Oleh: Puspita Putri (@Puspitampuss)
Penghujung Agustus 2019 merupakan hari yang cukup sibuk untuk aku dan teman-teman Komunitas Aleut. Setelah malam sebelumnya kami pulang larut selepas menunggu dekorasi untuk Bandung Historace 2019, esok paginya kami sudah stand by kembali di halaman Museum Kota Bandung untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
Acara cukup sukses dan menyenangkan, setelah evaluasi akhirnya kami memutuskan untuk mencari makanan. Setelah makan-makan di salah satu café di jalan Naripan, tiba-tiba muncul satu wacana untuk melanjutkan petualangan ke Banjaran setelah Abang melihat poster Tarawangsa Banjaran yang dikirim Mang Anggi di WAG (WhatsApp Grups) bertajuk “Syukuran Ormatan Tarawangsa Banjaran”. Singkat cerita, wacana kali ini menjadi realita, meskipun beberapa teman memutuskan untuk pulang dan beristirahat, masih ada lima motor yang berangkat dengan personil 9 orang ke Banjaran malam itu dengan formasi Abang dan Rani, Upi dan Yasna, Gistha dan Putri, Aku dan Aip serta Tony yang sendiri.

Di poster, acara mulai jam 8 hingga jam 10 malam. Takut terlambat seperti saat berniat menonton Tarawangsa di Sumedang, kami berangkat sejak sekitar pukul 7 malam. Baru saja keluar dari Jalan Pasir Jaya, di jalanan kami langsung disuguhi pawai obor yang sedang menuju Taman Regol. Di sepanjang perjalanan menuju Banjaran pun kami melihat beberapa pawai obor. Awalnya aku tidak begitu ngeh mengapa orang-orang turun ke jalanan dan berpawai obor, pikiranku cukup penuh dengan banyak hal di sekolah, di rumah dan lainnya untuk bertanya-tanya tentang apa yang terjadi di sekitarku.
Setelah perjalanan yang sunyi dari Pasir Jaya ke Cangkuang Banjaran, kami sedikit berkeliling untuk mencari lokasi Tarawangsa diadakan. Di jalan, kami melihat pawai obor dan Sisingaan yang sedang menuju ke suatu tempat. Ternyata, Sisingaan tersebut juga menuju tempat yang sama dengan yang kami tuju. Setelah bertanya pada warga lokal, kami akhirnya sampai di satu padepokan di belakang Alfamart.
Kami memarkirkan motor dan mengisi buku tamu. Sejak awal datang, yang pertama kali terasa dan terlihat olehku adalah suasana yang berbeda, bau kemenyan dan dupa sangat menyengat di seluruh area, orang-orang berpakaian menggunakan pangsi hitam dan putih serta iket khas sunda, pembawa acara memandu acara dengan Bahasa Sunda dari awal hingga akhir acara, begitu pula warga yang mengobrol, hampir semuanya berbahasa sunda. Sudah sekitar jam 9 malam, tapi acara belum dimulai, mereka masih menunggu pawai dan Sisingaan sampai di lokasi. Akhirnya kami memutuskan untuk silaturahmi ke Alfamart, sekalian membeli makanan dan minuman, juga beristirahat.
Beberapa saat kemudian, acara dimulai. Setelah pembukaan oleh salah satu ketua adat, kami dipersilahkan untuk makan. Di sana sudah tersedia nasi kuning yang ditumpeng dengan telor puyuh, ayam, bihun, tempe orek serta lalapan pakcoy yang di rebus. Aku yang merasa masih cukup kenyang memilih melipir ke pinggir lapangan untuk menulis catatan tentang apa yang ada di sekitar dan apa yang ada di pikiran kala itu, sampai Gistha yang juga melipir di sebelah memberi kode untuk ingin ikutan makan. Akhirnya aku yang menemani Gistha mengambil makanan ikutan makan juga meski sedikit, cuma Aip dan mungkin Rani dan Abang yang tidak makan malam itu. Saat itu, tiba-tiba saja seorang ibu memberikan dua buah jimat kepada Tony, biar selamat katanya, jimat tersebut berupa macam-macam bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih dan cabe yang ditusuk seperti sate menggunakan tusuk sate.
