Tag: Sukawana

Jelajah Alam Sukawana – Tangkuban Parahu

By : Yanstri M.
(12/07/09)

Ini adalah kali kedua aku ke Tangkuban Parahu di bulan Juli 2009 tetapi dengan jalur dan teman-teman yang berbeda. Kali ini aku dan teman-teman Aleut menuju Tangkuban Parahu melalui Villa Istana Bunga (VIB), Ciwangun Indah Camp (CIC), Sukawana, Pasir Ipis.

Jam 8:15 aku mulai menunggu di angkot yang akan membawaku ke Terminal Parongpong tempat aku berjanji untuk bertemu dengan teman-teman Aleut. Setelah lama menunggu, angkot yang aku naiki mulai berjalan. 25 menit kemudian aku sudah terdampar dengan selamat di Terminal Parongpong.

Karena belum ada yang datang, akhirnya aku putuskan untuk menikmati semangkuk mie untuk mengisi bahan bakar dan mengusir rasa dingin yang cukup menggigit. Tepat pada suapan terakhir di kejauhan aku lihat satu angkot yang disesaki oleh wajah-wajah yang tampak familiar buatku. Yup, akhirnya datang juga teman-teman Aleut yang lain. Mereka bersesakan di dalam angkot yang biasanya hanya diisi oleh maksimal 16 orang, tetapi kali ini diisi oleh 22 orang. Sungguh perjuangan yang tidak mudah untuk bertahan di dalam angkot yang penuh sesak dan harus melalui jalanan yang menanjak dan terkadang tidak rata. Tetapi itulah hebatnya anak-anak Aleut. Mampu bertahan di segala situasi (padahal kpaksa ya hehehehe).

Tepat pukul 8:30 setelah briefing dan melakukan doa bersama kami mulai berjalan melalui VIB. Rencana awal kami akan menuju CIC melalui pintu belakang VIB. Tetapi baru setengah perjalanan ada yang mengusulkan jalan lain melalui jalan setapak di pinggiran kebun penduduk.

Karena bukan Aleut namanya kalau tidak melalui jalan yang aneh bin ajaib. Kami melalui ladang penduduk. Jalan yang kami lalui cukup sempit dan licin di beberapa bagian. Terkadang di sebelahnya terdapat jurang. Kami harus terus berkonsentrasi agar tidak tergelincir.
Setelah sempat salah jalan beberapa kali, sampailah kami di jalanan beraspal sekitar 25m dari pintu belakang VIB. Kami terus menyusuri jalanan beraspal yang menanjak melalui samping CIC kemudian berbelok ke jalanan dari tanah melalui rumah penduduk dan keluar di daerah Sukawana.
Mulai tercium bau yang familiar dan menenangkan yang ternyata berasal dari daun teh yang sedang diolah. Kami berkesempatan berkunjung ke pabrik pengolahan teh milik PTPN VIII. Di sana kami melihat proses pembuatan teh. Sebenarnya ada 6 tahap proses pembuatan teh mulai dari proses pelayuan sampai yang terakhir proses pengepakan. Sayangnya, karena keterbatasan waktu kami hanya bisa melihat 2 dari 6 proses tersebut, yaitu proses pelayuan dan proses penggilingan.
Puas berkunjung ke pabrik teh, kami melanjutkan perjalanan menyusuri perkebunan teh. Di tengah kebun teh, mendadak Bang Ridwan meminta kami berhenti sebentar untuk menjelaskan mengenai danau bandung purba. Memandang ke arah selatan kami dapat menikmati pemandangan daerah Batu Jajar. Di sana juga terdapat bukit Lagadar yang menyimpan keunikan tersendiri. Bukit tersebut menghasilkan bebatuan yang apabila kita pecahkan akan berbentuk seperti kristal bersegi delapan.
Perjalanan dilanjutkan menyusuri lahan milik Perhutani, melewati jalan dari tanah dan berbatu yang rusak di beberapa bagian dan membuat kami harus ekstra hati-hati melangkah agar tidak terperosok. Di kanan kiri jalan kita bisa melihat deretan pohon pinus yang tumbuh menjulang. Menciptakan sedikit kesejukan.
Sepanjang perjalanan kami bertemu dengan beberapa pengendara sepeda gunung dan motor trail serta penduduk setempat yang sedang mengumpulkan semak-semak untuk pakan ternak.
Untuk mencapai benteng yang ada di Pasir Ipis kami mulai menyusuri hutan, terkadang harus menerobos semak-semak. Setelah sempat berputar-putar akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Sayangnya sebagian besar benteng tersebut tertutup semak-semak. Hanya sebagian kecil bagian benteng yang terlihat.
Benteng Pasir Ipis
(taken by Galih)
Tuntutan dari cacing di perut yang sudah tidak bisa diajak kompromi membuat kami memutuskan beristirahat tidak jauh dari benteng sambil menyantap makan siang yang kami bawa. Sayangnya kenyamanan kami bersantap sempat terganggu oleh tawon yang berputar-putar tanpa henti di sekeliling kami.
Puas bersantap, kami kembali berjuang untuk mencapai Tangkuban Parahu. Jalanan yang tadinya datar mulai menanjak. Membuat kami harus mulai mengatur napas. Mendadak dari belakang terdengar seseorang berdendang:

