Lonteku, Terima Kasih.

Oleh : Indra Pratama

Lonteku terima kasih

Atas pertolonganmu di malam itu

Lonteku dekat padaku

Mari kita lanjutkan cerita hari esok

Walau kita berjalan dalam dunia hitam

Benih cinta tak pandang siapa

Meski semua orang singkirkan kita

Genggam tangan erat erat kita melangkah

Lonteku – Iwan Fals

Pelacur, bisyar, pecun, atau lonte seperti kata Iwan Fals di lirik diatas,adalah warganegara kelas terakhir. Kehadirannya selalu dianggap sebagai sesuatu yang meresahkan. Tidak bermoral, kotor. Dekatkan dengan agama, semua akan beres. Hidup terjepit, antara rasa jijik, dosa, nikmat, dan lapar. Mereka ini unik, dalam beberapa menit kamu bisa memujanya seperti Aprodhite, dan mencibir di menit berikutnya.

Pelacuran di kota Bandung sangat eksis. Dari mulai yang terjun total, ada yang pijit-pijit dulu, bahkan ada yang menyambi sembariil mengerjakan tugas sekolah atau kuliah. Dan tentunya sudah tahu lah nama-nama macam Saritem, Alketeri, ruko-ruko X, spa Y. Dan berikut nocan dan id YM nya. Tapi Pernahkah kita tahu bahwa pelacur-pelacur Bandung ini pernah mencatatkan namanya di sejarah pergerakan bangsa?.

Kupu-kupu malam Bandung konon mulai booming saat pemerintah kolonial membangun jalur kereta yang melewati kota Bandung. Tahun 1881-1884 pemerintah membangun jalur pertama yang melibatkan kota Bandung, yaitu rel jurusan Batavia-Buitenzorg-Bandoeng (Jakarta-Bogor-Bandung). Semenjak itulah stasiun Bandung dan Bandung sendiri, mulai ramai dengan arus migrasi dari daerah lain. Baik yang tinggal permanen maupun hanya singgah untuk berganti kereta.

Golongan migran kedua inilah yang jadi pemicu. Bayangkan, punya duit, sendirian, bengong, ditambah udara Bandung yang dingin-dingin empuk. Nah. Dari kebutuhan gologan inilah kawasan sekitar Stasiun Bandung (Kebonjati) mulai ramai oleh bisnis esek-esek. Tak hanya wilayah ini, wilayah lain seperti Gang Coorde di sekitar Braga (sekarang Jl.Kejaksaan) pun pada perkembangannya mulai bergeliat dengan komoditi mojang-mojang indo nya.

Alkisah di sekitar Kebonjati ada seorang wanita yang menjadi favorit para lelaki hidung belang. Yang kesohorannya konon sudah mencapai daerah luar Bandung. Namanya adalah Nyi Item. Konon kulitnya yang eksotis (kemudian dijadikan nama beken), dan bentuk tubuhnya yang bagaikan dandang (dandang yang seperti jam pasir) membuat banyak pria dari berbagai latar belakang memburu kenikmatan sesaat bersama Nyi Item ini. Dimulai dari Nyi Item inilah dimulai kejayaan kerajaan esek-esek Saritem hingga sekarang.

Meskipun di peraduan Nyi Item dan kawan-kawan adalah primadona dan dipuja, namun dalam kehidupan sosial sehari-hari Nyi Item dan rekan-rekan seprofesinya adalah mereka yang hidup dalam himpitan. Mereka terhimpit oleh apa yang disebut norma, nilai dan ajaran agama. Para pria mencibir di siang hari dan mencari di malam hari. Dan para wanita yang membosankan menyalahkan mereka atas kaburnya para suami. Singkatnya, mereka adalah warga kelas terendah. Jarang ada yang menghargai mereka. Kehidupan mereka menyedihkan, dan dianggap sampah yang tak penting. Bahkan ketika waktu dan zaman sudah berganti.

