Palasari, Kepala – Pundak – Lutut – Kaki

Oleh : Jana Silniodi

Sabtu 3 September, jadi awal pembuka petulangan saya setelah sebulan kemarin bermeditasi ibadah puasa. Dan sungguh  hal tak biasa bagi aleut! mengadakan kegiatannya di hari Sabtu akhirnya terjawab sudah kebingungan itu karena peserta ngaleut kali ini pun cukup tujuh orang saja, Bang Ridwan a.k.a BR, Asep Nendi, Hanifa, Pia Zakiah, Nia Janiar, dan Andika.

 

Jalur ngaleut kali ini adalah Gunung Palasari yang berada di ujung timur dari patahan lembang dengan ketinggian 1.859 m.d.p.l. Beberapa waktu sebelumnya jalur patahan lembang yang pernah saya lakoni bersama Aleut! ialah dari dago pakar dan berakhir di Batu Loceng dengan peserta berjumlah puluhan. Dengan peserta yang kecil ini dan sudah sangat mengenal, maka perkecualian ritual perkenalan tidak dilakukan kali ini.

 

Meeting point yang dipilih kali ini adalah terminal Cicaheum, tepatnya pangkalan ojek jl.Jatihandap dan karena masih kental dengan suasana lebaran, alhamdulilah ya, kawasan Cicaheum ini menjadi lebih menyenangkan tanpa jejalan antrian angkot di persimpangan dan ramai berseliwerannya para pemakai jalan, juga bunyi-bunyi klakson yang selalu ditekan asal tak berharmoni oleh para sopir angkot yang rajin ngetem.

 

Banyak jalur manuju Roma, begitupun menuju tujuan kami ini, diantaranya melalui Padasuka-Caringin tilu, Jatihandap, Pasir Impun, Sindanglaya, dan Ujung Berung-Palintang. Diputuskan, kami akan menyusuri Palasari melalui jalur Sindanglaya dan titik awalnya dimulai dari bumi perkemahan Oray Tapa. Dari Cicaheum kami mencarter angkot dengan harga Rp 17.000,- per orang yang ternyata melebihi perhitungan awal karena asumsi peserta akan lebih banyak seperti ngaleut biasanya.

 

Dan petualangan pun dimulai. Pintu masuk bumi perkemahan Oray Tapa berada di puncak punggungan,dari tempat ini kita dapat melihat lansekap kota Bandung secara utuh tanpa penghalang, silakan coba berkunjung ke sini malam hari dan lihat riuhnya lampu-lampu gemerlap Bandung di bawah sana. Namun lain halnya dengan kawasan yang serupa dengan tempat ini seperti di Ciburial, Caringin Tilu, atau Punclut kondisi jalan menuju Oray Tapa sangat tidak baik untuk dilalui kendaraan karena terdiri dari batu-batu besar dan tanah saja, lapisan aspalnya nampak telah lama habis tergerus.

 

Kami memasuki kawasan Oray Tapa tidak melalui pintu utamanya, melainkan melipir mengikuti jalan setapak  jalur penduduk setempat yang menuju ladang dan hutan. Di tengah perjalanan kami bertemu ibu yang tengah mengangkut rumput dan bertanya apakah kami di “jalan yang benar”, “Leres acep, ka palih wetan weh ti dieu mah” ujarnya.

 

Sebagai informasi, jalur bagi komunitas aleut adalah titik awal dan akhir, dan terkadang di tengah perjalananan biasanya kita berimprovisasi, maka jangan heran jika nanti berkesempatan ngaleut bersama kami jangan tanyakan apakah ini jalurnya yang benar, cukup ikuti dan nikmati saja perjalanan anda nanti 😉 safety itu pasti, tenang saja kawan dan tersesat itu berarti pengalaman baru untuk dipelajari.

 

Setelah berada di puncak punggungan Oray Tapa kami akhirnya bertemu jalur lebar berupa trek offroad bagi mobil 4 WD dan motor trail, kami kemudian memilih jalur setapak dan turun ke lembah untuk pindah ke punggungan di seberang, menurut informasi Gunung Palasari berada di sebelah Timur Laut dari tempat kami berdiri. Di lembahan ini mengalir sungai kecil selebar kurang dari satu meter, airnya jernih dan bening.