Setelah makan, kami menonton atraksi Sisingaan di lapangan sebelah padepokan. Beberapa orang memanjat dan menari sambil memanggul dua ekor singa yang sepertinya terbuat dari kayu yang ditunggangi sepasang anak kecil. Beberapa penonton menyawerkan uang kepada para pemberi atraksi. Dari percakapan di WA, Putri terkesima dengan atraksi Sisingaan yang baru ia lihat saat itu, katanya setau dia, Sisingaan biasanya hanya ditunggagi dan diarak keliling kampung. Ya, memang begitu pula yang kebanyakan diketahui orang-orang termasuk aku. Kekaguman tersebut juga bisa aku lihat dari ekspresi beberapa teman lain yang ikut menonton di sebelahku, tapi karena pikiran yang penuh, aku tidak begitu konsentrasi dan memilih menulis catatan. Sesekali aku mencoba memotret, namun karena gelap, hasil fotonya tidak cukup bagus, videopun hanya merekam suara-suara dan kegelapan, jadi kuputuskan untuk menikmati dan menulis saja.

Karena Bandung dan sekitarnya sedang cukup dingin, aku merasa butuh ke toilet, akhirnya aku minta diantar untuk nebeng ke toilet warga. Setelah keluar dari rumah warga, aku melihat suasana sudah berubah hening, hanya mantra-mantra dan doa terdengar sayup-sayup tanpa pengeras suara. Warga yang semula memenuhi area sudah bubar ke rumahnya masing-masing, hanya ada para pengurus acara dan beberapa penonton, termasuk kami. Sudah sekitar pukul 10 atau 11 malam, aku yang awalnya menonton dari kejauhan di depan rumah warga akhirnya maju ketika sinjang dibagikan. Tentu saja aku ingin mencoba meskipun tidak tahu apa yang harus aku lakukan berikutnya.
Sebelumnya, setelah mantra-mantra dibacakan, musik dari kecapi dan tarawangsa (yang ternyata nama alat musik dengan dua senar) dimainkan. Seorang dengan pakaian serba putih mulai menari di tengah-tengah ruangan. Aku sempat mencatat apa yang aku lihat dalam sebuah catatan di handphone ku:
“Now, I see a man in white clothes holding two pieces of clothes, I bet those clothes will be used for Tarawangsa. He dances and move in circle, slowly, in the middle of the room. A music played slowly, only from kecapi and something like guitar with a single or two strings (like Rebab that Abah played when I was KKN in 2014).
Now the man dancing, literally dancing. Oh, this event is held to commemorate a Sundanese’s new year of 1953 Saka night and also an Islamic’s new year of 1441 H night that happened in the same day, today, August 31st, 2019.”
Setelah beberapa kali disebutkan, akhirnya aku tahu bahwa malam itu selain pergantian bulan masehi adalah malam pergantian tahun sunda 1953 Saka yang kebetulan juga bertepatan dengan pergantian tahun Islam 1441 Hijriyah, itulah mengapa banyak pawai obor yang kami temukan di jalanan.
Setelah prosesi pembukaan selesai dan sinjang dibagikan, aku dibantu untuk mengenakannya. Dari empat orang perempuan yang ikut saat itu, hanya aku dan Yasna yang ikut memakai sinjang, Putri memilih untuk tidak mau ikut dan Rani bahkan tidak ada di lokasi, tak kuat dengan bau dupa dan menyan katanya.
Setelah memakai sinjang, aku melihat seorang penari wanita mulai menari dengan gerakan-gerakan tradisional Sunda, dengan tangan yang gemulai mengikuti irama kecapi dan tarawangsa. Aku dan Yasna yang sudah memakai sinjang bingung harus apa, akhirnya kami diminta memilih selendang dan berdoa, lalu membakar menyan dan bersalaman sebelum ngibing atau menari bersama penari lainnya yang saat itu hanya ada satu orang saja. Awalnya, aku dan Yasna sama-sama memilih selendang warna merah. Kami menari mengikuti irama. Aku mencoba mengikuti meski masih bingung harus apa dan bagaimana. Aku melihat dua orang penari lainnya memejamkan mata. Aku juga mencoba memejamkan mata dan menari, tapi malah pusing dan takut nabrak. Akhirnya aku hanya menari biasa hingga musik melambat dan selesai.