Lupa, lupa lupa lupa, lupa lagi arahnya
Lupa, lupa lupa lupa, lupa lagi arahnya
Ingat, ingat ingat ingat, cuman ingat nanjaknya
Ingat, aku ingat ingat, cuman ingat nanjaknya

Yup, itulah lagu yang dengan semangat 45 dinyanyikan oleh Eki ketika teman-teman yang lain sudah mulai kelelahan menghadapi jalanan menanjak yang seakan tidak bertepi. Entah baterai apa yang Eki pakai hingga bisa terus semangat disegala kondisi?

Rasanya kaki sudah siap-siap lepas dari engselnya. Andai saja ada Mbah Surip, alangkah enaknya. Aku bisa minta gendong. Yang ajaib, di jalanan yang sempit, menanjak dan terkadang terhalang pohon tumbang kami bertemu kembali dengan pengendara motor trail. Tidak terbayang sulitnya mengendarai motor di jalanan seperti itu. Aku saja yang berjalan kaki terkadang kewalahan mengatur langkah agar tidak tergelincir.
Kami sempat melemaskan kaki sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak bukit di mana kami bisa memandang Kawah Ratu dan Kawah Upas di kejauhan. Keindahan pemandangan dari puncak bukit tersebut menghapus rasa lelah yang mendera kami akibat tanjakan yang tidak berkesudahan. Di kejauhan aku melihat seseorang yang tampaknya tak asing bagiku. Tetapi aku masih ragu untuk menyapanya. Yuhui, ternyata dia memang teman lamaku. Aku tidak menyangka bisa bertemu teman lama di atas bukit yang baru pertama kali aku datangi.
Satu Jam menikmati keindahan kawah, perjalanan dilanjutkan menuju pelataran parkir Tangkuban Parahu. Ternyata perjuangan kami belum berakhir. Untuk menuju ke sana, kami harus menuruni jalan menggunakan bantuan tali dan melewati bebatuan besar yang bisa membuat kami terluka apabila tidak berhati-hati melangkah. Tetapi, pemandangan yang tersaji dikejauhan sungguh mengagumkan.
Dengan menggunakan elf sewaan dengan tarif Rp 15.000,- per orang kami menuju Alfamart Sersan Bajuri. Perjalanan pulang berlangsung cukup singkat berkat hiburan dari Asep dan Ekoy yang sibuk merayu Unie dengan berbagai banyolan-banyolan yang sukses membuatku tak bisa berhenti tertawa. Untungnya, Eki sudah tewas kehabisan baterai jadi berkurang satu orang pembanyol (piss ach!). Kalau tidak, bisa-bisa turun dari elf perutku bakal sakit akibat terlalu banyak tertawa. Ternyata baterainya baru akan terisi kalau di alam terbuka karena menggunakan tenaga surya.
Akhirnya, selesailah perjalanan hari ini. Sampai jumpa di acara Aleut berikutnya.

CATPER…. Sukawana-Pasir Ipis Fort-Tangkuban Parahu Share

CATPER….
Sukawana-Pasir Ipis Fort-Tangkuban Parahu
By : Asep Nendi R.
Sabtu, 110709
Sehari menjelang perjalanan bersama Klab Aleut menyusuri kawasan utara Kota Bandung, persiapan fisik sepertinya terabaikan padahal sudah lama sekali aya tidak berolahraga. Yang menjadi perhatian adalah sepatu trekker saya yang sudah tidak nyaman lagi, karena alasnya yang sudah tipis. Akhirnya sepetu itu saya bawa ke tempat sol di sekitaran rumah, hasilnya sepatu kembali nyaman….

