Sedikit Indonesia dari Strauss dan Howe

Oleh : R.Indra Pratama

Tak asing rasanya bila kita mendengar kalimat “zaman pasti berputar”. Tidak selamanya kita sebuah peradaban ada di bawah, dan tidak selamanya pula ada di atas. Sekilas memang terdengar klise dan hanya bersifat menenangkan, namun jika kita lihat contoh nyatanya, memang begitulah adanya. Zaman, atau peradaban, yang ditandai dengan sistem budaya, didalamnya termasuk minimal tujuh unsur kebudayaan dari Koentjaraningrat,memang akan selalu berputar.

Yang paling jamak dan mudah dijadikan contoh adalah siklus tren sandang, yang lazimnya diperbuas dengan terminologi fashion. Mudah dilihat bagaimana dandanan wanita era 20-an, yang dikenal sebagai tren Flapper, bisa kembali lagi dipergunakan di karpet merah Holywood di akhir dekade pertama millenium kedua, yang dipelopori Kiera Knightley. Lalu baggy dan skinny jaman Ramones bisa kembali dipakai oleh anak-anak kampus di seluruh dunia.

Tentunya agak gegabah kalau kita percaya seratus persen bahwa semua akan kembali lagi dianut begitu saja. Kebaruan, seperti misalnya kondisi ekonomi dan politik, teknologi World Wide Web, tentunya akan membedakan generasi Punk ala Tom DeLonge yang memakai Macbeth dengan generasi Sid Vicious yang gemar kencing di celana.

Tetapi itu semua tidaklah begitu random untuk kita generalisasi, minimal untuk keperluan pembelajaran, dan keisengan di waktu luang. Tersebutlah dua orang iseng bernama William Strauss dan Neil Howe. Dua orang yang tidak memiliki pendidikan sejarah formal ini bermain api dengan membuat sebuah teori untuk menggeneralisir siklus generasi, yang akhirnya dikenal dengan The Strauss-Howe generational theory.

Dalam buku Generations, yang mendasari teori ini, mereka membagi kita dalam empat fase hidup, empat jenis zaman, dan empat peran dalam peradaban. Empat fase hidup itu adalah masa kecil (childhood), masa remaja (young adult), masa produktif/paruh baya (midlife), dan masa tua (elderhood).

Empat fase hidup itu akan dimasukkan dalam latar peradaban yang juga dibagi dalam empat jenis, yaitu pertama : High, zaman yang merupakan awal baru sebuah peradaban setelah krisis, ditandai dengan tingginya ototritas kekuasaan formal (saya mengartikan ini adalah zaman pasca revolusi). Yang oleh Strauss-Howe ditandai dengan (salah satunya)  periode pasca Perang Dunia II hingga peristiwa terbunuhnya John F.Kennedy (22 November 1963). Kedua adalah zaman Awakening, zaman dimana manusia-manusia peserta zaman sudah muak dan bosan dengan otorisasi negara dan tatanan-tatanan sosial, yang otomatis menimbulkan aksi-aksi yang “hantam kromo” alias melabrak nilai-nilai yang selama ini dianut dan stabil, oleh Strauss-Howe dicontohkan dengan gerakan-gerakan Revolusi Kesadaran, yang didalamnya terdapat Beat Generation, Flower Generation, Punk, hingga warna-warni ngejreng dekade 80-an.

Fase hidup ketiga dinamakan fase Unraveling, dimana para aktivis pemikiran yang baru ini makin kekeuh dan keras kepala, sehingga menimbulkan gesekan-gesekan satu sama lain, tetapi negara, karena sudah saking lemahnya, tidak bisa berbuat apa-apa (familiar?). Lalu datanglah yang terburuk, yaitu zaman Crisis.  Dimana negara sudah samasekali tidak punya kekuatan sebagai sebuah entitas, karena masyarakat sudah tidak terikat lagi secara kultural dengan negara mereka, dikarenakan hubungan erat dengan global society, sehingga kondisi-kondisi tidak lagi ditentukan dalam skala nasional, melainkan skala global secara domino.

Strauss-Howe dalam bukunya nyaris seratus persen mengambil contoh Amerika Serikat. Sehingga saya menjadi penasaran, apakah pas jika teori ini kita pakai untuk memandang Indonesia kita tercinta?. Siapa tahu bisa menjadi bahan pertimbangan untuk menyikapi keadaan kedepannya. Pembatasan area zaman yang saya pilih adalah semenjak nasionalisme Indonesia mulai tercetus, yaitu akhir dekade 1920-an. Mengapa?, sebab menurut saya, melihat dari pemikiran-pemikiran sebelum itu, amatlah kabur jika kita mendeskripsikan Indonesia. Terimakasih banyak Sumpah Pemuda 1928.

Tahun 1920-an di Hindia Belanda, saya memasukkannya sebagai contoh dari zaman Crisis, sebab apa?. Negara sedang dalam kondisi “lemah” atas perjuangan para nasionalis, pertama dari sebab akibat Great Depression, yang mencapai puncaknya di 1929, dan didahului oleh Politik Etis, yang mana sengaja atau tidak sengaja, telah memperkenankan Soetomo, Dr.Tjipto dkk belajar di STOVIA, memperkenankan Soekarno bergaul dengan pemikiran Tagore, atau Hatta berkenalan dengan Nehru di Liga Anti Kolonialisme. Zaman ini, berlangsung terus hingga pergolakan kemerdekaan, hingga selesainya huru-hara revolusi tahun 1949. Generasi awal nasionalis seperti Tjipto ini pada awalnya mengambil peran sebagai Artist, generasi yang dibesarkan secara konservatif (kebanyakan dari tokoh zaman ini adalah para priyayi), namun mereka bertumbuh kembang dan berkarya sebagai pendobrak, dan memiliki sikap personal sacrifice, peran ini lalu dilanjutkan oleh perjuangan penting generasi Soekarno, M.Hatta, Tan Malaka, hingga Sutan Sjahrir.