Selanjutnya giliran penari laki-laki. Dari lima orang yang ikut, hanya Upi dan Aip yang ikut menari. Abang menemani Rani di belakang, Gistha memilih untuk mendokumentasikan sementara Tony memilih menonton sambil ketakutan. Aip dan Upi serta dua penari laki-laki lainnya dengan selendang merah putih dan selendang hitam mulai menari. Upi menari menggunakan selendang berwarna kuning dengan santai dan konsisten dengan gerakan yang sederhana. Sedangkan Aip yang menggunakan selendang hijau tiba-tiba menjadi sangat agressif. Aip menari dengan gerakan yang aneh, seperti jurus silat atau entah bela diri apa. Kemudian, Aip terlihat seperti orang berenang, atau moshing dengan posisi aneh. Aku sungguh tak kuat menahan tawa ketika melihat Aip menari, bahkan sulit berhenti tertawa, begitu juga dengan Yasna, sedangkan Tony terlihat ketakutan sambil membuat live report singkat di handphone-nya.

Tak disangka, Aip yang begitu pendiam seperti memendam sesuatu yang kemudian diekspresikannya dalam tarian dengan gerakan yang aneh dan sangat agressif, seperti orang yang tak sadarkan diri. Sesekali penari lainnya mengusap kepala Aip ketika ia terlihat terlalu tak terkontrol. Setelah diusap, Aip akan terlihat lebih tenang sebelum kembali menari dengan gerakan aneh. Di perjalanan pulang, Aip juga bercerita bahwa ketika menari ia seperti tak sadarkan diri dan motoriknya tak bisa dikontrol, ia menari begitu saja hingga melihat sang pemimpin acara memelototinya barulah kesadarannya kembali tumbuh, meski yang kami lihat, ketika musik selesai, kepala Aip dipegang oleh penari lainnya, kemudian diusap seperti mengelurkan sesuatu barulah ia kembali ke kesadarannya.
Setelah selesai, kembali giliran penari wanita menari. Aku dan Yasna kembali ditanggap untuk ikut menari. Aku yang sebenarnya senang menari meski hanya menari asal di kamar tentu saja tidak akan menolak. Kali ini, kami dipilihkan selendang masing-masing. Yasna diberi selendang kuning, sedangkan Aku diberi selendang berwarna hijau. Aku yang ketika menonton Aip dan Upi menari sudah mulai menikmati dan mengerti ketukan serta tarian dan apa yang harus dilakukan dan tentu saja lebih menikmati ketika menari di sesi dua ini. Aku yang awalnya merasa masih bingung dan malu-malu mulai lebih percaya diri. Sejujurnya, dalam pikiranku kala itu selintas muncul perasaan dan pikiran seperti menjadi wanita paling cantik di dunia ketika menari. Aku mulai membebaskan diri mengikuti irama musik kecapi dan tarawangsa, yang aku rasakan ketika itu sungguh nyaman dan bebas, entah kata apa lagi yang bisa mendeskripsikannya.

Di tengah-tengah tarian, seseorang menambahkan dua buah selendang di pundakku, yang satu berwarna kuning dan satunya berwarna hijau. Setelah ditambahkan, aku merasa seperti ada sesuatu menyelimutiku. Hawa hangat menjalar dari punggung ke atas. Awalnya, aku berusaha untk melawan, namun sungguh, semua itu membuatku merasa jauh lebih nyaman saat menari. Semua sensainya membuatku seolah lupa diri, aku menari sebebas-bebasnya. Akhirnya aku melepaskannya dan menikmati semua sensasi magis dan mistis yang menyelimutiku ketika itu. Aku masih ada pada kesadaranku, meskipun tak lagi ngeh tentang keadaan atau orang-orang sekitar, yang aku lakukan dan ingin lakukan saat itu hanya menikmati irama tarawangsa yang lembut dan menari mengikuti iramanya. Sungguh, semua perasaan dan sensasi tersebut adalah salah satu rasa terbaik yang pernah aku alami selama ini.
Beberapa saat setelah selendang ditambahkan, irama musik tarawangsa mulai menjadi lebih cepat ketika aku menikmati tarianku, namun, kemudian berhenti begitu saja. Terasa lebih singkat dari sesi-sesi sebelumnya. Setelah selesai, Putri mengajak kami untuk pulang, pemain musik bilang bahwa sudah selesai saja acaranya meskipun beberapa orang protes dan meminta dilanjutkan. Akhirnya kami pamitan dan pulang.