Minggu, 120709
06.00
Pagi buta tanpa sarapan nasi terlebih dahulu, tidak seperti biasanya, saya langsung mandi. Sereal dan susu cukup membuatku kenyangg pagi itu.

06.45
Saya berangkat dari rumah berjalan kaki menuju Sirnagalih, untuk kemudian menggunakan angkot St. Hall-Lembang menuju Ledeng.

07.15
Tiba di seberang terminal Ledeng saya berjalan kaki sedikit menuju meeting point di Indomart Ledeng, persis di sebrang Puskesmas Ledeng. Di sana sudah ada tiga orang yang menunggu (Ayan, Adi, Eko). Sambil menunggu pegiat lain datang, saya membeli sedikit bekal untuk perjalanan nanti ; 2 botol minuman elektrolit dan sebungkus roti.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya 22 orang pegiat mulai bersiap berangkat. 22 orang dalam satu angkot, Yup Amazing….
Semua pegiat terlihat menikmati situasi berdesak-desakan di dalam angkot, saya sendiri beruntung karena hanya menggantung di pintu, berdua bersama Yanto. Udara segar menjadi milik saya kala itu, meskipun sedikit pegal karena harus terus bergantungan.
Starting point perjalanan di terminal Parongpong tepat di gerbang masuk Vila Istana Bunga, disana menunggu satu pegiat lain (Yanstri), setelah berdoa dan briefing, perjalanan dimulai.
Pimpinan rombongan hari itu Adi Nugraha, tapi dengan sok tahunya saya merubah jalur awal perjalanan, idenya muncul karena malas berjalan di atas aspal berpanoramakan bangunan mewah.

Alhasil, meskipun agak bingung, kita sampai di Ciwangun, tepat di pinntu wanawisata Curug Tilu Leuwi Opat. Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh dalam 10 menit, molor jadi 30 menit. Pegiat pun mulai berkeringat…..
Tapa diduga di pintu Curug Tilu Leuwi Opat saya bertemu pelatih tari Lises berserta istrinya.
Setelah sejenak bertegur sapa, perjalanan dilanjutkan.
Akhirnya perjalanan menanjak mulai merongrong, pemanasan, sampai tiba di area desa Ciwangun, sejenak berfoto di areal rumah panggung (khas jaman dulu). Perjalanan berlanjut, sampai tiba di Pabrik Pengolahan/Produksi teh di Sukawana, yang menurut Bapak BR, produksinya yang nomor 1 dijual ke Inggris (Lipton), dan kualitas rendahnya di pasarkan di Indonesia. Aroma teh yang menyengat membuat kepala saya agak pusing, sehingga saya hanya memperhatikan dari kejauhan….

Perjalanan berlanjut, melalui kebun teh yang mirip lingkar labirin. Panas terik mentari mengiringi perjalanan itu, hingga sampai di sebuah tempat yang agak lapang dan cukup luas. Pemandangan kota Bandung dari atas terlihat sangat jelas, dilingkung gunung heurin ku tangtung, Bandung benar-benar padat, meskipun dari atas. Di sana Bapak Ridwan menunjukkan bekas Danau Purba Bandung yang mencekung agak ke arah Barat, kemudian ditunjukkan deretan perbukitan/gunung yang membelah Danau Bandung menjadi dua bagian, yaitu Danau Timur dan Danau Barat.
Dijelaskan rangkaian perbukitan atau gunung tersebut merupakan pematang tengah, yang berupa gunung api tua, dengan batuan intrusif yang muncul pada zaman tersier. Bahkan beberapa daerah menghasilkan batuan yang nilainya sangat berharga (mis: garnet). Beberapa gunung tersebut sedang dalam proses penghancuran, penambangan pasir dan batu dilakukan sudah sejak lama, demi kebutuhan perumahan di kawasan Bandung. Kawasan yang memanjang tersebut diantaranya terdapat ; Gunung Selacau, Gunung Lagadar, Pasir Kamuning, sampai ke pegunungan/perbukitan di Selatan Cimahi.
Terik mentari tidak menghalangi minat kami untuk mengira-ngira bentuk dari Danau Bandung Purba dan seperti apa Bandung kala itu…..