Sampailah waktu pada sebuah tengah malam di tahun 1926. Seorang berpeci dan berjas rapi mengendap memasuki area merah itu. Tampangnya sih bukan tampang seorang hidung belang. Tapi kita semua tahu, bahwa wajah bisa menipu. Lelaki itu berjalan mengendap, memasuki sebuah kamar. Duapuluh menit berlalu ia keluar. Wah, terlalu cepat untuk ukuran lelaki berusia pertengahan 20. Harusnya 45 menit paling cepat. Dan dua puluh menit bajunya rapi seperti itu?. Lelaki itu berjalan tenang. Tahu diikuti. Tapi ia pun lalu mengayuh cepat sepeda ke arah selatan.

Besoknya di rumahnya. Lelaki itu sedang berdebat dengan Ali Sastroamidjojo. Ali setengah berteriak : “Sungguh Memalukan!,” keluhnya. “Kita merendahkan nama dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal. Ini sangat memalukan!”. Lelaki tampan itu menantang. “Kenapa?!, mereka jadi orang revolusioner yang terbaik. Saya tidak mengerti pemikiran Bung Ali yang sempit.”

Lelaki itu menggelegar dengan suaranya, khas si Singa Podium. “Apakah Bung Ali pernah menanyakan kenapa saye mengumpulkan 670 orang perempuan lacur?!”. “Saya menyadari, bahwa saya tidak akan dapat maju tanpa kekuatan. saya memerluka tenaga manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bukan soal bermoral atau tidak bermoral. Tenaga mereka ampuh!”. “Aku lebih memilih melepaskan anggota PNI yang lain, daripada para pelacur itu. Ambillah contoh Madamme Pompadour, pelacur yang namanya mahsyur dalam sejarah, Theroigne de Merricourt dan Barisan Roti-nya! siapa yang memulai !?. Perempuan lacur.”

Ruapanya Ali Sastroamidjojo tidak tahu, bahwa setiap hari musuh-musuh Partai Nasional Indonesia datang bertama kepada gadis-gadis itu. Tak hanya termabuk dan menyerahkan uang, tetapi juga tanpa sadar menyerahkan informasi pada gadis-gadis lacur itu.Ali juga tidak memperoleh informasi bahwa gadis-gadis itu sengaja tidak menyogok agar dikenai hukuman penjara tujuh hari pasca razia oleh pemerintah. Semata-mata agar mereka kenal dan mampu berhubungan dengan para penegak hukum. Ali tidak tahu, siapa yang membuat opsir-opsir polisi pusing setelah ribut dengan istrinya, karena dikedipi dan disapa oleh pelacur di jalanan. Ali tidak juga tahu siapa yang berhasil menemukan mata-mata pemerintah dalam tubuh partai. Lagi-lagi Ali pun tidak mengetahui, siapa donatur terbesar Partai Nasional indonesia. Ali tidak tahu siapa mereka itu. Gadis-gadis itu donatur, tentara dan intelejen terkuat Soekarno, sekaligus donatur, tentara dan intelejen terkuat dalam sejarah perjuangan bangsa.

Selama enam bulan lamanya, gadis-gadis itu dilatih dalam sistem semi kaderisasi oleh Soekarno dengan jabatan “calon anggota”. Mereka mungkin tidak memahami kursus-kursus politik, tapi mereka hadir selalu, agar para pejuang politik semata menjadi bersemangat dalam kursus. Mereka menyisihkan pendapatan mereka dengan persentase yang besar, untuk kas partai. Mereka merayu dengan semanis mungkin, agar para perwira mau membocorkan rencana-rencana rahasia pemerintah untuk PNI.

 Mereka merasa sebagai bagian dari perjuangan. Mereka tidak bisa berjuang dengan orasi seperti Soekarno, tulisan tajam seperti Agus Salim, dengan pemogokan seperti Musso dan Alimin, maupun dengan senjata seperti para jawara di Banten. mereka berjuang dengan apa yang mereka bisa, rayuan, sentuhan dan tubuh mereka. Mereka mau dan bersemangat. Dan mereka bersama Soekarno mampu mengalahkan semua stigma, dengan tujuan yang jelas. Perjuangan untuk merdeka.