Setelah menuju tempat parkir dan mengambil motor kami mendengar irama musik kembali dimainkan, yang berarti acara belum selesai. Satu orang mengikuti kami menuju parkiran dan kembali ketika kami pergi. Setelah menari, ada perasaan lega dan nyaman menyelimuti kami, setidaknya itu yang aku rasakan dan yang Aip dan Yasna ceritakan. Sebetulnya, aku ketagihan, masih ingin menari lagi dan tak ingin melewatkan jika ada acara Tarwangsa lagi yang katanya hanya ada di tiga tempat di dunia, di Banjaran, Sumedang dan Tasikmalaya.
Di sela-sela sesi menari, kami sebetulnya sempat mempunyai beberapa percakapan dengan pengurus acara dan penari lainnya. Teteh yang menari bersama kami bilang bahwa menari diiringi tarawangsa bisa menjadi obat untuk tubuh, dan meskipun tak mengerti korelasinya aku setuju setelah mengalaminya sendiri. Selain itu, katanya menari juga bisa memperlihatkan karakter dan keadaan seseorang, seperti Aip yang katanya terlihat punya banyak pikiran dan suka musik keras (yang ini sih mungkin terlihat dari kaos The Clown yang dipakai Aip). Aku tak tahu apa yang orang lain baca ketika aku menari, salah satu percakapan yang aku dapat untuk diriku adalah bahwa aku terlihat “raoseun” ketika menari dan pertanyaan entah pernyataan tentang aku yang mempunyai karuhun yang senang terhadap seni juga kata-kata seperti “Si Teteh mah meunang rasa nya? Eta teh sesah mun hoyong kitu teh, Teh,” yang semuanya hanya aku balas dengan senyum atau jawaban sekenanya.
Di perjalanan pulang, aku dan Aip saling bercerita tentang apa yang baru saja kami alami. Pengalaman yang tidak disangka, bahkan tidak disengaja untuk dialami. Motorik kami masih sedikit kaku, aku merasa masih ingin menari, masih ada energi yang tersisa dalam tubuhku, tangan, kaki dan wajah terasa seperti kesemutan. Di jalan, aku berusaha mengeluarkan seusatu yang entah apa, yang membuat tanganku masih terus menari sesekali, yang membuatku tiba-tiba humming seperti seorang penyanyi sunda dengan entah lagu apa yang dinyanyikan. Semuanya masih terasa hingga aku tiba kembali di Pasir Jaya. Karena sebelumnya aku sudah bilang tidak akan pulang, maka aku memutuskan untuk tidur di sana dengan pakaian yang masih sama. Ketika tidur, sesekali aku terbangun dan menyadari bahwa masih ada bau menyan yang menempel di tubuh dan bajuku. Hingga esok paginya aku terbangun, barulah terasa sakit di beberapa bagian badan, tapi sungguh itu merupakan suatu pengalaman berharga untukku.
Sejak malam itu, seperti petualangan-petualangan bersama Aleut sebelumnya, membuatku jadi lebih ingin tahu, tentang apa yang dilihat dan dialami, kali ini tentang Tarawangsa. Beruntung di WAG muncul beberapa tulisan yang bisa aku baca termasuk tulisan Aip yang menceritakan dan membandingkan Tarawangsa di Cigugur dan Rancakalong sekaligus sedikt pembahasan dan hubungannya dengan shamanistic dan psychedelic. Aku pribadi mulai semakin tertarik dengan budaya Sunda yang benar-benar sarat akan makna dengan simbol-simbolnya. Budaya Sunda di mataku kini terlihat sangat eksotis dan menarik, dengan semua pengalaman magis dan bumbu mistik yang ada di dalamnya, aku merasa budaya ini perlu tetap ada dan dilestarikan. Orang-orang juga perlu mengenal dan tahu bahwa Sunda memiliki budaya yang begitu indah dan eksotis. Musik Sunda dengan alat musik tradisionalnya juga merupakan sesuatu yang sangat menarik dan magis. Semua ini sungguh membuatku bersyukur untuk lahir, tumbuh, tinggal serta diperkenankan mengenal tanah dan budaya Sunda.
P.S.
Bandung, 2 September 2019
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=KxJRO1qyk68&w=560&h=315]
Tautan aseli artikel Tarawangsa: Pengalaman Ekspresi Diri Yang Magis dan Mistis
0 Comments
1 Pingback