Matahari mulai naik ke atas kepala kami, dan perjalanan pun dilanjutkan. Tujuan berikutnya adalah Benteng Pasir Ipis, saya sendiri baru mendengar nama itu. Memasuki kaki Gunung Tangkuban Parahu, meskipun tidak menanjak, debu dan tanah yang kering menjadi musuh kami… tidak hanya debu, kami pun disajikan hidangan asap pekat knalpot yang penuh CO2 dari para kroser yang melewati, juga tanpa sopan santun. Sepertinya masa kecil mereka terkekang, tidak boleh main kotor apalagi keluar masuk hutan, sehingga masa kecil mereka kurang bahagia dan sudah tua kurang ajar…..!!!
Setelah berhenti sejenak untuk menghindari kepulan asap knalpot, perjalanan dilanjutkan menuju lokasi Benteng, meskipun awalnya kami dibuat bingung oleh Bapak Ridwan mengenai keberadaan Benteng tersebut. Konon, Benteng Pasir Ipis merupakan benteng pertahanan Belanda pada Perang Dunia I (sekitar 1930an). Peralatan yang kami bawa tidak memadai (golok), sehingga ilalang dan semak belukar menjadi sulit untuk dikalahkan. Berfoto sejenak cukup mengobati rasa keingin tahuan kami, sepertinya…
Makan siang pun menjadi agenda selanjutnya, dan terima kasih pada Saudara Cici yang telah menawari saya bekalnya, tanpa rasa malu.. HAJAR…!

Perjalanan dilanjutkan, lagi-lagi Bapak Ridwan bertanya mengenai jalur (ngetes jigana mah), tanpa ragu saya bersama Eko langsung menunjukkan jalur pendakian yang bukan memutar untuk masuk ke kawasan wisata… Nanjak….
Nanjak…..

Masih Nanjak….
Terus Nanjak….

Senyum miris pegiat lain mulai menghantui, seiring tanya yang sama yang terus mereka lontarkan… “masih jauh?” dan “masih lama?’
Hingga akhirnya kami terpaksa beberapa kali berhenti, selain karena lelah, lagi-lagi karena kroser yang tidak mau mengalah.

15.00an
Tibalah kami di puncak, tepat di muka kawah Upas (katanya)… Mantaph….
Disana kami bertemu para kroser yang dengan bangganya berkata…
“dulu jalan ini menanjak, namun setelah dibuka jalur jadi tidak berbahaya lagi, salah satu jalur klasik…”
Saya yang tak mau kalah bersombong ria menjawab, “saya mah resep mapah ka gunung mah, soalna tiasa balap lumpat bari ucing sumput”
Klab Aleut 1 vs 0 Kroser

16.00an
Setelah berfoto dan beristirahat, perjalanan turun dimulai. Menuju terminal di atas Gunung Tangkuban Parahu.
Terjal, bahkan satu jalur dibuat safety lines dengan 4 webbing dan 1 rope…
Perjalanan turun pun diselang beberapa kali istirahat, untuk sekedar berfoto dan jajan. Misalnya di warung dekat Tower (lupa namanya).
Ketika seorang teman bersandar di tugu batu yang tinggi, seorang pemilik warung menunjukkan kalau itu adalah makam 3 orang Belanda, tugu batu yang sudah dipenuhi vandalisme itu anonim, tapi rangka baja sepertinya agak menandakan itu tugu Belanda…..

17.15
Setelah berfoto bersama, kami pulang menuju meeting point menggunakan angkot dengan tarif Rp. 15,000 per orang.
Perjalanan pulang terasa lebih cepat, karena tidak memilih jalur utama (setiabudhi-lembang). Tepat beberapa saat setelah adzan Magrib kami tiba, dan setelah penutupan kami mulai membubarkan diri. Saya sendiri berjalan kaki bersama Galih dan Yanstri sampai tepat di Gerbang Utama UPI. Disana kami berpisah, karena mereka sholat.
Niat jalan kaki sampai Gerlong pun diurungkan, karena saya naik angkot di sekitaran Panorama.
Maklum, takut digodain… dan futsal teu jadi…!!!

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