bahasa Belanda. Beliau sendiri tidak pernah berhenti belajar meskipun keadaan beliau sebagai anak buangan politik membebani beliau. Namun berkat kondisi ini mental dan karakter beliau terasah dengan baik dan kelak akan bermanfaat bagi perjuangan beliau.

 Pada tahun 1902, Dewi Sartika mendengar bahwa ayahnya meninggal di pengasingan dan ibunya telah kembali ke Bandung. Beliaupun memilih untuk segera kembali ke Bandung. Ditambah lagi beliau memang sudah tidak nyaman tinggal di Cicalengka karena anak dari Istri ketiga pamannya yang bernama Nyi Raden Permasih, Raden Kanjun, bermaksud melamarnya. Akhirnya Dewi Sartika pun kembali ke Bandung.

 Di Bandung inilah Dewi Sartika secara serius merintis sekolah untuk perempuan. Pada tahun 1902 inilah, di halaman belakang rumah ibunya, beliau membuka sebuah sekolah untuk perempuan. Beliau membuka kesempatan bagi siapapun yang ingin belajar dibawah pengajaran beliau  tanpa peduli status sosial mereka. Beliau mengajar secara sukarela tanpa meminta upah. Sebagai gantinya banyak murid-muridnya yang datang dengan membawa makanan atau membawa keperluan dapur. (Bisa jadi ini pun menjadi sumber penghidupan Dewi Sartika sebab saat ayahnya diasingkan ke Ternate seluruh harta mereka pun disita oleh pemerintah).

 Tekad Dewi Sartika untuk menyediakan pendidikan bagi perempuan bisa jadi semakin bulat sebab melihat kondisi ibunya yang tidak bisa berusaha sendiri untuk menghidupi diri dan keluarganya. Sebab meskipun ibunya berasal dari golongan menak namun beliau hanya mendapat pendidikan tata krama dan hal-hal terkait tentang pembawaan seorang menak di lingkungan sosial, namun tidak diajari keterampilan yang memadai untuk bisa berusaha sendiri. Baca-tulispun tidak termasuk dalam pendidikan kaum menak untuk perempuan. Bisa jadi hal ini yang membuat Dewi Sartika segera merealisasikan rencananya membuat sekolah tersebut meskipun dengan sarana yang seadanya.

 Ternyata sekolah yang beliau buat di rumah tersebut diketahui oleh C.Den Hammer (Inspektur Pengajaran Hindia Belanda). Awalnya kegiatan beliau dicurigai karena mengingat latar belakang beliau sebagai anak dari pria yang berusaha melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Bupati Martanagara. Namun kegiatan beliau akhirnya didukung dan beliau diminta untuk membuat sebuah sekolah secara resmi. Dewi Sartika sangat senang mendengar hal ini, ia pun segera mengabari sanak saudaranya, namun mereka tidak mendukung kegiatan Dewi Sartika. Mereka yang merupakan kaum Menak menganggap bahwa Dewi Sartika berusaha mengubah tradisi dan menjatuhkan martabat mereka. Sebab Dewi Sartika tidak membatasi sekolahnya hanya untuk kaum Menak saja. Ia bahkan mengajari wanita-wanita yang berasal dari pasar.

 Dengan usul dari Den Hammer, Dewi Sartika kemudian menemui RA Martanegara. Awalnya beliau ragu untuk menemui Bupati Bandung tersebut mengingat bahwa ayahnya pernah menyusun pemberontakan untuk menurukan RA Martanegara di masa-masa awal beliau menjabat. Namun karena mengingat bahwa yang beliau lakukan bukanlah hal yang buruk, maka beliau tetap pun menemui RA Martanegara. Dan ternyata rencana beliau untuk membuat sekolah wanita disambut positif oleh Martanegara.

 Akhirnya pada 16 Januari 1904 secara resmi didirikanlah Sakola Istri yang tempat belajarnya dipindahkan dari rumah Dewi Sartika ke halaman depan rumah Bupati Bandung, tepatnya dalam ruangan di Paseban Barat.(Kini tempat tersebut sudah tidak ada dan menjadi bagian dari taman di Pendopo Alun-Alun Bandung). Saat awal berdirinya, Sakola Istri memiliki 3 orang pengajar yakni Dewi Sartika, Nyi Poerwa, & Nyi Oewit. Dengan jumlah murid pertama kali sekitar 60 orang.

