Oleh : Ridwan Hutagalung
Selain Truedee yang baru saja menyelenggarakan program Jajal Geotrek III, Bandung masih mempunyai banyak sekali kelompok-kelompok muda yang punya perhatian sungguh-sungguh terhadap lingkungan dan kehidupan kotanya. Misalnya saja komunitas Aleut!, Sahabat Kota, Mahanagari, Common Room, Bandung Trails, Kelompok Pecinta Bandung, Kuliner Bandung, dst dst. Cara dan fokus perhatian setiap kelompok boleh berbeda-beda tetapi umumnya bertujuan untuk mengapresiasi kehidupan Kota Bandung. Pernyataan yang muncul pun beragam; betapa senangnya tinggal di Bandung; betapa banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan demi kenyamanan tinggal di Kota Bandung; betapa banyaknya persoalan yang harus dihadapi masyarakat akibat pengelolaan resmi yang tidak memuaskan, dst dst.
Pada masa Hindia Belanda juga ada lembaga yang punya perhatian tinggi terhadap pembangunan dan pengembangan Kota Bandung terutama berkaitan dengan aspek pariwisata, nama lembaga ini adalah Bandoeng Vooruit. Cikal bakal lembaga ini mungkin dapat ditelusuri dari sejak berdirinya sebuah perkumpulan yang dirancang oleh Residen Priangan C.W. Kist pada taun 1898, yaitu Het Nut van Bandoeng (Vereeniging tot nut van Bandoeng en Omstreken atau Perkumpulan Kesejahteraan Masyarakat Bandung dan Sekitarnya). Angota perkumpulan ini adalah para tokoh dan orang kaya di Bandung tempo dulu, seperti Pieter Sijthof, Keluarga Soesman, Fam. V.d. Bruinkops, R.A. Kerkhoven, K.A.R. Bosscha, Fam. Ursone, Fam. Bogerijen, C.A. Hellerman, J.W. Ijzerman, R. Teuscher, Moeder Homann, dan banyak lagi.
Perkumpulan ini melakukan berbagai kegiatan sosial dalam memperindah wajah Kota Bandung, di antaranya pengaturan pemakaman umum di kota, mendirikan yayasan yang mengurus masyarakat miskin, mendirikan bank perkreditan, memperbaiki kolam renang Cihampelas, mendirikan sal musik di Pieterspark (babantjong), sampai melakukan perawatan penerangan jalan di Bandung. Het Nut van Bandoeng kemudian diberhentikan pada tahun 1910 ketika pertumbuhan lembaga-lembaga pemerintahan menganggap keberadaannya sudah tidak lagi diperlukan.
Pada tahun 1915, walikota S.A. Reitsma berinisiatif mendirikan lembaga mandiri lainnya, yaitu Comite tot Behartiging van Bandoeng’s Belangen. Komite ini bekerja mengurusi berbagai aspek yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat, di antaranya sempat mendirikan Hoogere Burgere School dan pabrik gas di Kiaracondong (beberapa rumah dinas serta kantor utama dari masa Hindia Belanda masih dapat ditemukan di sini). Komite ini tidak bertahan lama karena terjadi perselisihan di dalamnya.
Baru pada tahun 1925, atas prakarsa warga Bandung C.J. Nauta dan dibantu oleh Middenstandsvereniging dibentuklah perkumpulan Bandoeng Vooruit (Bandung Maju). Seperti disiratkan oleh nama yang disandangnya, Bandoeng Vooruit bertujuan untuk memajukan Kota Bandung, terutama dalam hal kepariwisataan. Salah satu program terpentingnya adalah membuka akses jalan mobil menuju kawah Tangkuban Parahu sepanjang 4 kilometer. Sebagai jalan masuk, ditentukan dari titik tertinggi ruas jalan raya yang menghubungan Lembang dengan Subang. Jalan masuk Tangkuban Parahu ini kemudian dinamakan Hooglandweg sebagai penghargaan kepada ketua Bandoeng Vooruit, W.H. Hoogland, yang juga merupakan direktur Bank DENIS. Berkat upayanya juga Bandoeng Vooruit dalam waktu yang singkat berhasil mengumpulkan dana sebanyak 25.000 gulden untuk pembangunan jalan tersebut. Hooglandweg secara resmi dibuka untuk umum pada September 1928 dan diberlakukan sistem tol untuk pembiayaan pemeliharaannya.
Menyusul kemudian, pada tahun 1935, BV membangun akses jalan dari Perkebunan Sedep menuju kawah Gn. Papandayan sepanjang 7 kilometer . Dengan susah payah, jalan mobil berhasil dibangun hingga mencapai titik ketinggian 2.300 mdpl dan akses umumnya mulai dibuka pada Desember 1935. Sebelumnya pada tahun 1933 Bandoeng Vooruit sudah membuka Zoologisch Park atau kebun binatang di Cimindi yang kemudian dipindahkan ke lahan bagian selatan Jubileumspark di sebelah barat THS (ITB) dan menamakannya Bandoengsch Botaniisch Park.