 

Beranjak dari lembahan tadi kami menyusuri jalur berupa kebun bambu dan berakhir di kebun kopi yang mendominasi sebagian besar punggungan ini dengan berbatas hutan pinus di puncaknya.  Dari tempat ini kami mengikuti jalur setapak selebar satu meter dengan melipir dua punggungan hutan pinus, di pinggiran jalur setapak ini banyak terlihat tumbuhan salihara dengan bunga berwarna orange dan buahnya yang berwarna hijau dan ungu dengan batang yang memiliki duri kecil sehingga kami berjalan menghindarinya.

 

Jalan ini berakhir di pertigaan hutan pinus, jalurnya jelas dan lebar, dari pertigaan ini kami berbelok ke arah utara atau kiri dari arah datang kami dan beristirahat di tanah datar yang terletak beberapa belas meter dari persimpangan tadi. Asep membongkar isi tasnya, rupanya dia membawa alat masak trangia, dan menu makan siang berupa spaghetti serta kopi, sungguh paduan yang unik untuk menu makan siang namun tidak ada pilihan bagi kami saat itu karena jangankan berhasrat menemukan warung di tempat ini, bertemu pejalan lainnya pun tidak ada.

 

Jadilah kami makan siang dengan menu utama spagheti sosis yang dimasak dengan tidak sempurna dan desert nya yaitu kopi yang tidak hitam. Bagaimanapun juga saya berterimakasih untuk asep sang penunjuk dan pembuka jalan sudah membuat kejutan dengan membawa trangia dan menu makan siang tersebut.

 

Selesai berkemas, perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan setapak yang lumayan menanjak, hutan pinus ini rupanya hutan produksi karena banyak terlihat pinus disini yang disadap getahnya dan ditampung pada batok kelapa yang disimpan dibawahnya. Setelah beberapa menit berjalan di kerapatan hutan pinus, kami akhirnya berjalan di sisi punggungan dengan pemandangan yang lebih terbuka.

 

Nampak di depan kami berdiri sosok tinggi dengan dominasi hutan yang cukup rapat di bagian perutnya, saya berasumsi dengan Asep bahwa gunung itu adalah Manglayang, dan punggungan yang tengah kami jalani sekarang ini merupakan Gunung Palasari yang menjadi tujuan perjalanan. BR belum mengamini ataupun menolak pendapat saya dan Asep tadi dan yang lainnya tidak banyak berkomentar, hanya Nia saja yang rutin menanyakan “kita mau kemana sih, Puncak nya masih jauh ga?” dan jawaban saya pendek saja “Deket, tuh di depan, bentar lagi juga nyampe  hingga kami tiba di persimpangan yang berupa urat punggungan dengan percabangan lima jalur.

 

Di seberang kami tegak gagah berdiri Gunung Bukitunggul yang merupakan gunung tertinggi di kawasan ini,Cibodas tepat berada di bawah kami berdiri membentang lembahnya hijau dan di beberapa tempat gundul kerontang berupa tanah merah peladangangan baru yang akan dibuka. Akhirnya jawabannya terpecahkan, dua orang pemburu memerikan informasi bahwa Gunung Palasari adalah yang saya kira Gunung Manglayang tadi, dan sekarang kami berada di punggungannya, tempat kami sekarang ini bernama Jalan Lima menurut akang pemburu itu.

 

Dari sini untuk menuju Puncak Palasari kami mengambil jalur yang menanjak sesuai petunjuk para pemburu tersebut. Jalur yang kami lewati ini karakternya sama seperti halnya Gunung Burangrang dan Manglayang, trek berada di urat punggungan dan begitupula dengan vegetasinya, hutan pinus di bagian bawahnya dan heterogen di perut hingga puncak gunung.