 Karena jumlah murid yang terus bertambah, tahun 1905 dipindahkanlah Sakola Istri ke jalan Ciguriang-Kebon Cau. Lahan ini dijadikan lahan sekolah baru dan dibeli sendiri oleh Dewi Sartika dengan uang tabungannya. Selama kesibukan beliau mengurusi Sakola Istri, ibunya merisaukan perihal jodohnya. Sebab diusianya yang telah mencapai 20 tahun, beliau belum juga menikah. Padahal di masa beliau, para wanita menikah diusia yang belasan tahun. Dewi Sartika sempat dilamar oleh keluarga Pangeran Djajadiningrat yang datang dari Banten. Namun lamaran tersebut ditolak oleh Dewi Sartika karena beliau tidak ingin menikah dengan orang yang tidak beliau kenal dan belum tentu cocok dihatinya.

Tak lama kemudian beliau bertemu dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata atau yang disapa dengan nama Raden Agah. Raden Agah adalah salah seorang guru di Eerste Kalsse School yang berada di daerah Karang Pamulung. Tahun 1906 Dewi Sartika dan Raden Agah menikah. Saat itu status Raden Agah adalah seorang duda.

 Pada 1910 tepatnya pada 5 November 1910 pukul 19.00 didirikanlah Perkumpulan Kautamaan Istri yang dibentuk oleh Residen Priangan W.F.L Boissevain dikediamannya yang dikenal sebagai Gedung Pakuan. Pada 1911 tepat pada nama Sakola Istri diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri karena banyaknya sumbangsih yang diberikan oleh perkumpulan tersebut. Berkat dana yang dikumpulkan oleh Perkumpulan Kautamaan Istri ini, dibangunlah cabang-cabang Sakola Keutamaan Istri di Sumedang, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Purwakarta. Pada peringatan 7 tahun pendirian sekolah ini, Dewi Sartika berpidato yang kemudian dibukukan dan diterbitkan di Bandung oleh A.C Nix & Co pada tahun 1912 dengan judul Buku Kautamaan Istri.

 Pada 1912  Sarekat Dagang Islam dibubarkan dan didirkanlah Sjarekat Islam, cabangnya di Bandung diprakarsai salah satunya adalah oleh  Raden Agah. Di tahun ini juga Dewi Sartika mulai dikenal dalam pergerakan nasional karena sering diundang untuk memberikan ceramah ke berbagai daerah. Pertamakali karena diundang oleh HOS Cokroaminoto ke Surabaya untuk memberikan ceramah bagi wanita-wanita di Sjarekat Islam.

 Tahun 1914 tulisan Dewi Sartika yang berjudul “De Inlandsche Vrouw” (Wanita Bumiputera) dibukukan bersama tulisan lainnya oleh Commissie van Mindere Welvaart Onderzoek (Komisi Penelitian Kemunduran Kesejahteraan) yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Dalam tulisannya ini Dewi Sartika tidak menggunakan gelar Raden dan hanya menyertakan keterangan bahwa ia adalah tenaga pengajar di Sakola Kautamaan Istri.

 Pada tahun 1916 ini pula Dewi Sartika mengenal adik kandung RA Kartini yakni R.A Kardinah yang merupakan orang yang Dewi Sartika temui untuk belajar membatik di Kendal. Dari Kendal, Dewi Sartika membawa serta Mbok Suro untuk mengajar membatik di Sakola Keutamaan Istri. Hanya ini hubungan yang berhasil ditemukan penulis melalui beberapa literatur yang berhasil ditemukan oleh penulis.

 Akhrirnya pada 1929 diubahlah nama Sakola Kautamaan Istri menjadi Sekolah Raden Dewi. Kemudian sekolah ini berubah nama lagi menjadi Sekolah Rakyat Gadis No.29 saat diambil alih oleh Jepang saat Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942. Saat itu Dewi Sartika menolak untuk mengajar karena Jepang mengubah kurikulum sekolah berdasarkan kepentingan mereka.

 Kedukaan melanda Dewi Sartika saat Raden Agah meninggal pada 25 Juli 1939. Sejak kepergian Raden Agah, kondisi kesehatan Dewi Sartika mulai memburuk. Beliau merasa sangat kehilangan seorang pendamping setia. Raden Agah memberi dukungan yang sangat besar pada Dewi Sartika. Raden Agah sampai rela mengorbankan perkembangan karirnya demi mendampingi Dewi Sartika dalam mengembangkan Sakola Kautamaan Istri. Selain itu Raden Agah juga tidak mempoligami Dewi Sartika, hal yang sangat jarang terjadi di masa tersebut. Sepeninggal Raden Agah, Dewi Sartika yang kondisinya memburuk sesekali digantikan oleh anak bugsunya, Dewi Ine Tardine, yang akrab disapa Ibu Ine’.