Berbagai pengembangan menarik lainnya dikerjakan juga oleh BV seperti melakukan penanaman pohon di sisi jalan raya dan di taman-taman, penghijauan sepanjang aliran Sungai Cikapundung mulai dari Maribaya hingga ke tengah Kota Bandung, perbaikan dan pelebaran lintasan rel kereta api, pembuatan rambu-rambu jalan, membuat jalur-jalur jalan lintas alam, membuat hertenkamp atau Taman Menjangan di Jl. Seram, memrakarsai pendirian krematorium, museum kota, serta membuat monumen bagi 3 siswa HBS (sekarang SMAN 3) yang meninggal di Tangkuban Parahu tahun 1924. BV juga membenahi akses menuju curug-curug di sekitar Cisarua, melakukan promosi untuk berbagai objek wisata seperti Situ Cangkuang. Di bawah kepemimpinan M.A.J. Kelling, Bandoeng Vooruit melakukan promosi gencar dengan menyatakan Bandung sebagai Europa in de Tropen.
Pada tahun 1933 BV menerbitkan majalah bulanan Mooi Bandoeng sebagai pendukung berbagai kegiatan lapangannya. Mooi Bandoeng memiliki oplah 5.000 dan disebarkan di kota-kota besar di seluruh Hindia Belanda hinga Nederland. Sungguh promosi wisata yang tidak tanggung-tanggung dan pastinya perlu semangat antikorupsi untuk dapat mewujudkannya, hehe.. Pada edisi perdananya majalah ini mencantumkan pernyataan Walikota Bandung, Wolzogen Kuhr, “Nederlanders, waarom terug naar Europa? Blifft in Indie! Zij die reeds zijn vertrokken, kom terug en vestigt U in Bandoeng!” (Nederlander, mengapa pulang ke Eropa? Tetaplah tinggal di Hindia! Yang sudah pulang, kembali dan tinggallah di Bandung!). Pada bulan Oktober 1937, Mooi Bandoeng memuat surat dari pasangan suami istri asal London, W. Finnimore, yang isinya “Bandoeng is specially in favoured in having close at hand and easy of access, many beauty spots of natural marvels rarely to met with anywhere else in the world within so small an area.”
Majalah yang sangat menarik ini bertahan terbit hingga tahun 1941 sebelum kedatangan Jepang. Selama masa itu sungguh banyak liputan, laporan, cerita-cerita, dan foto-foto yang sangat menarik tentang Bandung yang sudah mereka tampilkan. Majalah ini juga sering menyelipkan kartu pos bergambar pemandangan ala Kota Bandung selain menjualnya secara terpisah dalam bentuk paket-paket menarik. Pada tahun 1941 tercatat upaya Bandoeng Vooruit berhasil menarik 2000 wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung yang saat itu berpenduduk 226.877 orang saja.
Suatu organisasi lainnya pernah juga hadir meramaikan geliat Kota Bandung tempo dulu, Bandoengsche Comite tot Natuurbescherming (Komite Perlindungan Alam Bandung). Komite ini didirikan tahun 1917 dengan pimpinan W. Docter van Leeuwen (Direktur Kebun Raya Bogor) dan beranggotakan sejumlah tokoh utama Bandung seperti K.A.R. Bosscha, F.W.R. Diemont, P. Holten, dan W.H. Hoogland. Tujuan utama komite ini adalah mengembangkan dan menjaga keasrian lahan hijau di Kota Bandung. Salah satu program rancangannya yang tidak sempat terwujud adalah Soenda Openlucht Museum di sekitar Curug Dago. Yang masih sempat dibangun oleh komite ini adalah Huize Dago atau biasa dikenal sebagai Dago Thee Huis dan penemuan sejenis anggrek langka di Bandung yang kemudian dinamakan Microstylis Bandongensis.
Selain perkumpulan-perkumpulan yang sudah disebut di atas, tentu saja masih banyak perkumpulan lainnya yang pernah hadir di Bandung pada masa Hindia Belanda dulu. Misalnya saja Vereeniging tot Bescherming van Dieren (Perkumpulan Perlindungan Hewan) yang mendirikan Dieren Asyl (Wisma Hewan) di Pelindung Hewan sekarang, atau yang cukup banyak adalah perkumpulan kesenian seperti de Bond van Nederlandsch-Indische Kunstkringen (yang diprakarsai oleh arsitek-pelukis terkenal P.A.J. Mooijen), Bandoengsche Kunstkring (Lingkar Seni Bandung), de Bandoengsche Orkestvereeniging, dan banyak lagi. Yang pasti semuanya bercita-cita mewujudkan kehidupan yang semarak namun nyaman bagi warga kota penghuninya.
Walaupun kurang nyambung, sebagai penutup saya ingin kutipkan sebuah slogan dari majalah Mooi Bandoeng yang rasanya masih aktual sampai sekarang (haha..): Don’t come to Bandoeng if you left a wife at home!
Tulisan hasil kompilasi dari :
“Bandung, Beeld van Een Stad”, RPGA Voskuil, Asia Maior
“Braga; Jantung Parijs van Java”, Ridwan Hutagalung & Taufanny Nugraha, Ka Bandung, 2008
“Wajah Bandoeng Tempo Doeleoe”, Haryoto Kunto, Granesia, Bandung, 1984
“Mooi Bandoeng”, edisi Juli 1937
“Mooi Bandoeng”, edisi Oktober 1937
,saya sedang menyusun sejarah pembentukan dan perkembangan Kebun Binatang Bandung 1933-2008,apakah ada yang bisa membantu saya untuk menemukan artikel atau sumber-sumber yang berhubungan dengan Bonbin Bdg??
bisa coba hubungi FB nya Ridwan Hutagalung atau Muhammad Ryzki Wiryawan
Semoga bisa membantu!