 

Saya berasumsi tidak banyak orang yang mendaki ke tempat ini, terlihat dari rerumputan yang tumbuh subur di jalan setapak yang dilewati karena jarang terinjak kaki manusia, namun walau jarang dilewati jalurnya masih jelas sehingga kemunginan untuk tersesat di tempat ini relatif kecil. Jalur yang dilalui cukup landai dan variatif dari tanjakan kecil, datar, melipir pohon tumbang, dan setelah berjalan kurang dari satu jam dari Jalan Lima tadi akhirnya kami ampai di Puncak Palasari.

 

Puncak Palasari ini berupa dataran lapang seluas setengah lapang voli dan tertutup pepohonan sama halnya dengan puncak Manglayang dan Bukitunggul sehingga kita tidak bisa melihat pemandangan di bawah seperti di Oray Tapa yang jadi awal perjalanan kami. Selain itu berkembang cerita bahwa Puncak Palasari dahulu merupakan tempat pemujaan dengan struktur berupa punden berundak tiga tingkat di puncaknya. Sisa punden berundak tidak jelas terlihat, yang terisa hanyalah dua makam, hal yang sama yang dapat ditemukan di puncak Gunung Manglayang.

 

Setelah memasak spaghetti dan kopi yang tidak hitam untuk kedua kalinya, akhirnya kami sepakat untuk segera turun gunung dan menuju peradaban. Jalur yang dipilih yaitu menuju Cibodas, dan kazaaaam … jalur menuju Cibodas ternyata juwara dunia sangat berbeda dengan jalur yang kami lewati saat naik tadi dari Jalan Lima, trek turun ini cukup menyiksa karena kemiringannya berkisar 60-80 derajat dan cukup membuat menguras energi. Tanah berdebu, akar-akar pohon yang menyembul di jalur, serta batang pohon salak yang berduri di pinggiran trek harus membuat kami berjalan hati-hati.

Akhirnya jalur ini berakhir di ladang dan di depan kami tampak pemandangan lepas Gunung Manglayang di sebelah timur,  jauh di sana jalan tanah yang dapat dilalui kendaraan mengular melipir beberapa punggungan, di sebelah utara terhampar kebun kina dengan pohon-pohon mudanya tegak berdiri dengan latar belakang Gunung Bukitunggul,  namun petualangan belum berakhir di sini kawan kami harus mencari angkutan menuju Bandung.

 

Sajian senja di kebun kina cukup memberi semangat saya untuk terus berjalan dan harapan akan datangnya mobil yang berbaik hati untuk memberi serta letupan energi setelah mengisi perut dengan baso dan kopi yang hitam, akhirnya setelah gelap sekitar pukul 7 datanglah bapak sopir baik hati yang telah ditunggu dan mengantarkan kami hingga ke Dago melalui jalur Buniwangi walaupun harus merogoh uang Rp 20.000,- / orang, kami ridho dan ikhlas daripada harus berjalan kaki lagi. Alhamdulilah ya. Sabtu ini menjadi sesuatu sekali. Kepala mendapat masukan gizi ilmu baru, pundak-lutut-dan kaki mendapat kegiatan menyenangkan kembali, dan terakhir adalah ikatan persahabatan yang makin erat walau tidak mengikat. Viva aleut! horray sorak dan soray.

Satu pemikiran pada “Palasari, Kepala – Pundak – Lutut – Kaki

  1. mantaaap brother…cerita pendakian yg sangat seru dan perjalanan yg melelahkan pastinya,soalnya kami dgn 3 orang kawan juga pernah coba jelajah,star dari gunung manglayang turun di palintang lewati g,kasur,g,palasari.kaki gunung bukit tunggul…finish di daerah perkampungan c bodas,untung nya ada mobil bak terbuka yg memberi tumpangan sampe perkotaan c bodas,trus untungnya lagi ada bapa yg baik hati membawa kami dgn memberi tumpangan motor kaisar sampe terminal lembang jam 11 malam dan akhirnya nyampe ke bdg jam 12 malam…perjalanan yg sangat sangat melelahkan,tapi menambah pengetahuan,….salam persahabatan.

Tinggalkan komentar