 Kemudian pada tahun 1946 saat terjadi Bandung Lautan Api, Dewi Sartika dan keluarganya mengungsi ke Garut. Setelah itu beliau terus mengungsi. Tahun 1947 beliau mengungsi ke Cineam yang terletak diantara Tasikmalaya dan Ciamis. Saat di Cineam beliau sakit dan sempat dirawat di Rumah Sakit Cineam oleh Dokter Santoso. Namun kondisi beliau tetap memburuk hingga akhirnya meninggal dunia pada 11 September 1947. Awalnya beliau dimakamkan di Cineam. Namun pada tahun 1960, makam beliau dipindahkan ke Makam keluarga Bupati yang terletak di Karang Anyar. Kemungkinan pemilihan perkuburan ini karena ingin menguburkan Dewi Sartika di kompleks perkuburan yang sama dengan Raden Agah, suaminya.

 Perlu diketahui bahwa Dewi Sartika dua kali mendapat penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda yakni pada tahun 1922 dan 1939. Pada tahun 1922 beliau dianugerahi Bintang Perak oleh pemerintah Hindia Belanda, dan tahun 1939 diberi penghargaan yang lebih tinggi lagi yakni Bintang Emas. Hal ini berarti membantah penyataan yang mengatakan bahwa Raden Dewi Sartika dilingkungan orang-orang Belanda tidak begitu dikenal. Fakta ini juga terbantahkan dengan data bahwa perhatian publik atas keberadaan Sakola Kautamaan Istri cukup bagus karena di tahun 1913 Sakola Kautamaan Istri sempat dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Kemudian pada tahun 1916 Sakola Kautamaan Istri dikunjungi oleh Nyonya Limburg van Stirum (istri dari Gubernur Jenderal yang baru).

 Sosok Dewi Sartika tidak begitu dikenal kiprahnya dalam skala nasional. Padahal di masa beliau, beliau ikut andil dalam memperjuangankan hak-hak perempuan-perempuan Indonesia dalam skala nasional dan bahkan memperjuangkan kemajuan pendidikan orang-orang Indonesia. Sebab beliau percaya dengan mendidik seorang perempuan yang kelak akan mendampingi suaminya dan mendidik anak-anaknya, maka itu berarti beliau telah mendidik sebuah bangsa.

 Beliau yakin bahwa kelak akan ada wanita-wanita yang berprofesi sebagai dokter, polisi dan seterusnya dan saat itu kaum pria harus mengakui bahwa wanita itu sederajat dengan mereka. Dan kini apa yang beliau harapkan dan perjuangkan sudah berhasil terpenuhi. Kini pria wanita sudah mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan. Semoga perempuan-perempuan masa kini mampu meneladani beliau dan memanfaatkan dengan baik apa yang diperjuangkan oleh Dewi Sartika.

 Dewi Sartika dalam perjuangannya tidak hanya mengkritisi tentang kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan, namun juga kesetaraan dalam hal upah jika memang kualitas kerja antara laki-laki dan perempuan sama, selain itu beliau pun menggugat poligami dan membuktikan keteguhannya dalam menentang adat-adat yang berkembang dikalangan Menak terkait perjodohan.

 Indonesia memiliki banyak pejuang perempuan. Tidak hanya Kartini seorang. Kehadiran Hari Kartini tidak menjadi alasan untuk mengagungkan ketokohan seorang Kartini yang karya dan jasa belum tentu melebihi karya dan jasa pahlawan perempuan yang lain. Kartini hanya menjadi simbol bagi emansipasi wanita, namu Dewi Sartika layak menjadi simbol bagi perjuangan emansipasi wanita.

Sumber:
Rochiati Wiriaatmadja. 1985. Dewi Sartika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Yan Daryono. 1996. Sang Perintis: R. Dewi Sartika. Bandung: Yayasan Awika & PT. Grafitri Budi Utami

 Original post : http://www.filosofilandak.blogspot.com/2013/04/dewi-sartika-simbol-perjuangan.html . Diunggah 23 April 2013.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s