“Tak ada satu pun anggota partai nan gagah terhormat dari golongan laki-laki yang dapat melakukan tugas istimewa ini.”. Soekarno.

Mungkin dibandingkan dengan wanita mulia angelic seperti Inggit Garnasih perjuangan mereka sangat tidak populis dan kalah hebat. Namun mereka ada ketika dibutuhkan. Melakukan apa yang mereka bisa. Menjadi keping kecil di mega-puzzle perjuangan bangsa Indonesia. Tanpa mereka, tidak ada pergerakan PNI. Tanpa ada pergerakan PNI tidak ada Indonesia Menggugat. Tanpa Indonesia Menggugat tidak ada konsep Indonesia merdeka. Tanpa konsep, tidak ada Indonesia merdeka. Sesimpel itu menurut saya.

 Soekarno, Titiek Puspa, dan Iwan Fals mungkin hanya secuil dari kita yang mampu menangkap mereka bukanlah sebagai kupu-kupu, tetapi manusia kerdil. Manusia yang dikerdilkan oleh segala himpitan.

 Dan kini, mereka pun masih berjuang. Mengisi perut yang lapar, menyekolahkan anak, menyetor kepada preman legal dan ilegal, memuaskan kawan-kawan kita. Dan hanya manusia yang berjuang serumit itu. Kupu-kupu tidak.

“Kehadiran pelacuran tidak hanya menjadi sebuah gambaran degradasi moral sejumlah wanita, namun juga mempertontonkan struktur masyarakat yang tidak sempurna, toh, setiap manusia hadir di dunia ini adalah sebagai mahluk yang suci. Kondisi masyarakat turut mengkondisikan jutaan wanita memilih menjadi seorang pelacur setidaknya menjadikan kejalangan sebagai pilihan yang mungkin. Saat kemiskinan, kesenjangan penguasaan materi ada, akan selalu menumbuhkan pelacuran yang sesungguhnya merupakan bentuk lain dari eksploitasi. Oleh karena itu, pelacuran tidak akan mungkin dilenyapkan selama masih ada orang yang membutuhkannya serta ketika memasukinya menjadi sebuah pilihan yang rasional terutama bagi para wanita yang mengharapkan kehidupan yang lebih baik.”

Moan Sipayung

 Sumber :

Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. 2007. Pelacuran Dalam Kajian kebudayaan. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Hal.X.

Traktor Lubis. 2010. Pelacur Cinta (Hubungan Julia Robert, Evita dan Dewi Soekarno). Dimuat di traktor.co.cc. Diakses 24 Mei 2011.

Cindy Adams. 1966. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Gunung Agung. Hal 116-119.

Moan Sipayung. 2007. Fenomena Pelacuran. Dimuat di http://moanbb.blogspot.com/2007/06/fenomena-pelacuran.html. Diakses 24 Mei 2011.

Wakhudin. 2006. Proses Terjadinya Degradasi Moral Pada Pelacur dan Solusinya (Thesis). Bandung. Program Studi pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Tim Telaga Bakti Nusantara. 1997. Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1. Bandung. CV Angkasa dan APKA.Hal.66.

4 pemikiran pada “Lonteku, Terima Kasih.

  1. informasinya baguuuuus! baru tau saya pelacur pun ada kaderisasinya. soekarno cemerlang ya, dia suka perempuan, tau juga manfaatinnya gimana. tulisannya indra juga alus pisan. saya suka bacanya.

  2. pesannya, sehina apapun seseorang pasti ada kelebihannya. begitupun seorang hebat yang tampak tanpa cela pasti punya kelemahan. semua itu mengajarkan kita agar tidak gegabah menilai seseorang dan belajar menghargai orang lain.

    tulisan indra bagus.. I’m your big fan!! always!! 🙂

Tinggalkan Balasan ke Komunitas Aleut Batalkan balasan