Lalu masih pada zaman Crisis, dekade 40-an, Soekarno dkk mengambil peran sebagai Hero, dengan kedewasaan yang menekankan pada proses, dan visioner, dicontohkan dengan kooperasi dengan Jepang yang pada akhirnya merupakan keuntungan tersendiri. Peran Artist pada masa ini diambil oleh para pemuda, antara lain kelompok Menteng 31, Chaerul Saleh, Wikana, Darwis. Mereka mencoba mendobrak segala kelambanan para Hero dengan langkah-langkah kasar, yang berpuncak pada kasus 15-16 Agustus 1945.

Zaman bergulir, mayoritas rakyat Indonesia bergelut dengan High euforia kemerdekaan. Disisi lain, Soekarno dan gengnya semakin larut pula dengan kekuasaan, politik-politik mercusuar, orasi-orasi, tapi tidak didukung dengan empati kepada individualisme. Pengekangan terhadap Manikebu dan budaya Barat yang berlebihan, menjadikan bibit-bibit revolusi kembali muncul. Dalam skala waktu, zaman ini saya rumuskan terjadi di tahun 1950 hingga 1966. Generasi Soekarno (kecuali Tan Malaka) mengambil peran sebagai seorang Nomad, seorang pragmatik yang berada dalam zona nyaman, sehingga makin muncul sifat individalistik. Generasi Soekarno disonkong oleh generasi Adam Malik, Chaerul Saleh dkk yang berperan sebagai Hero, seorang yang kekeuh dan narsis karena sedang dalam masa puncak kehebatan produktivitas. Namun ancaman datang dari generasi yang tengah bertumbuhkembang, yaitu generasi Artist, dengan pentolan-pentolan seperti Soe Hok Gie, Taufiq Ismail, Goenawan Mohammad, yang dengan berani menentang (dengan didukung situasi “global”), generasi Soekarno. “Perang” ini berakhir pada tergulingnya Soekarno beberapa tahun berikutnya.

Berlanjut lagi, datang seorang yang tadinya tidak masuk hitungan, yaitu Soeharto. Soeharto bergabung dengan generasi Adam Malik, berkuasa dengan memainkan peran seorang Nomad, kemudian Prophet yang didukung oleh para Hero (dan kemudian Nomad) eks Artist tahun 1966 seperti Cosmas Batubara serta para aktivis Berkeley. Dua peran ini cukup lama dimainkan mereka, sebelum para Artist baru (tapi lama) seperti Amien Rais dan Gus Dur datang merobohkan mereka pada reformasi 1998. Era Awakening saya rasa harusnya masuk disini, tapi ternyata tidak. Kebebasan yang diharapkan di era Soeharto ternyata hanya sebatas kebebasan masuknya pengaruh luar (barat) kepada masyarakat, sedangkan untuk mengolah pengaruh itu menjadi output yang mengarah ke perubahan?, tunggu dulu.

Zaman Awakening mulai datang beserta krisis ekonomi di Asia tahun 1997. Kegagalan ekonomi ditumpangi oleh para aktivisi “kebebasan” untuk menggulingkan Soeharto dan kondisi High. Naiklah generasi Gus Dur, Amien, Megawati pada peran seorang Hero. Namun stabilitas jagat Indonesia pasca reformasi ternyata tidak sestabil skala waktu Strauss-Howe, zaman Unraveling datang lebih cepat, berondongan media yang menggila membawa kebingungan masyarakat banyak yang nampak belum terbiasa menghasilkan sebuah output dari banyak pengaruh. Ketidakpercayaan dan kebosanan begitu cepat tampak akibat kebobrokan penyelenggaraan negara, menjadikan posisi negara lemah. Berbagai faktor pendukung, seperti maraknya kekerasan, pertanyaan terhadap aparat keamanan, hingga pertanyaan akan filsafat dasar negara, makin memperparah kondisi.

Perantara media, terutama televisi dan internet yang nyaris tanpa kontrol, mengacaukan ketenangan berpikir masyarakat yang rata-rata tingkat pendidikannya (secara kualitas) masih rendah. Hasil dari revolusi via media telah terlihat di kawasan Timur Tengah dan Magribi, menjadikan negara-negara kuat seperti China dan Rusia mulai membatasi akses internet.

Dari fakta tersebut, sampai batas akhir pembahasan, yaitu detik dimana kita membaca tulisan ini, saya berpendapat kita masih ada di zaman Unraveling, menuju zaman Crisis kembali. Saya adalah orang yang percaya pada teori Strauss-Howe ini, jadi saya pun percaya kita akan mengalami krisis yang akan cukup hebat tak lama lagi. Tapi sekaligus saya juga percaya, bahwa akan ada generasi baru yang muak atas semua kondisi tumbuhkembangnya dan bersiap serta berminat untuk melakukan perubahan. Untuk mencapai Indonesia yang lebih baik, untuk kemudian hancur lagi, dan membaik lagi seperti Satyayuga, Tretayuga, Dwaparayuga, dan Kaliyuga dalam mitologi Hindu.

Bukankah itu yang menjadikan dunia ini menyenangkan untuk dikaji? :D.

 

Referensi :

 

Baudet, H dan Brugmans, I.J. (Ed.). 1987. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Jakarta : Buku Obor

Crouch, Harold. 1978. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca and London : Cornell University Press.

Giancola, Frank . 2006. The Generation Gap: More Myth than Reality. Human Resource Planning.

Strauss, William and Howe, Neil. 1991. Generations.

 

Inspirasi :

Twitnya Galih Mulya Nugraha (@MangGalih)

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s